Transformasi
Gerakan Relawan Jokowi-JK
Dedi Haryadi ;
Deputi
Sekjen Transparency International Indonesia
|
KOMPAS,
09 September 2014
KOMUNITAS relawan berperan penting dalam memenangkan
Joko Widodo-Jusuf Kalla pada pemilu presiden lalu. Kini mau diapakan mereka? Dalam
pertemuannya dengan relawan pada halalbihalal
Partai Nasdem, Jumat (22/8), Jokowi secara eksplisit meminta mereka jangan
bubar dulu. Masih ada pekerjaan strategis lain: memantau jalannya
pemerintahan di pusat dan daerah. Seriuskah Jokowi berbicara atau ia sedang
mencari kanal sebagai balas budi politik kepada para relawan?
Saya
lebih cenderung menempatkan ide mengaksentuasi peran relawan dalam konteks
mem- perkuat dan mengakselerasi pencegahan dan pemberantasan korupsi (PPK).
Problem korupsi kita dalam dan kompleks. Legislasi, kebijakan, anggaran,
pemilihan wakil rakyat, pemilihan kepala daerah, dan penunjukan atau
pengangkatan pejabat dari pusat sampai daerah sudah lama dibajak politisi dan
pebisnis hingga merugikan kepentingan publik.
Demikian
juga penegakan hukum dari penyelidikan, penyidikan, pengadilan, sampai
lembaga pemasyarakatan telah banyak diselewengkan. Skandal Akil-gate di
Mahkamah Konstitusi menunjukkan betapa akut problem penegakan hukum kita.
Barangkali hanya KPK yang masih baik dan dapat diandalkan. Sumber utama
problem koruptif adalah asimetri relasi kekuasaan antarorganisasi
(legislatif, eksekutif, yudikatif,
organisasi bisnis, institusi militer) dan antarorang dalam organisasi.
Resep anti korupsi yang mengabaikan problem asimetri relasi kekuasaan akan
berakhir pada kegagalan.
Upaya
memperkuat dan mempercepat PPK dihambat adanya problem defisit pranata sosial
anti korupsi. Apa itu defisit pranata sosial anti korupsi? Di negara
demokrasi liberal, ada lima pranata sosial yang memungkinkan prevalensi
korupsi ditekan ke tingkat minimum. Kelima pranata sosial itu adalah
institusi pengadilan yang bebas dan mandiri, pergantian pemerintah secara
tertib dan teratur, partai politik oposisi yang kuat dan efektif, institusi
media yang bebas dan mandiri, serta gerakan sosial anti korupsi yang kuat dan
efektif.
Dari
kelima pranata sosial itu, kita baru punya dua: pergantian pemerintah secara
tertib teratur dan institusi media yang bebas mandiri. Munculnya pemimpin
seperti Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, dan Tri Rismaharini; kompetisi politik
yang sengit dan terbuka dalam pilpres kemarin; serta terbatasnya peluang
pemerintahan SBY menjadi rezim koruptif disumbang dan dimungkinkan ada dan
ajeknya pranata pemerintah secara tertib dan teratur. Disklosur dan publikasi
sejumlah kasus korupsi secara terbuka dan luas juga sangat dimungkinkan oleh
adanya pranata media yang bebas dan mandiri.
Saat
ini kita defisit pada tiga pranata sosial: institusi peradilan yang bebas dan
mandiri, partai politik oposisi yang kuat dan efektif, serta gerakan sosial
anti korupsi yang kuat dan efektif. Persistennya defisit ketiga pranata
sosial itu menjadikan upaya PPK stagnan. Ini tecermin dari mandeknya indeks
persepsi korupsi (IPK) kita yang bercokol pada angka 32 (dari skala 0 sampai
100) dalam tiga tahun terakhir. Nah, reaksentuasi gerakan relawan itu
sebaiknya diletakkan dalam upaya kita
menutup defisit absennya gerakan sosial anti korupsi yang kuat dan efektif.
Gerakan sosial anti
korupsi
Gerakan
sosial anti korupsi merupakan tindakan kolektif yang—meminjam istilah
pemilu—terstruktur, sistematis, dan masif guna mendorong perubahan dari
masyarakat koruptif ke masyarakat anti koruptif. Dengan definisi itu, gerakan
anti korupsi kita saat ini jangankan kuat dan efektif, mewujud sebagai
gerakan sosial saja belum—apalagi—terstruktur, sistematis, dan masif.
Ciri
sekaligus kelemahan gerakan anti korupsi sekarang ini: (1) elitis dan hanya
melibatkan segelintir orang; (2) pendekatannya proyek, bukan program sehingga
begitu proyek selesai, habislah semangat dan sumber daya mencegah dan
memberantas korupsi; (3) secara finansial, organisasi masyarakat sipil sangat
bergantung pada hibah lembaga donor yang biasanya dari luar negeri sehingga
habis dana hibah, habislah etos dan epos kepahlawanan berantas korupsi itu;
(4) secara manajerial, advokasi anti korupsi tak terorganisasi dengan baik,
sporadis, tersebar, kecil-kecil, dan bergerak sendiri-sendiri; (5) rasa
kepemilikan terhadap upaya PPK rendah, hanya segelintir yang risau dan hirau
kalau upaya PPK melempem; dan (6) karena semua itu, keberlanjutan upaya PPK
tak terjamin.
Ciri
dan karakteritisk itu harus ditransformasikan sehingga upaya PPK (1) berbasis
masyarakat, organisasi, dan profesi seluas mungkin; (2) pendekatannya lebih
sistemik dan programatik; (3) mobilisasi dan penggunaan sumber daya lokal;
(4) lebih terorganisasi dan terkelola dengan baik sehingga upaya PPK itu
seperti orkestra filharmonis; (5) rasa kepemilikan terhadap upaya PPK harus
seluas mungkin kelompok masyarakat, organisasi, dan profesi; dan (6) upaya
PPK harus terus berkelanjutan melampau batas usia rezim pemerintahan.
Ada
banyak kerja politik, kebudayaan, dan pendidikan yang harus dilakukan untuk
transformasi itu, seperti mendorong lahirnya UU dan peraturan pembuktian
terbalik, penghapusan rezim sekretif, pengembangan kapasitas masyarakat,
pengorganisasian dan pengembangan jaringan kerja, kampanye anti korupsi,
dekonstruksi dan rekonstruksi nilai yang mendukung anti korupsi, penggalangan
dan pengelolaan sumber daya, penggabungan kerja advokasi media arus utama dan
media virtual.
Untuk
mengerjakan semua itu, kita tidak berangkat dari nol. Elemen dan keadaan yang
mendukung gerakan sosial anti korupsi sudah ada, tinggal mengorkestrasi
hingga lebih terstruktur, sistematis, dan masif. Tipe relawan macam apa yang
dibutuhkan kerja tersebut?
Kita
butuh relawan brain intensive. Mereka proaktif dan kreatif mencari dan
mendefinisikan peran yang mereka mainkan. Mereka berinisiatif, bergerak,
memobilisasi sumber daya, dan mengelolanya sendiri.
Lihatlah
kesuksesan fenomenal yang dicapai Ainun Najib dkk dalam mengembangkan
kawalpemilu.org. Ia tidak hanya mengembangkan inisiatif dengan hemat biaya
dan berdampak tinggi, tetapi juga memberikan contoh baik mengelola 700
relawan secara virtual. Tanpa disuruh siapa pun, mereka sekarang bergerak
lagi mengembangkan kawalpilkada.org.
Mandiri
dan bebas dari hubungan dan pengaruh Jokowi-JK menjadi faktor penting bagi
gerakan sosial anti korupsi ini. Ini menghindari kemungkinan dikooptasi yang
bisa berakibat pada stagnan atau melemahnya gerakan anti korupsi itu sendiri.
Kita harus menyadari sejak awal bahwa Jokowi-JK dan orang-orang di sekitarnya
tidak imun terhadap risiko korupsi.
Gerakan
sosial anti korupsi ini harus diabadikan dan diabdikan untuk bisa melampau
batas usia satu rezim pemerintahan. Ia bukan perpanjangan tangan Jokowi-JK,
melainkan satu pranata sosial sekaligus subsistem yang memang harus ada dalam
sistem demokrasi yang anti korupsi. Benarlah pernyataan Band Slank, salah
satu kelompok relawan dan pendukung kuat Jokowi, bahwa mereka tidak hanya
mengambil jarak, tetapi juga akan mengontrol dan mengkritik bila Jokowi
menjadi presiden.
Adakah
peluang menutup dua defisit lain? Ya. Kepemimpinan nasional Jokowi-JK dan
lanskap konstelasi politik baru sesudah Pilpres dan Pileg 2014 memberi
peluang dan harapan besar.
Kapolri baru, partai
oposisi
Korupsi
di lembaga peradilan dapat dikurangi dengan keputusan Jokowi-JK mengangkat
kepala Polri dan jaksa agung baru yang memiliki kepemimpinan,
profesionalisme, integritas, dan komitmen kuat mencegah dan memberantas
korupsi. Tak mudah mencari kepala Polri dan jaksa agung seperti itu karena
stok kepemimpinan di kedua institusi itu terbatas. Kepada Kapolri dan Jaksa
Agung baru, Jokowi-JK bisa memerintahkan membentuk unit gugus tugas khusus
yang berwenang mencegah dan memberantas korupsi di luar dan di tubuh
kepolisian/kejaksaan.
Meski
KPK bukan bawahan presiden, Jokowi-JK bisa mengorkestrasi desain kemitraan
dan sinergi baru antara kejaksaan, kepolisian, dan KPK dalam mencegah dan
memberantas korupsi. Nota kesepahaman ketiga institusi itu sekarang ini masih
belum sanggup mengatasi problem ego sektoral di antara ketiganya. Persaingan
dalam penanganan kasus korupsi di antara ketiga institusi itu masih sangat
kuat.
Dari
sudut pandang perlu ada dan ajeknya partai politik oposisi yang kuat dan
efektif, niat dan intensi partai-partai Koalisi Merah Putih menjadi dan membangun
oposisi tangguh terhadap pemerintah Jokowi-JK perlu kita sambut gembira.
Posisi partai oposisi ini akan menjadikan relasi kekuasaan lebih seimbang.
Dalam keadaan seperti ini, dipercaya bahwa distorsi kebijakan prosedur, tata
kelola, dan alokasi sumber daya bisa ditekan ke tingkat minimum.
Optimistislah
bahwa pergantian rezim pemerintahan dari SBY-Boediono ke Jokowi-JK bisa
menutup defisit pranata sosial anti korupsi dengan baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar