“Produk
Cacat DPR”
Reza Syawawi ;
Periset
Bidang Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
|
KOMPAS,
09 September 2014
PASCA pengesahan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD alias UU MD3 yang menuai gugatan di MK, kali ini DPR kembali berulah
melalui rencana pengesahan terhadap RUU Pemilihan Kepala Daerah. Mayoritas
fraksi di DPR bersikukuh segera mengesahkan RUU Pilkada yang memuat norma
bahwa pilkada dilakukan oleh DPRD (Kompas,
4/9).
Mengembalikan
pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) kepada DPRD dengan
alasan efisiensi anggaran adalah bentuk kedangkalan berpikir wakil rakyat.
Mungkin sudah habis referensi, telah habis juga anggaran untuk kunjungan
kerja (baca: pelesiran) untuk memperkaya pengaturan tentang pilkada, ternyata
yang didapat hanyalah soal penghematan anggaran.
Mengembalikan
pemilihan kepala daerah kepada DPRD bukan sekadar mengalihkan sistem
pemilihan dari pemilihan langsung menjadi tidak langsung. Akan tetapi, ada
ratusan juta hak konstitusional warga negara yang dirampas jika RUU Pilkada
ini disahkan oleh DPR.
Pada
akhir masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014, produk legislasi seperti
mengalami ”pembusukan”. Beberapa pengaturan dalam UU yang disahkan telah
digugat dan terbukti kandas di Mahkamah Konstitusi (MK). Buruknya produk
legislasi tak bisa dilepaskan dari kualitas personal anggota DPR dalam
memahami substansi masalah. Praktik legislasi tak urung hanya menjadi tameng
untuk menjustifikasi kinerja DPR, atau bahkan menjadi alat untuk mengeruk
keuntungan bagi pihak tertentu.
Ke
depan, DPR periode baru harus mengembalikan marwah legislasi DPR sebagai
sarana penyelesaian masalah, bukan justru menimbulkan masalah hukum yang baru.
Secara kelembagaan, DPR harus mendesain ulang pelaksanaan kewenangan DPR
terkait legislasi.
Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) yang setiap tahun ditetapkan seharusnya
didasarkan pada kebutuhan dan pemahaman yang komprehensif. Selama ini,
Prolegnas hanya menyuguhkan angka-angka target yang secara kuantitatif tidak
pernah terpenuhi, belum lagi jika bicara soal kualitas produk legislasi.
Jika
DPR tidak mau dianggap produknya adalah produk gagal dan anggota DPR bukan
pula produk demokrasi yang gagal, terobosan membenahi sistem legislasi jadi
sangat penting segera dilakukan. DPR secara hukum dan politik bertanggung
jawab atas kekisruhan yang ditimbulkan produk legislasi bermasalah.
Penataan
perundang-undangan harus dimulai dari legislasi mengingat begitu banyak
produk legislasi yang saling tumpang tindih dalam mengatur suatu hal. Ada
begitu banyak UU yang tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian. Maka, selaku
pemegang mandat legislasi, penataan harus dimulai dari dapurnya: DPR.
Membunuh demokrasi
Salah
satu contoh kekinian yang mencerminkan praktik legislasi yang buruk terkait
RUU Pilkada. Penolakan dari kalangan masyarakat sipil terhadap upaya DPR dan
pemerintah mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD mencerminkan desain
legislasi yang serampangan.
DPR
dan pemerintah seperti mengalami amnesia sejarah. Sistem pemilihan yang dulu
terbukti memperkuat oligarki dan transaksi di antara para elite kini ingin
dihidupkan kembali. Untuk memperkuat kolusi jahat itu, mereka bahkan rela
memberangus hak politik warga dalam menentukan pemimpin politiknya.
Asumsi
efisiensi anggaran harus dibarter dengan kebebasan dan hak politik, padahal
ada banyak pilihan untuk menghemat anggaran pemilihan kepala daerah, misalnya
melalui desain pemilu serentak. Bagi peserta pilkada, pembatasan dana
kampanye seharusnya jadi pilihan dalam politik legislasi. Sayangnya, DPR yang
disokong oleh pemerintah lebih memilih untuk ”berpikir pendek” dengan cara
memangkas proses pemilihan.
Proses
pemilu langsung yang telah didesain untuk memperkuat legitimasi pemimpin
politik, mendidik warga untuk cerdas secara politik, kini terancam
diamputasi. Masyarakat akan kehilangan legitimasi untuk menagih janji politik
kepala daerah, sementara DPRD yang selama ini ”mandul” dalam melakukan pengawasan
hanya akan menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang amburadul.
Dari
sisi apa pun, yang akan dikorbankan adalah warga. Sistem penyelenggaraan
negara yang tak menyokong keterlibatan warga hanya menciptakan sistem politik
elitis. Akhirnya, apatisme terhadap politik makin menguat, elite akan sangat
menikmati sistem politik yang transaksional.
Pada
titik inilah demokrasi (lokal) diberangus oleh sistem yang diciptakan oleh
produk legislasi yang cacat. DPR seyogianya tidak tergesa-gesa untuk
mengesahkan RUU Pilkada tersebut dan membuka kembali ruang pembahasan untuk
menampung pendapat dari sejumlah pihak.
Dengan
begitu, kita dapat menghindari hadirnya produk legislasi yang cacat. Sebab,
produk legislasi yang cacat hanya akan semakin mencerminkan lembaga DPR yang
korup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar