Florence
dan Ke(tidak)bebasan Kita
Agus Sudibyo ;
Direktur
Eksekutif Matriks Indonesia
|
KOMPAS,
08 September 2014
Kemampuan berdialog
dengan diri sendiri dan mempertimbangkan hati nurani sebelum berucap dan
bertindak adalah ciri kebebasan manusia. Ini penting agar kita mampu untuk
senantiasa menenggang perasaan orang lain dan tidak bertindak naluriah di
ruang publik. Kemampuan ini juga penting agar kita bersikap kritis terhadap
praktik yang sudah dianggap lazim, dilakukan banyak orang, tetapi
sesungguhnya bermasalah secara moral.
Pemikiran filsuf
perempuan, Hannah Arendt, ini dapat membantu kita menemukan wajah paradoksal
dari media sosial sebagaimana tecermin dalam kasus Florence Saulina
Sihombing. Mahasiswa S-2 Universitas Gadjah Mada itu melontarkan makian
melalui akun Path yang memicu kemarahan sebagian warga Yogyakarta.
Kemarahan itu berujung
pada penahanan Florence oleh kepolisian setempat. Dari kasus ini kita patut
bertanya, benarkah media sosial telah membebaskan kita?
Di satu sisi, media
sosial adalah medium yang menawarkan kesetaraan dan egalitarianisme. Untuk
menjadi sumber berita, Florence tidak perlu menjadi pengamat, komentator,
atau selebritas.
Untuk menjadi terkenal,
Florence tak perlu muncul di Indonesia Lawyers Club atau Indonesia Lawak
Klub. Untuk menyebarkan berita, Florence juga tidak perlu menjadi wartawan
media besar. Media sosial memungkinkan orang biasa seperti Florence muncul di
ruang publik.
Revolusioner
Inilah perubahan
revolusioner yang dibawa media sosial. Facebook, Twitter, blog, dan lain-lain
memungkinkan setiap orang untuk berpendapat secara langsung tentang apa saja
di mana pun.
Media sosial
memungkinkan setiap orang untuk berbicara sebagai subyek yang otonom. Ketika
menempatkan setiap orang sebagai narasumber dan produsen informasi, media
sosial telah membebaskan kita semua.
Seorang teman berkata,
media sosial memerdekakan kita semua subyek yang berbicara (zoon logon echon). Pada titik ini,
media sosial bermakna positif bagi demokratisasi dan deliberasi publik.
Apalagi fakta membuktikan bahwa media sosial memberi kontribusi signifikan
kepada upaya pemberdayaan prinsip-prinsip kewargaan atau hak-hak politik
warga negara.
Namun, pada sisi lain,
kasus Florence juga menunjukkan ketidakbebasan pengguna media sosial. Bukan
dalam pengertian bahwa pengguna media sosial banyak yang menghadapi kasus
gugatan hukum. Namun, bahwa seseorang tidak dapat dikatakan bebas sejauh dia
masih ikut-ikutan menggunakan media sosial untuk memaki-maki pihak tertentu.
Seseorang bukanlah
manusia bebas sejauh dia tidak mampu menguasai diri dan menimbang akibat
suatu tindakan, lalu meniru begitu saja apa yang lazim dilakukan banyak
orang. Karena menggunakan media sosial untuk menumpahkan sumpah-serapah
sedang menjadi tren, maka mereka melakukannya tanpa sikap kritis.
Di sinilah kita
mendapati negativitas media sosial. Hiperaktualitas dan interaktivitas
sebagai ciri media sosial telah mendorong banyak pihak untuk melontarkan
pernyataan secara spontan, otomatis, dan tanpa berpikir panjang.
”Jangan kedahuluan
orang lain”, mungkin demikian hukum media sosial. Akibatnya, kita sering
tidak sempat mengukur kepantasan dan dampak suatu pernyataan.
Perlu digarisbawahi,
ini bukan hanya problem Florence. Orang-orang yang mem-bully Florence melalui
media sosial secara kasar dan emosional sesungguhnya memiliki problem yang
sama: terjebak ke dalam semacam ”kultur kawanan” dan tidak mampu lagi
bersikap kritis terhadap konsekuensi suatu tindakan.
Menggunakan media
sosial untuk menghakimi dan mencaci maki orang lain telah menjadi tren yang
sulit dibendung. Sebagian dari kita bahkan mulai menganggapnya sebagai
kewajaran.
Status tidak jelas
Mengapa kita cenderung
spontan dan tanpa perenungan ketika berbicara di media sosial? Salah satu
penjelasannya adalah ketidakjelasan status media sosial. Di satu sisi
Facebook, Twitter, dan blog mencerminkan karakteristik ruang publik:
keterbukaan, interaktivitas, dan partisipatori.
Media sosial juga
banyak digunakan untuk mendiskusikan masalah publik: kriteria para menteri,
kemacetan lalu lintas, korupsi, kelangkaan bbm, dan seterusnya.
Namun, di sisi lain,
kita juga memperlakukan media sosial sebagai ruang privat. Banyak orang
tersinggung ketika wartawan mengutip tanpa izin pernyataan mereka di media
sosial.
Yang lebih umum lagi,
media sosial digunakan untuk segala urusan privat: curhat urusan rumah
tangga, meng-upload foto pribadi, men-share foto makanan enak, dan
menceritakan pengalaman individu yang tak ada kaitannya dengan kepentingan
publik.
Bisa jadi Florence
atau siapa pun yang menggunakan media sosial untuk melontarkan makian kasar
juga berpikir media sosial adalah ruang privat. Barulah mereka sadar media
sosial juga sejenis ruang publik ketika makian tersebut kemudian menimbulkan
kegaduhan publik.
Media sosial berada di
garis batas antara ruang publik dan ruang privat. Namun, jika kita sepakat
untuk meletakkan media sosial sebagai ruang publik, kita juga harus sepakat
dengan satu prinsip dasar: kebebasan berpendapat kita bukan tak terbatas.
Kebebasan kita
dibatasi oleh hak orang lain untuk diperlakukan secara layak dan adil. Maka,
berhati-hatilah ketika berbicara di ruang publik. Jika tidak, kita akan
berhadap-hadapan dengan hukum yang melindungi hak-hak orang lain tersebut.
Yang tidak kalah penting, segeralah para aktivis media sosial berkumpul dan
menyepakati kode etik media sosial yang berlaku secara umum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar