Selasa, 09 September 2014

Florence dan Ke(tidak)bebasan Kita

Florence dan Ke(tidak)bebasan Kita

Agus Sudibyo  ;   Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
KOMPAS, 08 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kemampuan berdialog dengan diri sendiri dan mempertimbangkan hati nurani sebelum berucap dan bertindak adalah ciri kebebasan manusia. Ini penting agar kita mampu untuk senantiasa menenggang perasaan orang lain dan tidak bertindak naluriah di ruang publik. Kemampuan ini juga penting agar kita bersikap kritis terhadap praktik yang sudah dianggap lazim, dilakukan banyak orang, tetapi sesungguhnya bermasalah secara moral.

Pemikiran filsuf perempuan, Hannah Arendt, ini dapat membantu kita menemukan wajah paradoksal dari media sosial sebagaimana tecermin dalam kasus Florence Saulina Sihombing. Mahasiswa S-2 Universitas Gadjah Mada itu melontarkan makian melalui akun Path yang memicu kemarahan sebagian warga Yogyakarta.
Kemarahan itu berujung pada penahanan Florence oleh kepolisian setempat. Dari kasus ini kita patut bertanya, benarkah media sosial telah membebaskan kita?

Di satu sisi, media sosial adalah medium yang menawarkan kesetaraan dan egalitarianisme. Untuk menjadi sumber berita, Florence tidak perlu menjadi pengamat, komentator, atau selebritas.

Untuk menjadi terkenal, Florence tak perlu muncul di Indonesia Lawyers Club atau Indonesia Lawak Klub. Untuk menyebarkan berita, Florence juga tidak perlu menjadi wartawan media besar. Media sosial memungkinkan orang biasa seperti Florence muncul di ruang publik.

Revolusioner

Inilah perubahan revolusioner yang dibawa media sosial. Facebook, Twitter, blog, dan lain-lain memungkinkan setiap orang untuk berpendapat secara langsung tentang apa saja di mana pun.

Media sosial memungkinkan setiap orang untuk berbicara sebagai subyek yang otonom. Ketika menempatkan setiap orang sebagai narasumber dan produsen informasi, media sosial telah membebaskan kita semua.

Seorang teman berkata, media sosial memerdekakan kita semua subyek yang berbicara (zoon logon echon). Pada titik ini, media sosial bermakna positif bagi demokratisasi dan deliberasi publik. Apalagi fakta membuktikan bahwa media sosial memberi kontribusi signifikan kepada upaya pemberdayaan prinsip-prinsip kewargaan atau hak-hak politik warga negara.

Namun, pada sisi lain, kasus Florence juga menunjukkan ketidakbebasan pengguna media sosial. Bukan dalam pengertian bahwa pengguna media sosial banyak yang menghadapi kasus gugatan hukum. Namun, bahwa seseorang tidak dapat dikatakan bebas sejauh dia masih ikut-ikutan menggunakan media sosial untuk memaki-maki pihak tertentu.

Seseorang bukanlah manusia bebas sejauh dia tidak mampu menguasai diri dan menimbang akibat suatu tindakan, lalu meniru begitu saja apa yang lazim dilakukan banyak orang. Karena menggunakan media sosial untuk menumpahkan sumpah-serapah sedang menjadi tren, maka mereka melakukannya tanpa sikap kritis.

Di sinilah kita mendapati negativitas media sosial. Hiperaktualitas dan interaktivitas sebagai ciri media sosial telah mendorong banyak pihak untuk melontarkan pernyataan secara spontan, otomatis, dan tanpa berpikir panjang.
”Jangan kedahuluan orang lain”, mungkin demikian hukum media sosial. Akibatnya, kita sering tidak sempat mengukur kepantasan dan dampak suatu pernyataan.

Perlu digarisbawahi, ini bukan hanya problem Florence. Orang-orang yang mem-bully Florence melalui media sosial secara kasar dan emosional sesungguhnya memiliki problem yang sama: terjebak ke dalam semacam ”kultur kawanan” dan tidak mampu lagi bersikap kritis terhadap konsekuensi suatu tindakan.
Menggunakan media sosial untuk menghakimi dan mencaci maki orang lain telah menjadi tren yang sulit dibendung. Sebagian dari kita bahkan mulai menganggapnya sebagai kewajaran.

Status tidak jelas

Mengapa kita cenderung spontan dan tanpa perenungan ketika berbicara di media sosial? Salah satu penjelasannya adalah ketidakjelasan status media sosial. Di satu sisi Facebook, Twitter, dan blog mencerminkan karakteristik ruang publik: keterbukaan, interaktivitas, dan partisipatori.

Media sosial juga banyak digunakan untuk mendiskusikan masalah publik: kriteria para menteri, kemacetan lalu lintas, korupsi, kelangkaan bbm, dan seterusnya.
Namun, di sisi lain, kita juga memperlakukan media sosial sebagai ruang privat. Banyak orang tersinggung ketika wartawan mengutip tanpa izin pernyataan mereka di media sosial.

Yang lebih umum lagi, media sosial digunakan untuk segala urusan privat: curhat urusan rumah tangga, meng-upload foto pribadi, men-share foto makanan enak, dan menceritakan pengalaman individu yang tak ada kaitannya dengan kepentingan publik.

Bisa jadi Florence atau siapa pun yang menggunakan media sosial untuk melontarkan makian kasar juga berpikir media sosial adalah ruang privat. Barulah mereka sadar media sosial juga sejenis ruang publik ketika makian tersebut kemudian menimbulkan kegaduhan publik.

Media sosial berada di garis batas antara ruang publik dan ruang privat. Namun, jika kita sepakat untuk meletakkan media sosial sebagai ruang publik, kita juga harus sepakat dengan satu prinsip dasar: kebebasan berpendapat kita bukan tak terbatas.

Kebebasan kita dibatasi oleh hak orang lain untuk diperlakukan secara layak dan adil. Maka, berhati-hatilah ketika berbicara di ruang publik. Jika tidak, kita akan berhadap-hadapan dengan hukum yang melindungi hak-hak orang lain tersebut. Yang tidak kalah penting, segeralah para aktivis media sosial berkumpul dan menyepakati kode etik media sosial yang berlaku secara umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar