Selasa, 02 September 2014

Situasi Krusial RAPBN 2015

Situasi Krusial RAPBN 2015

Gunoto Saparie  Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
KORAN JAKARTA, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 dibuat untuk mewujudkan amanat konstitusi agar negara memenuhi hak-hak warga. Sasaran kebijakan fiskal yang tertuang dalam RAPBN 2015 terdiri dari sejumlah tujuan pokok, dan bermuara pada peningkatkan kesejahteraan rakyat melalui penciptaan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan.

Pemerintah mendesain RAPBN 2015 dengan postur ekspansif dengan target defisit anggaran 257,6 triliun rupiah atau 2,32 persen dari produk domestik bruto (PDB). Defisit ditetapkan dari anggaran belanja 2.019,87 triliun dan pendapatan 1.762,3 triliun. Rasio pajaknya 12,32 persen dari PDB.

Meskipun pemerintah mengklaim postur anggaran cukup ekspansif, ada juga upaya mengerem. Hal itu tampak dari angka rasio defisit yang turun dari 2,4 persen PDB pada APBN-P 2014 menjadi 2,32 persen pada RAPBN 2015. Inkonsistensi ini mencerminkan kekhawatiran pemerintah atas ruang peningkatan pajak yang sempit maupun sumber pendapatan lain terbatas.

Ini pula yang menjelaskan alasan pemerintah menyebut postur RAPBN 2015 masih bersifat baseline sehingga banyak peluang untuk berubah dan diubah DPR dan pemerintahan baru. Harus diakui, tantangan fiskal saat ini dan tahun depan relatif tidak mudah. Jalan fiskal yang terjal bertambah seiring dengan masa transisi pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Mengingat anggota parlemen terpilih akan mulai bertugas pada Oktober, dapat dipastikan bahwa strategi fiskal yang bersifat baseline itu, mau tidak mau, akan disodorkan kepada pemerintahan baru. Dengan demikian, hampir dapat dipastikan pemerintahan mendatang hanya akan menjalankan strategi fiskal yang bersifat baseline.

RAPBN 2015 memang disusun dengan asumsi makro optimistis di tengah kondisi ekonomi melemah. Di antaranya, pertumbuhan ekonomi 5,6 persen, inflasi 4,4 persen, dan nilai tukar rupiah 11.900 per dollar AS. Sedangkan suku bunga SPN 3 bulan 6,2 persen, harga minyak mentah 105 dolar AS tiap barel, lifting minyak mentah 845 ribu barel per hari, serta lifting gas bumi 1.248 ribu barel per hari.

Pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi cukup tinggi meski kondisi global belum menentu sehingga dikhawatirkan dapat memengaruhi investasi dan pertumbuhan. Demikian pula jika berpijak pada kondisi perekonomian saat ini, indikator makro justru sedang berada dalam tekanan yang dikhawatirkan secara berkelanjutan berdampak pada makro-ekonomi 2015.

Pertumbuhan triwulan II-2014 menurun pada 5,12 persen, dan tahun ini diperkirakan hanya sekitar 5,2 persen atau lebih rendah dari target pemerintah. Secara umum, paradigma pemerintah dalam penyusunan RAPBN tahun 2015 berada dalam kerangka konsolidasi fiskal. Hal itu berakibat ruang ekspansi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pengembangan pendidikan, infrastruktur, dan pengeluaran produktif lainnya menjadi sangat terbatas.

Konfigurasi inflasi disebabkan tiga sumber penting: faktor moneter, harga minyak internasional, dan pasokan/distribusi pangan. Faktor nonmoneter menyumbang inflasi cukup besar sehingga pertarungan pengendalian sesungguhnya ada di sektor nonmoneter. Angka inflasi harus benar-benar direalisasikan. Untuk itu, perlu dilakukan kebijakan fiskal yang berkaitan dengan inflasi, seperti infrastruktur dan distribusi.

Sasumsi suku bunga SBI (3 bulan) seharusnya dapat ditekan menjadi 6–6,5 persen. Ini relatif rasional karena di satu sisi mengikuti kecenderungan inflasi yang rendah, di sisi lain mengurangi biaya operasi moneter yang harus ditanggung BI (lewat instrumen SBI). Sesungguhnya, jika asumsi bunga SBI berada pada level kesepakatan RAPBN 2015, seharusnya inflasi bergerak lebih tinggi. Masalah bunga SBI perlu dibahas secara serius karena BI, dalam beberapa waktu terakhir, harus mengeluarkan biaya besar, khususnya untuk beban bunga SBI.

Kondisi Perekonomian

RAPBN 2015 akan dilaksanakan pemerintahan baru yang menghadapi kondisi perekonomian cukup berat, di antaranya penurunan pertumbuhan, suku bunga tidak dapat diturunkan, bahkan kemungkinan naik lagi. Ada lagi, defisit transaksi berjalan besar, subsidi BBM tinggi, dan penerimaan pajak naik hanya sedikit.

Pelemahan ekonomi ini akan diikuti penurunan nilai tukar rupiah yang dipengaruhi banyak hal. Salah satunya mulai pulihnya ekonomi Eropa dan Amerika Serikat sehingga banyak investor kembali menanam modal ke negara-negara maju. Maka, pelemahan mata uang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga negara berkembang lain seperti India.

Memang, pemerintah memiliki potensi yang cukup besar untuk menggali potensi penerimaan negara menjadi lebih besar. Dalam struktur RAPBN 2015, pendapatan negara diperkirakan mencapai 1.762,29 triliun atau naik 7,8 persen dibanding APBNP 2014. Kontribusi terbesar masih disumbang perpajakan 1.370,827 triliun rupiah atau naik 10 persen dari APBNP 2014.

Penerimaan negara bukan pajak berkontribusi 388 triliun atau 0,3 persen dari APBNP 2014. Potensi penerimaan masih bisa ditingkatkan karena tax ratio dalam RAPBN 2015 masih sekitar 12,32 persen. Ini berarti pemerintah dapat menggali potensi penerimaan untuk pembiayaan pembangunan tanpa mengganggu kelancaran roda ekonomi.

Pemerintah bisa saja mengalokasikan pembiayaan modal untuk infrastruktur dengan mengurangi subsidi BBM, namun akan menghadapi tekanan inflasi dan publik. Pemerintah memiliki ruang guna meningkatkan pergerakan ekonomi melalui perbaikan kondisi investasi.

RAPBN 2015 harus efisien dengan mengurangi overhead cost yang tidak semestinya sehingga dapat menggerakkan perekonomian. RAPBN 2015 harus berorientasi pada keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan, serta tidak berorientasi defisit budget. Untuk itu, perlu ditingkatkan kapabilitas pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan seiring dengan peningkatan alokasi dana pembangunan bagi daerah.

Desentralisasi fiskal dan otonomi daerah harus meningkatkan secara signifikan anggaran ke daerah. Kemampuan mengelola keuangan dengan tepat sangat penting untuk memastikan keberhasilan pembangunan. Pemerintah harus menjadikan anggaran belanja negara sebagai daya dorong efektif pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional yang berkualitas. Ini harus diikuti dengan sistem pengelolaan anggaran belanja negara yang efisien. Pemerintah juga harus membuat program akselarasi penyerapan anggaran. Rantai birokrasi dan peluang korupsi harus dipangkas dengan menyediakan seistem monitoring yang transparan dan akuntabel.

Pemerintahan Jokowi nanti baru memiliki peluang mengubah postur dalam APBN Perubahan 2015, mungkin awal 2015. Namun, agaknya RAPBN 2015 menghadapi situasi krusial. Di satu sisi, rezim baru tentu ingin langsung bergerak cepat, tetapi strategi fiskal masih bersifat anggaran “dasar” alias baseline. Dalam kaitan ini, dibutuhkan kearifan sekaligus keberanian pemerintahan SBY maupun Jokowi untuk berbagi beban agar pelaksanaan RAPBN 2015 lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan.

Maka, RAPBN 2015 harus member ruang gerak untuk mengutamakan kepentingan rakyat secara langsung dengan memperbesar belanja kepentingan sosial seperti anggaran pendidikan, kesehatan, pertanian, penciptaan industri padat karya yang bisa mendukung sektor riil. Jokowi harus diberi ruang gerak yang cukup tanpa terkendala dan tersandera struktur RAPBN itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar