Revolusi
Mental, Dimulai dari Pendidikan
B Suprapto ; Wakil
Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur,
Mengajar di Unika Darma Cendika Surabaya
|
JAWA
POS, 05 September 2014
GAGASAN
revolusi mental yang diluncurkan presiden terpilih Joko Widodo mendapat
respons positif dari berbagai kalangan, baik dari teknokrat, agamawan, maupun
para pendidik.
Ide
revolusi mental bermula dari kegalauan yang dirasakan masyarakat di berbagai
ruang kehidupan. Antara lain, di jalan-jalan kota besar dan kecil serta di
ruang publik yang lain, termasuk media masa dan media sosial. Revolusi mental
harus segera dilakukan. Mengingat, pertama, gagalnya rezim Orde Baru dalam
melaksanakan pembangunan, yang belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam
rangka pembangunan bangsa (nation
building).
Kedua,
tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde
Baru masih berlangsung hingga sekarang, mulai korupsi, intoleransi terhadap
perbedaan, dan sifat kerakusan hingga sifat ingin menang sendiri,
kecenderungan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, pelecehan
hukum, dan sifat oportunis. Semua itu masih berlangsung dan beberapa di
antaranya bahkan makin merajalela di alam Indonesia yang terkenal ramah ini.
Meski
sangat sederhana, konsep yang ditawarkan Joko Widodo itu didasari oleh
pemikiran yang sangat fundamental, filosofis, dan empiris sehingga mampu
menyentuh akar persoalan. Masalahnya, revolusi mental dimulai dari mana?
Dari Pendidikan
Revolusi
mental dimulai dari pendidikan, mengingat peran pendidikan sangat strategis
dalam membentuk mental anak bangsa. Pengembangan kebudayaan maupun karakter
bangsa diwujudkan melalui ranah pendidikan. Pendidikan pengembangan karakter
adalah sebuah proses berkelanjutan dan tidak pernah berakhir (never ending process). Selama sebuah
bangsa ada dan ingin tetap eksis, pendidikan karakter harus menjadi bagian
terpadu dari pendidikan alih generasi.
Implementasi
pendidikan karakter tidak harus dikaitkan dengan anggaran. Dibutuhkan
komitmen dan integritas para pemangku kepentingan di bidang pendidikan untuk
secara sungguh-sungguh menerapkan nilai-nilai kehidupan di setiap
pembelajaran. Pendidikan karakter tidak sekadar mengajarkan mana yang benar
dan mana yang salah, tetapi juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik. Dengan begitu, peserta
didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu
merasakan (afektif) nilai yang baik (loving
the good/moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action), dan biasa melakukan (psikomotor). Jadi, pendidikan
karakter erat berkaitan dengan habit (kebiasaan) yang dipraktikkan dan
dilakukan.
Anak-anak
tidak membutuhkan kurikulum, tetapi kehidupan yang benar-benar mampu
menghidupi mereka. Mereka belajar dari kehidupan nyata. Yang terjadi
sekarang, banyak nilai atau ajaran yang sudah ada itu dikaburkan,
ditutup-tutupi dengan kebohongan yang dikemas dalam sebuah ikon berupa iklan
yang justru menyesatkan.
Nilai Utama
Thomas
Lickona, dalam bukunya, Education for
Character, menawarkan dua nilai utama pendidikan karakter yang berdasar
atas hukum moral, yaitu sikap hormat dan bertanggung jawab. Nilai-nilai
tersebut mewakili dasar moralitas utama yang berlaku secara universal. Sebab,
itu memiliki tujuan dan merupakan nilai yang nyata bahwa terkandung
nilai-nilai baik bagi semua orang, baik secara individu maupun sebagai bagian
dari masyarakat.
Ada
tiga hal pokok untuk memahami konsep rasa hormat. Pertama, penghormatan
terhadap diri sendiri. Maksudnya, mengharuskan kita untuk memperlakukan apa
yang ada pada hidup kita sebagai manusia yang memiliki nilai secara alami.
Kedua, penghormatan terhadap orang lain, mengharuskan kita untuk
memperlakukan semua orang, bahkan orang-orang yang kita benci, sebagai
manusia yang memiliki nilai tinggi dan memiliki hak yang sama dengan kita
sebagai individu. Ketiga, hormat terhadap lingkungan, sebuah kewajiban untuk
melindungi alam dan lingkungan ketika kita hidup dari rapuhnya ekosistem dan
segala kehidupan yang bergantung di dalamnya.
Sedangkan
tanggung jawab merupakan suatu bentuk lanjutan dari rasa hormat. Jika
menghormati orang lain, itu berarti kita menghargai mereka. Jika menghargai
mereka, kita merasakan sebuah ukuran dari rasa tanggung jawab kita untuk
menghormati kesejahteraan hidup mereka. Tanggung jawab secara literal ’’kemampuan untuk merespons atau
menjawab’’. Artinya, tanggung jawab berorientasi terhadap orang lain,
memberikan bentuk perhatian, dan secara aktif memberikan respons terhadap apa
yang mereka inginkan. Tanggung jawab menekankan kepada kewajiban positif
untuk saling melindungi.
Sikap
hormat dan tanggung jawab adalah dua nilai moral dasar dalam membentuk mental
anak yang harus diajarkan di sekolah. Tentunya masih banyak nilai lain,
misalnya kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri,
tolong-menolong, peduli terhadap sesama, keberanian, dan sikap demokratis.
Namun, nilai-nilai khusus tersebut merupakan bentuk dari rasa hormat dan
tanggung jawab atau sebagai media pendukung untuk bersikap hormat dan
bertanggung jawab. Bagaimana strategi pengajaran tentang rasa hormat dan
tanggung jawab? Bergantung kepada kebijaksanaan masing-masing sekolah. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar