Mamaknai
Tuhan Membusuk
Masduri ; Akademisi
Teologi dan Filsafat
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 05 September 2014
TEMA
Orientasi Cinta Akademik dan Almamater (Oscaar) Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya diekspos banyak media massa dan
diperbincangkan di berbagai media sosial. Mulanya sederhana, pada acara
Orscaar tersebut, teman-teman Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya mengangkat tema Tuhan Membusuk:
Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan. Kemudian, media ramai
mengekspos berita tersebut. Bahkan, para pengguna media sosial ramai
berdiskusi –lebih tepatnya saling hujat– antara yang pro dan kontra. Bagi
civitas academica di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, bahkan bagi akademisi
di lingkungan perguruan tinggi Islam dan filsafat, tema tersebut merupakan
hal biasa. Tetapi, ketika dilempar ke publik, apalagi dibesar-besarkan oleh
media, itu menjadi hal yang luar biasa. Sebab, tema tersebut merupakan
konsumsi akademisi di dunia kampus Islam dan filsafat, yang pada dasarnya
hanya kritik keberagamaan agar umat beragama tidak kehilangan spirit nilainya
dalam kehidupan.
Di
banyak media yang saya baca, mayoritas wartawan mengutip tema tersebut hanya ’’Tuhan Membusuk’’, kalimat
selanjutnya, ’’Rekonstruksi
Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan’’ tidak dikutip. Akibatnya,
emosi publik mudah tersulut karena fakultas ushuluddin dan filsafat dianggap
menghina atau bahkan tidak membenarkan adanya Tuhan. Sudah jamak kita mafhum
bahwa mayoritas keberagamaan masyarakat Indonesia masih berkutat kepada
tataran doktrin dan legal formal keberagamaan. Sementara itu, ajaran
substantif dalam agama, secara khusus agama Islam belum bisa dicerna dengan
baik. Akibatnya, banyak perbuatan destruktif yang dilakukan umat Islam.
Sebagai contoh sederhana, tindak pidana korupsi di Indonesia banyak dilakukan
oleh umat Islam, tak tanggung-tanggung menteri agamanya menjadi tersangka
kasus korupsi dana haji. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang selama ini
keberagamaannya sangat fanatik, presidennya sudah mendekam dalam penjara
karena kasus korupsi impor daging sapi. Masih banyak kasus lain yang
dilakukan orang yang zahir-nya dianggap sangat taat beragama.
Kasus
lain yang barangkali mengguncang naluri kemanusiaan kita adalah kekerasan
beragama di Indonesia yang masih subur. Atas nama Tuhan, mereka saling
membunuh, merasa paling benar, dan berhak mendapatkan surga. Kadang pula
mereka berkedok sok pluralis. Tetapi, ketika dihadapkan kepada wacana
perbedaan pandangan dan ideologi, mereka mudah emosi dan tetap selalu merasa
paling benar, serta berhak atas surga.
Islam Kosmopolitan
Sebenarnya
pesan yang hendak disampaikan teman-teman mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, melalui tema Oscaar Tuhan Membusuk: Rekonstruksi Fundamentaslime Menuju Islam
Kosmopolitan adalah kritik keberagamaan atas matinya nilai-nilai
spriritualitas dalam kehidupan beragama umat Islam. Bagi mereka, berbagai
tindakan destruktif, misalnya korupsi, kekerasan keberagamaan, dan segenap
tindakan amoral yang lain, merupakan bentuk pembusukan terhadap Tuhan sebagai
Zat Yang Mahasuci. Sebab, mestinya Tuhan diagungkan –meminjam bahasa Hassan
Hanafi–, pengagungan kepada Tuhan itu tidak hanya berarti penyembahan kepada
Tuhan dalam ritual keberagamaan. Tetapi, lebih dari itu, pengagungan atau
penyucian kepada Tuhan harus diwujudkan secara konkret berupa penghargaan atas
hak-hak hidup manusia. Salah satu di antaranya, dengan cara tidak korupsi dan
tidak membunuh sesama manusia atas nama apa pun. Tuhan sejatinya tidak
membutuhkan penyucian manusia. Sebab, tanpa disucikan, Tuhan tetap Mahasuci
dan Mahasempurna.
Sebab
itulah, berlebihan merisaukan –apalagi membesar-besarkan– persoalan tema
Oscaar tersebut. Maksud teman-teman mahasiswa ushuluddin dan filsafat sangat
baik. Apa yang mereka lakukan merupakan bentuk kritik keberagamaan agar umat
Islam tidak membusukkan Tuhan dengan melakukan berbagai tindakan destruktif.
Barangkali
bahasa ’’Tuhan Membusuk’’ tidak
perlu dirisaukan, hal yang lebih penting ialah melakukan rekonstruksi
fundamentalisme menuju Islam kosmopolitan. Bahasa Islam kosmopolitan sempat
dilontarkan dalam buku Gus Dur, yang secara umum pandangannya berisi ajakan
agar umat Islam memahami universalitas ajaran Islam yang menempatkan
moralitas sebagai inti ajarannya. Gus Dur menyatakan bahwa inti ajaran Islam
bertumpu kepada lima prinsip.
Lima
prinsip itu, pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani
di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs).
Kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk
berpindah agama (hifdzu ad-din).
Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl). Keempat, keselamatan harta benda dan milik
pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal). Kelima, keselamatan
hak milik dan profesi (hifdzu al-milk)(Baca
dalam buku Islam Kosmopolitan,
Nilai-Nilai Indonesia Transformasi dan Kebudayaan).
Kira-kira
secara sederhana, bagi teman-teman mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya, bila masyarakat tidak melakukan tindak konstruktif
dengan dasar spirit moral tersebut, itu berarti masyarakat telah membuat
busuk ajaran agama, atau dalam bahasa mereka ’’Tuhan Membusuk’’, lebih tepatnya ’’Membusukkan Tuhan’’ dengan mengingkari ajaran-Nya.
Jadi,
pemaknaan ’’Tuhan
Membusuk’’ bukan Tuhan yang membusuk, melainkan ajaran Tuhan yang telah
dibuat membusuk oleh penganut ajaran-Nya sehingga tidak lagi hadir dalam
kehidupan masyarakat. Kira-kira hampir
sama dengan pernyataan Friedrich Nietzsche, Gott ist tot (Tuhan telah
mati),
pemaknaan terhadap teks tersebut jangan dimaknai secara harfiah. Kematian Tuhan, menurut Nietzsche, tidak berarti Tuhan
secara fisik mati, tetapi manusia telah membunuh nilai-nilai ketuhanan yang
diajarkan dalam agama. Nilai-nilai moral dan teologis dalam agama tidak lagi
menjadi acuan dasar dalam kehidupan sehari-hari umat beragama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar