Jumat, 05 September 2014

Fakultas Kedokteran Abal-Abal

Fakultas Kedokteran Abal-Abal

Wimpie Pangkahila  ;   Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
KOMPAS, 05 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

BELUM  lama ini Menteri Kesehatan menyatakan agar fakultas kedokteran yang tidak memenuhi syarat alias abal-abal harus ditutup. Tentu saja semua orang normal harus setuju dan mendukung pernyataan itu. Hanya orang sakit jiwa yang tidak setuju atau menentang pernyataan itu. Alasannya sederhana: kalau institusinya abal-abal, tentu hasilnya juga abal-abal. Jadi, dokter yang dihasilkan juga abal-abal alias tidak berkompeten dan tidak berkualitas.

Akibat lebih lanjut sudah jelas. Masyarakat menjadi korban ketika memerlukan pelayanan kesehatan. Maka, kualitas kesehatan bangsa dan kualitas hidup secara keseluruhan tetap rendah.

Siapa bertanggung jawab?

Akan tetapi, pertanyaan besar yang harus dimunculkan dan harus dijawab oleh siapa pun yang terkait ialah siapa yang memberi izin dan mengapa membiarkan fakultas kedokteran tidak berkualitas itu? Sudah pasti ini harus dijawab dan dijelaskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pihak yang
berwenang.

Pertanyaan lebih jauh ialah dari mana mengetahui sebuah fakultas kedokteran memenuhi syarat atau ternyata abal-abal? Mestinya tidak terlalu sulit menjawab ini. Secara logika umum, untuk pendidikan strata satu (S-1) dan profesi Program Studi Pendidikan Dokter paling tidak empat hal berikut harus dipenuhi.

Pertama, jumlah dosen yang memenuhi syarat, yaitu harus berpendidikan minimal S-2 atau sederajat. Kedua, jumlah mahasiswa maksimal yang diterima sesuai dengan jumlah dosen dan fasilitas yang tersedia. Ketiga, harus mempunyai gedung dan peralatan praktikum yang memadai. Keempat, selanjutnya harus mempunyai rumah sakit untuk pendidikan dengan dokter spesialis yang memenuhi syarat.

Bukan rahasia lagi, ada fakultas kedokteran yang menerima mahasiswa sampai 400 orang setiap tahun. Bagaimana menjaga kualitas proses belajar dan mengajarnya? Dokter macam apa yang akan dihasilkan dengan jumlah mahasiswa sekian banyak, sementara dosen tetap yang memenuhi syarat sangat terbatas. Ada pula fakultas kedokteran yang tidak punya gedung dan fasilitas memadai, tetapi tetap saja mendapat izin beroperasi.

Saya menduga ada kepentingan lain ikut bermain, tidak semata-mata untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan dokter dan peningkatan taraf kesehatan masyarakat. Bukan tidak mungkin ada kepentingan kelompok atau pribadi atau kepentingan bisnis yang lebih dominan dibandingkan dengan kepentingan kualitas hidup bangsa.

Ada contoh yang menarik untuk dikaji. Di sebuah kota kecil terdapat dua fakultas kedokteran, negeri dan swasta. Mengapa mesti diizinkan keduanya? Bukankah dengan mudah dapat diketahui betapa tidak mudahnya mencari tenaga dosen yang memenuhi syarat? Betapa tidak mudahnya mendirikan laboratorium dan fasilitas belajar-mengajar untuk mahasiswa kedokteran? Bukankah mendirikan dan meningkatkan mutu fakultas kedokteran tidak sama dengan fakultas lain yang persyaratannya lebih ringan? Bukankah dengan logika sederhana, cukup satu tetapi berkualitas demi bangsa?

Masalah kesehatan lain

Banyak masalah kesehatan lain yang seolah dibiarkan begitu saja oleh pihak terkait.  Lihat saja produk obat dan suplemen yang ilegal, tetapi beredar di segala penjuru. Amati saja gerobak dorong di pinggir jalan yang menjajakan obat yang bukan obat bebas, tetapi dibiarkan begitu saja. Tengok pula apotek yang dengan tenang menjual obat yang seharusnya menggunakan resep dokter.   Belum lagi peredaran obat palsu yang bukan rahasia lagi, tetapi tak pernah berhenti.

Saksikan saja obat suntik yang didaftarkan sebagai alat kesehatan dibiarkan beredar dan digunakan secara luas. Memangnya alat kesehatan boleh masuk ke tubuh manusia Indonesia? Lihat saja kosmetik berbahan kimia berbahaya yang terus beredar membahayakan kaum perempuan. Apalagi obat herbal kapsul yang dicampur bahan kimia dengan tenang beredar mencari mangsa. Tindakan razia memang dilakukan, tetapi korban telah berjatuhan.

Sejumlah lembaga dan individu dari luar negeri menyerbu negara  kita melalui produk ilegal, bahkan yang belum berbasis bukti ilmiah. Beberapa orang asing memberikan kursus dan pelatihan tanpa izin kerja sambil menjual produk ilegal, padahal mereka menjual dengan harga mahal. Sertifikat yang mereka berikan tidak jelas siapa yang mengakui, tetapi mampu  mengecoh dokter kita yang terkesan lugu (atau dungu?).

Ada pula dokter kita yang mengikuti kursus di luar negeri dari lembaga yang tak jelas akreditasinya. Bermodalkan sertifikat yang tak jelas pula, lalu membuat kursus serupa untuk dokter kita dan memberikan sertifikat juga. Semua itu laksana jeruk makan jeruk.

Harus ada tindakan

Mengapa muncul masalah fakultas kedokteran abal-abal dan masalah kesehatan lainnya? Penyebab dasarnya mesti kembali ke masalah dasar bangsa, yaitu moralitas yang telah sekarat. Karena itu, harus ada tindakan segera demi bangsa.

Fakultas kedokteran tak berkualitas harus segera dibina dan ditingkatkan. Namun, harus ada batas waktu tertentu sebelum menghasilkan lebih banyak lagi dokter abal-abal. Kalau batas waktu tak terpenuhi, mau apa lagi? Tinggal pilih: ditutup atau dibiarkan dengan mengorbankan masyarakat.

Sebegitu banyak masalah kesehatan yang harus dihadapi bangsa ini, yang sekian lama seolah dibiarkan begitu saja. Sebegitu berat tanggung jawab pemerintah baru di bawah kepemimpinan Jokowi-JK, termasuk masalah terkait bidang kesehatan, khususnya fakultas kedokteran abal-abal. Kita berharap masalah kesehatan—termasuk fakultas kedokteran abal-abal— sebagai warisan untuk pemerintah baru harus segera ditertibkan dan diatasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar