Resolusi
Konflik di Desa
Robert Bala ; Diploma
Resolusi Konflik Asia Pasifik
pada Universidad Complutense Madrid,
Spanyol
|
KOMPAS,
06 September 2014
SUNGGUH
ironis! Hanya beberapa saat setelah apel bendera, 17 Agustus 2014, terjadi
peristiwa berdarah di Lembata, Nusa Tenggara Timur. Warga Desa Wulandoni dan
Pantai Harapan terlibat ”perang”
antarkampung. Konflik yang berawal dari masalah tanah itu bisa saja meluas
kalau tidak diredam oleh aparat keamanan dari tiga kabupaten di Nusa Tenggara
Timur (NTT). Mengapa peristiwa itu bisa terjadi? Lalu, apa pembelajaran yang
mestinya dipetik dari tragedi ini?
Artikel
R Yando Zakaria, ”Catatan atas Konflik
Tanah di Negeri Bersuku-suku” dalam Berebut Tanah: Beberapa Kajian
Berperspektif Kampus dan Kampung (2002), mengungkapkan fakta mencengangkan.
Bagi praktisi antropologi, relawan pada Institute
for Social Transformation (Insist) dan Koordinator Program Lingkar untuk
Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa) ini, tingkat konflik tanah cukup besar di
Flores. Ada desa yang tingkat konfliknya bahkan mencapai 50 persen kasus dan
terendah adalah 6,67 persen.
Pada
tingkat konflik antarkelompok warga dengan sekelompok warga dari desa lain,
angkanya lebih menakjubkan lagi. Ada desa yang mencapai angka 60 persen.
Kebinekaan suku yang mestinya jadi kekayaan justru menjadi bahaya laten.
Maraknya
konflik seperti ini tentu tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia merupakan
akumulasi kejadian yang sudah lama terpendam. Tiap-tiap kelompok
memperjuangkan apa yang dianggap menjadi haknya.
Sayangnya,
klaim atas tanah itu bersifat parsial. Ia dikisahkan dalam lingkupnya sebagai
sebuah kebenaran tunggal. Di satu pihak, ia menjadi kebanggaan karena
berkisah tentang keperkasaan diri pada masa lalu. Di pihak lain, ada yang
mewarisi kisah sebagai korban. Hak ulayat terpaksa diserahkan karena adanya
pemaksaan. Ia kian parah ketika negara sebagai supra-suku, yang mestinya
hadir meluruskan kisah, ternyata lebih propenguasa.
Dalam
perspektif Coser Lewis, dalam Master
Sociological Thought (1977), kisah parsial itu menjadi bahaya laten yang
setiap saat bisa meledak. Jelasnya, kelihatan ia menjadi kisah tak realistis
dan kerap dianggap sepele. Akan tetapi, yang terjadi justru ia menunggu
simbol fisik-realistis sebagai pemicu terjadi konflik terbuka.
Kenyataan
semacam inilah yang terjadi antara warga Wulandoni dan Pantai Harapan di NTT.
Pembangunan talut atau pemasangan papan nama menjadi tanda realistis yang
memungkinkan konflik terbuka terjadi.
Ruang narasi
Konflik
sangat kerap terjadi karena perbedaan pandangan tidak secara utuh dikemas.
Pemerintah kerap lebih mudah mengambil jalan represif, entah lewat kekerasan
fisik ataupun melalui peranti hukum.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang telah dicabut itu, bisa
saja menjadi salah satu bagian dari masalah. Desa ingin dikelola sebagai
ruang publik sambil secara nyata mengangkangi hak adat yang selama itu
dihidupi.
Luka
itu kini bisa terobati dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa. Di sana desa adat diakui, dan ini mestinya menjadi sebuah momen
menggembirakan. Hak adat itu mendapatkan ruang yang selama ini dirampas.
Namun,
hal itu belum final. Di negeri bersuku-suku, seperti Flores dan Lembata,
pengakuan desa adat bisa saja membuka konflik baru. Desa jadi kumpulan aneka
suku yang masing-masing bisa mengklaim sebagai yang paling berhak dalam era
desa adat.
Dalam
konteks ini, desa adat mestinya dirumuskan lebih jauh agar lebih
implementatif. Minimal ia perlu menjadi wadah dialog yang memungkinkan kisah
berbeda diluruskan. Di atasnya, sebuah pembaruan bisa diharapkan terjadi.
Pada saat bersamaan, perlu upaya sejalan untuk menata desa ”formal”. Pada
desa yang memiliki konflik, perlu dipupuki kesatuan sosial atau loyalitas
ganda.
Dalam
dimensi ini, masyarakat antardesa akan makin intens berinteraksi karena ada
ikatan sosial yang menyatukan mereka. Loyalitas pun akan meluas karena mereka
tidak terbatas pada kesatuan desa, tetapi melampauinya oleh kesatuan yang
pada saat bersamaan dimiliki juga dengan warga di desa lain.
Tuntutan
ini menjadi sangat kuat dan urgen, terutama di desa yang memiliki latar
belakang budaya (khususnya agama) berbeda. Mereka mesti sadar, konflik yang
terjadi karena perbedaan paham dengan mudah bisa disulut menjadi konflik
terbuka. Loyalitas ganda bisa jadi peredam karena upaya perdamaian akan lebih
kuat daripada peperangan lantaran dinetralisasi oleh loyalitas tersebut.
Pada
akhirnya, baik desa ”formal” maupun desa adat yang merupakan basis terkecil
dan ”ujung tombak” otonomi mesti dibekali juga dengan kepiawaian dalam
resolusi konflik. Di sana mereka diajak untuk mendeteksi munculnya konflik
dan segera melaksanakan strategi meredamnya agar hal itu tidak meluas.
Hal
inilah yang mestinya jadi fokus perhatian. Konflik tanah menyadarkan bahwa
resolusi menjadi urgensi yang harus disikapi. Ia tidak sekadar melerai,
tetapi juga secara antisipatif membuka narasi dialog agar dimungkinkan muncul
sebuah perdamaian dan harmonisasi yang lebih berkualitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar