Menggerakkan
Poros Maritim
M Riza Damanik ; Ketua
Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
|
KOMPAS,
06 September 2014
Di
tengah menipisnya kebaharian bangsa Indonesia, tulisan Rizal Sukma, ”Gagasan
Poros Maritim”, di Kompas (20/08) menarik dibahas lebih lanjut.
Sukma
menyodorkan tiga strategi dasar mendukung gagasan presiden terpilih Joko
Widodo mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Mulai dari kesiapan
sumber daya manusia, penguatan infrastruktur maritim, hingga membentuk
Indonesia Maritime Partnership Initiative bersama Jepang, Tiongkok, India,
Korea Selatan, dan Singapura guna menyiasati kebutuhan biaya yang besar,
ketersediaan teknologi yang cukup, dan waktu yang panjang.
Bagi
saya, untuk negara kepulauan khas dan sebesar Indonesia, strategi mewujudkan
poros maritim haruslah diawali dengan perubahan paradigmatik daripada sekadar
programatik. Karena itu, penting memahami modalitas Indonesia.
Modalitas Indonesia
Indonesia
memiliki akar kemaritiman yang terbilang kuat. Pertama, diplomasi kelautan
yang andal. Pendakuan sepihak Indonesia terhadap kedaulatan perairan di
sekeliling dan di antara pulau-pulau melalui Deklarasi Djuanda 1957,
misalnya, telah menjadi inspirasi sekaligus motivasi pembaruan Konvensi PBB
tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982). Dengan begitu, negara-negara di Utara,
meski didukung teknologi dan modal besar, tidak (lagi) bebas memasuki dan
memanfaatkan kekayaan laut di negara lain, termasuk mengambil ikan.
Sebelum
1982, sekitar 75 persen produksi ikan dunia tercatat dari negara-negara
Utara. Bertahap setelah itu, hingga sekarang, mayoritas produksi bergeser ke
Selatan, termasuk Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Belakangan pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono mengizinkan (kembali) kapal-kapal ikan asing berbobot lebih
dari 1.000 GT bebas menangkap ikan di perairan Indonesia dan membawanya
langsung ke luar negeri.
Kedua,
lintasan utama perdagangan dunia. Sebanyak 80 persen perdagangan dunia
diangkut melewati laut 60 persennya atau sekitar 12.000 kapal setiap tahun
melewati perairan Indonesia. Jalur strategis ini belum digunakan untuk
memperbesar peran Indonesia dalam rantai perdagangan global.
Ketiga,
arus lintas Indonesia, Indonesian through
flow. Diperkirakan sedikitnya 16 juta meter kubik air per detik melalui
perairan Indonesia. Dengan volume sebesar itu, laut Indonesia berperan
strategis menjaga keseimbangan iklim dunia dan pengembangan energi terbarukan
berbasis arus maupun pasang-surut. Nyatanya, kampung-kampung yang berhadapan
dengan laut justru ”gelap”, jauh dari akses energi berkelanjutan.
Terakhir,
nilai ekonomi dari 11 subsektor kelautan Indonesia diperkirakan lebih dari
1,2 triliun dollar AS. Selang 69 tahun merdeka, belum juga dioptimalkan untuk
”sebesar-besar” kemakmuran rakyat.
Fakta-fakta
itu mengingatkan kita bahwa menjadi poros maritim dunia sejatinya bukanlah
proyek baru Indonesia. Maka, sebelum beranjak ke program mercusuar kerja sama
dengan bangsa-bangsa lain, menggerakkan bangsa sendiri adalah penting.
Menggerakkan rakyat
Menggerakkan
seluruh komponen bangsa—desa-kota, timur-barat, pesisir-pegunungan,
perempuan-laki-laki, muda-tua, miskin-kaya—dapat dimulai dengan menghidupkan
(kembali) Gerakan Nasional Makan Ikan.
Mengapa?
Pertama,
perlu realistis melihat kondisi ekonomi yang diwariskan Yudhoyono. Defisit
APBN dan neraca perdagangan menggambarkan terbatasnya pembiayaan Jokowi ke
depan.
Kedua,
terlampau banyak inisiatif kerja sama ekonomi—baik bilateral maupun multilateral—semasa
Yudhoyono dan masih akan menyandera pemerintahan Jokowi. Untuk lima tahun
mendatang, merapikan kerja sama ekonomi jauh lebih mendesak ketimbang
membangun inisiatif baru.
Maka,
ketiga, menggerakkan kekuatan kolektif rakyat sangatlah penting. Jika
sungguh-sungguh, Gerakan Nasional Makan
Ikan (bukan ikan impor) akan melahirkan sembilan perubahan paradigmatik.
Dimulai dengan perubahan pola konsumsi untuk menyiapkan generasi sehat dan
cerdas, perilaku tidak mengotori lingkungan laut, mempercepat kesejahteraan
nelayan, membuka 10 juta lapangan pekerjaan baru, dan memperkuat peran
strategis budaya bahari Nusantara.
Lalu,
merangsang tumbuh kembangnya riset dan teknologi kelautan, industri
pengolahan ikan dan bioteknologi, industri perkapalan, pembenahan pelabuhan,
termasuk pada akhirnya memperkukuh kedaulatan dengan mempersempit masuknya
kapal-kapal ikan asing ke laut Indonesia.
Gagasan
Jokowi mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim harus menjadi kesadaran
revolusioner yang berakhir pada tindakan cerdas untuk menggerakkan potensi
segenap rakyat dan mengembalikan kedaulatan negara di laut! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar