Tragedi
Gaza dan Kegagalan DK PBB
Desra Percaya ; Duta
Besar/Wakil Tetap RI pada PBB di New York
|
KOMPAS,
06 September 2014
SEJAK
agresi Israel pada 8 Juli 2014 dimulai, masyarakat internasional telah
menyaksikan tragedi kemanusiaan di Gaza tanpa ada langkah nyata untuk
menghentikannya. Alasan kebutuhan Israel atas keamanan dapat dipahami. Namun,
hal ini tak dapat digunakan sebagai justifikasi dilakukannya pelanggaran hukum
internasional dan pembunuhan terhadap penduduk sipil, khususnya perempuan dan
anak-anak.
Mengapa
Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa gagal bertindak? Opsi apa yang
tersedia? Lalu, bagaimana prospek perdamaian selanjutnya?
Tragedi
Gaza memang sangat memprihatinkan. Lima pertemuan DK guna membahas situasi di
Gaza gagal menghasilkan langkah nyata karena ada ancaman veto dari anggota
tetap (P5). Situasi itu tak hanya menambah korban jiwa dan kerugian material,
tetapi juga mengganggu tata pergaulan internasional yang berpijak pada
penghormatan hukum internasional dan prinsip penyelesaian konflik secara
damai.
Sesuai
Piagam PBB, DK memiliki tanggung jawab utama untuk memelihara perdamaian dan
keamanan internasional. Keputusannya juga mengikat secara hukum. Oleh karena
itu, kegagalan ataupun keberhasilan DK dalam melaksanakan tanggung jawab
utamanya berdampak luas terhadap umat manusia.
Dalam
sejarahnya, DK memiliki catatan hitam karena gagal melaksanakan tanggung
jawabnya serta membiarkan terjadi kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hukum
internasional, seperti di Rwanda (1994) dan Srebrenica (1995). Konflik dan
kekerasan yang kian meruncing dan meluas di Suriah juga menambah daftar
kegagalan DK.
Ketika
mengulas DK, pada umumnya publik diarahkan pada gambaran sebuah organ yang
solid dan memiliki landasan moral yang tinggi. Pada kenyataannya, dinamika
politik di DK jauh dari suasana ideal yang memungkinkan tanggung jawab
utamanya dilaksanakan secara efektif.
Mekanisme
pembuatan keputusan di DK yang mensyaratkan adanya persetujuan P5 (suara
negatif berarti veto) sering kali menyulitkan organ ini untuk mengambil
keputusan secara cepat dan decisive. Veto, ataupun ancaman penggunaannya,
sering kali dimanfaatkan oleh anggota tetap untuk kepentingan nasional
masing-masing atau membela sekutunya. Selektivitas dan standar ganda sering
diterapkan.
Dengan
motif penggunaan veto seperti itu, peran DK pun dikorbankan. Dari institusi
yang pembentukannya didasarkan pada keinginan untuk menghentikan konflik
internasional jadi sebuah alat untuk melumpuhkan sistem internasional yang
telah disepakati bersama. Dalam perspektif yang lebih luas, sejarawan Gabriel
Kolko berpandangan bahwa veto menjadikan PBB sebagai panggung politik
kekuatan (Stephen C Schlesinger, 2004).
Hak
veto memang merupakan peninggalan Perang Dunia II yang tidak demokratis dan
tidak sesuai dengan realitas dunia internasional dewasa ini. Kekuatan veto
yang anakronistik dan secara moral tak dapat dipertanggungjawabkan harus
dihapuskan DK (Joseph E Schwartzberg, 2014). Tak mengherankan bahwa upaya
untuk mereformasi DK, termasuk menghapuskan veto, sudah dimulai sejak 1993.
Namun, upaya itu tidak mengalami kemajuan karena ada perbedaan tajam
antarberbagai kelompok kepentingan, termasuk P5.
Dalam
kondisi seperti ini, otoritas DK dipertanyakan. Bagaimana DK dapat memenuhi
mandatnya menghentikan pembunuhan massal, kejahatan atas kemanusiaan,
genosida, kejahatan perang, atau agresi di seluruh dunia yang masih mungkin
terjadi pada masa depan? Terlepas dari realitas dan tantangan di atas,
kegagalan DK untuk bertindak di Gaza tak boleh dijadikan alasan untuk berdiam
diri.
Opsi lain
Selama
DK tidak dapat menghentikan agresi Israel, mayoritas negara yang tergabung
dalam Gerakan Nonblok dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), termasuk
Indonesia, memegang peran penting sebagai penjaga moral, kelompok penekan
politik, serta pembela hak-hak Palestina di forum PBB. Posisi prinsipnya
sangat jelas: mendukung kemerdekaan Palestina dan menentang berlanjutnya
pendudukan Israel.
Kelompok
politik ini juga terus meningkatkan desakan kepada Israel bagi dihentikannya
agresi, disepakatinya gencatan senjata, dimulainya proses perundingan damai,
serta dorongan kepada dunia internasional untuk memberikan bantuan
kemanusiaan dan rekonstruksi Gaza. Beberapa negara yang memiliki hubungan
diplomatik dengan Israel bahkan telah pula memanggil pulang duta besarnya.
Sementara
desakan kepada DK untuk menjalankan tanggung jawabnya terus disuarakan,
langkah apa yang dilakukan di luar forum DK? Setidaknya terdapat empat opsi
tindakan.
Pertama,
penyelenggaraan sesi khusus Majelis Umum PBB dalam kerangka uniting for
peace. Dengan keanggotaannya yang universal, forum ini bermanfaat untuk
mengangkat situasi di Gaza pada level yang lebih tinggi dan secara otomatis
menambah tekanan politik terhadap Israel. Meski resolusi yang dihasilkan
tidak legally binding, hal itu dapat menjadi dasar untuk merekomendasikan
upaya dan respons bersama dari negara-negara anggota PBB atas krisis di Gaza.
Kedua,
memperkuat perlindungan terhadap rakyat Palestina. PBB mengakui bahwa Israel
sebagai kekuatan pendudukan di Palestina. Sesuai Konvensi Geneva 1949,
pendudukan haruslah bersifat sementara. Secara khusus, hukum internasional
melarang kekuatan pendudukan melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil,
termasuk di antaranya penyiksaan dan pembunuhan yang semena-mena.
Guna
memperkuat perlindungan penduduk sipil ini, penduduk Palestina perlu
ditempatkan ke dalam sistem perlindungan internasional di bawah PBB.
Masyarakat internasional juga perlu mendukung inisiatif penyelenggaraan
pertemuan High Contracting Parties Konvensi Geneva 1949 sebagai langkah
simbolik untuk menekan Israel mematuhi konvensi dimaksud.
Ketiga,
menuntut akuntabilitas Israel. Pada 23 Juli 2014, Dewan HAM PBB telah
mengadakan special session guna membahas agresi Israel. Sesi tersebut
menghasilkan kesepakatan pembentukan Commission
of Inquiry (COI) untuk menyelidiki berbagai dugaan pelanggaran hukum
kemanusiaan dan hukum HAM internasional oleh Israel.
Upaya
meminta pertanggungjawaban Israel, khususnya criminal accountability para pejabat Israel yang terlibat dalam
perencanaan dan pelaksanaan agresi serta pembunuhan terhadap rakyat sipil
Palestina, merupakan mekanisme deterrent yang dapat mencegah terjadi tragedi
serupa pada masa depan. Palestina juga telah menegaskan kembali keinginannya
agar Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dapat melaksanakan yurisdiksi di
wilayah Palestina, dengan memanfaatkan mekanisme yang tersedia pada Statuta Roma. Hasil kerja COI juga
dapat membantu ICC melaksanakan tugasnya.
Keempat,
boikot Israel. Penerapan langkah ini memang sangat kompleks karena dalam era
globalisasi, perusahaan multinasional mempunyai cabang, anak perusahaan,
saham di perusahaan lain, atau beroperasi di berbagai wilayah dunia. Walaupun
dampak boikot mungkin masih sangat kecil, langkah ini merupakan tindakan
simbolik yang sangat berarti, seperti yang telah dilakukan Uni Eropa.
Proses perdamaian
Berbagai
proses perdamaian telah dilakukan untuk mencari solusi atas inti
permasalahan, yaitu perbatasan, keamanan, pengungsi, permukiman, dan sumber
air. Hingga kini belum satu pun yang mendatangkan perdamaian, sebaliknya
kondisi di wilayah pendudukan kian memburuk. The ripeness of moment, berupa
kondisi politik yang kondusif bagi perdamaian pada tingkat nasional di
Israel, Palestina, kawasan Timur Tengah maupun global, memang belum muncul.
Format
dan struktur proses perdamaian yang selama ini cenderung didominasi satu
negara juga perlu ditinjau. Mediator perundingan haruslah pihak yang
dipercaya dan kredibel serta adil dan imparsial. Karena itu, proses
perdamaian yang dimediasi kuartet (AS, Rusia, Uni Eropa, dan PBB) perlu
dihidupkan kembali. Keterlibatan empat pihak secara berimbang memungkinkan
proses perundingan lebih fokus dan memperhatikan aspirasi pihak-pihak yang
bertikai secara adil dan fair.
Dengan
menyimak realitas dan dinamika di atas, kemerdekaan dan perdamaian abadi bagi
Palestina tampaknya memang masih jauh dari kenyataan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar