Selasa, 16 September 2014

Prospek Kabinet Ideal Jokowi

Prospek Kabinet Ideal Jokowi

Wasisto Raharjo Jati  ;   Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
SINAR HARAPAN, 15 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Perumusan mengenai postur kabinet ideal tengah menghangat dalam diskursus politik publik hari ini. Terlebih lagi setelah Jokowi sendiri membuka kantor transisi maupun audisi publik terhadap pencarian sosok menteri ideal yang akan mengisi kabinetnya mendatang.

Jokowi memang sosok strategis dan sosok korektif dalam menyongsong pemerintahannya. Langkah pertama yang dilakukan adalah meminta perampingan kabinet dan kementerian maupun juga deparpolisasi terhadap pemilihan anggota kabinet dengan mengharamkan adanya rangkap jabatan.

Kedua hal tersebut setidaknya memberikan warna baru dalam konstelasi presidensialisme dengan sistem multipartai di Indonesia setelah 2004. Terdapat upaya penegasan untuk memperkuat kuasa preogratif presiden dalam menghadapi kuasa transaksional partai politik.

Perlu diingat pula, eksperimentasi terhadap sistem multipartai dalam alam demokrasi di Indonesia selama 10 tahun (2004-2014) telah menghasilkan adanya pengerdilan presiden (minority president) selama berkuasa.

Anasir yang dilakukan Mainwaring dan Shugart (2007) menjelaskan, minority president terjadi karena terjadi instabilitas dalam pemerintahan, terjadi devided government antara ruang legislatif dengan ruang eksekutif.

Hal yang terjadi kemudian adalah legislatif dengan kekuatan partai politik (parpol) mayoritas bisa menekan eksekutif yang notabene berasal dari kalangan partai minoritas. Implikasi yang terjadi adalah model politik dagang sapi yang berujung pada pola komformitas dan kompromisitas politik yang berujung pemenuhan kepentingan oligarki ketimbang publik.

Anasir Cheibub (2010) maupun Linz (2003) mengenai kabinet yang dipimpin minority president menunjukkan adanya gejala deadlock dalam perumusan perundangan maupun kebijakan kepada publik untuk disahkan kepada legislatif.

Akhirnya, yang terjadi justru survivalitas presidensialisme di tengah tekanan kartel sehingga menjadikan pemerintahan presidensialis menjadi tersandera.

Mencermati konstelasi dan kontestasi politik ke depan setelah 20 Oktober 2014, kita melihat muncul dua kartel koalisi, yakni Koalisi Merah Putih yang pro Prabowo dan mengambil sikap oposisi terhadap pemerintahan Jokowi, dengan Koalisi Pandawa Lima yang dipimpin PDIP.

Menguatnya deadlock akan lebih terjadi pada perumusan kebijakan strategis maupun pembahasan perundangan pada saat joint session antara presiden dengan DPR. Selebihnya deadlock akan terjadi pada dinamika koalisi perihal pengisian kabinet.

Perlu diketahui, konteks minority president juga bisa terjadi dari kalangan internal, tidak hanya kalangan eksternal. Arus deras tuntutan parpol pendukung koalisi pemerintahan untuk bisa menitipkan kadernya dalam kabinet ini yang berpotensi besar mereduksi hak preogratif presiden dalam menyusun kabinet maupun juga penunjukkan kementerian dan lembaga tertentu, menjadi domain partai dan sapi perah bagi pemenuhan kas parpol tersebut.

Dalam situasi mutakhir, Jokowi melarang adanya politik rangkap jabatan maupun penjatahan kementerian tertentu pada salah satu parpol. Sikap Jokowi ini perlu diapresiasi dan didukung sebagai langkah awal melakukan revolusi mental, meniadakan budaya rent seeking maupun office and chair seeking dalam menginisiasi pembentukan kabinet baru.

Hal yang ditekankan Jokowi adalah service seeking pemberian jatah menteri kabinet dan mengutamakan adanya profesionalitas dalam bekerja dengan berpegang teguh pada prinsip right man on the right place. Implikasinya adalah terbentuknya zaken kabinet yang berisikan kalangan teknokrat, bukan hanya berisikan kalangan kleptokrat.

Pembentukan kabinet nirpartai yang terbebas dari segala unsur parpol demi terbentuknya kabinet yang bekerja tentu membutuhkan berbagai prasyarat politik tertentu. Pertama, kabinet nirpartai dibentuk atas stabilitas, solidaritas, dan koordinasi politik yang kuat dari partai pendukung koalisi.

Dalam hal ini, PDIP sebagai patron harus bisa menekan ego sektoral maupun ego politik kepada setiap parpol koalisi agar jangan sampai melakukan politik transaksional terhadap pembentukan kabinet baru.

Oleh karena itu, sosok Megawati Soekarnoputri sebagai king maker atas terbentuknya Koalisi Pandawa Lima perlu menegaskan sikap politiknya agar diikuti semua kalangan ketua partai lainnya.

Kedua, kabinet nirpartai terbentuk atas perimbangan kekuasaan ideal antara legislatif dengan eksekutif. Jika kita simak, komposisi Koalisi Merah Putih menguasai kursi 63 persen, sedangkan Koalisi Pandawa Lima mencapai 37 persen. Hal ini yang sepertinya akan menjadi ganjalan kabinet nirpartai Jokowi dalam menghadapi kekuatan transaksional koalisi oposisi.

Ketiga, kabinet nirpartai terbentuk atas dasar kesukarelaan semua anggota koalisi untuk tidak memaksakan kehendak politiknya dan lebih menghamba pada pemenuhan kepentingan publik.

Keempat, adanya deparpolisasi bukan berarti mengerdilkan peran parpol dalam pembentukan kabinet. Namun, hal yang diutamakan adalah partai berperan penasihat dan konsultan terhadap progam-progam kabinet yang akan dijalankan.

Dengan melihat track record Jokowi selama di pemerintahan, kita patut optimistis kabinet nirpartai yang benar-benar bekerja untuk rakyat akan diwujudkan dan tercapai. Kuncinya adalah kembali pada penegasan koalisi tanpa syarat yang ditegaskan PDIP sebagai patron dan juga penegasan hak prerogatif Jokowi sebagai presiden dalam memilih menteri dan membentuk kabinet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar