Perekonomian
Rakyat
Heppy Trenggono ; Pemimpin
Gerakan Beli Indonesia
|
REPUBLIKA,
22 September 2014
Suatu ketika,
Iyus Sugandi, seorang peternak ayam dari Kampung Legok, Gunung Guruh,
Sukabumi, berkisah tentang perjalanannya sebagai peternak rakyat. Memulai
beternak ayam potong sejak tahun 1993. Lima tahun pertama adalah masa
kejayaannya ketika banyak fasilitas dan kemudahan yang disalurkan melalui
berbagai program pemerintah kepada
peternak rakyat. Kebutuhan bibit, pakan, dan pasar pun mudah diakses
sehingga praktis dia hanya fokus merawat ayam-ayamnya.
Saat krisis
moneter tahun 1997-1998, banyak peternak kecil yang gulung tikar karena tidak
kuat menanggung biaya, terutama pakan yang melambung tinggi. Iyus dan
beberapa temannya masih bertahan meskipun sempat sempoyongan.
Namun, badai
sesungguhnya datang pascareformasi, pemain besar yang sebagian besar
perusahaan asing menyerbu sentra-sentra peternak rakyat. Peternak seperti Iyus
dihadapkan pada dua pilihan yang
semuanya pahit: beternak sendiri atau bermitra.
Beternak
sendiri artinya mereka harus berjuang mati-matian melawan pemain besar, di
tengah bibit yang sulit, harga pakan selangit, dan ketika harus menjual hasil
panen harganya tidak bisa bersaing dengan mereka. Jadilah peternak seperti
Iyus makin terjepit.
Mau tak mau
pilihan bermitra pun diambil. Namun, pilihan ini ternyata menjadikan peternak
rakyat juga tidak bisa bergerak. Semua kebutuhan disiapkan perusahaan, mulai
dari bibit, pakan, hingga pasar. Harga pembelian daging atau telur sudah
dipatok sejak awal oleh perusahaan, tetapi bibit dan pakan mengikuti harga
pasar yang harus ditanggung peternak, yang dipotong ketika panen.
Pada awalnya,
para peternak bisa mendapat untung. Namun, semakin lama semakin bermasalah,
pakan yang dipasok tidak selalu bermutu baik, yang menyebabkan kualitas
daging turun dan tidak memenuhi standar sehingga perusahaan menolak membeli.
Akibatnya, peternak harus menanggung
kerugian.
Pola seperti
ini terjadi di mana-mana dan berjalan bertahun-tahun sehingga membunuh ribuan
peternak rakyat. Hampir di semua sentra peternakan rakyat terdapat
kandang-kandang kosong karena pemiliknya tak mampu lagi melanjutkan usahanya.
Entah berapa
jumlah peternak rakyat yang mati tidak ada yang mengetahui, bahkan pemerintah
setempat pun tidak bisa menunjukkan datanya. Namun, berapa pun jumlah mereka
yang telah mati, yang pasti di bekas lahan-lahan pertenak milik rakyat itu
kini telah berdiri peternakan yang semuanya milik asing, perusahaan asal
Cina, Thailand, Malaysia, dan Korea.
Fenomena
ambruknya perekonomian rakyat seperti yang terjadi pada sektor peternakan
ayam di Sukabumi ini bukanlah sebuah kisah tunggal, tetapi terjadi di seluruh
pelosok Tanah Air dan di berbagai sektor.
Di tengah arus
globalisasi yang sangat deras, Indonesia harus segera berbenah untuk
menciptakan ketahanan perekonomian rakyat agar mereka tidak semakin
menderita. Bangsa Indonesia harus segera menyadari adanya ancaman-ancaman
baru, baik yang datang dari luar maupun dari dalam.
Lihatlah
bagaimana kemiskinan di Indonesia bisa dikirim dengan mudahnya dari luar.
Apakah itu melalui LIBOR, melalui Standard
and Poor, melalui harga komoditas, maupun melalui harga minyak yang
selama ini kita "merasa" tidak bisa berbuat apa-apa.
Pernahkah kita
berpikir bagaimana melindungi petani kopra di Tobelo, Halmahera Utara, yang
jumlahnya puluhan ribu itu ketika harus menghadapi kenyataan di mana kopra
yang sebelumnya harganya masih dalam kisaran Rp 6.000 per kilogram tiba-tiba
turun kembali menjadi Rp 2.500 per kilogram, bukan karena persediaan kopra
mereka berlebihan, tetapi karena harga di bursa Rotterdam turun.
Masyarakat
Ekonomi ASEAN yang berlaku mulai Januari 2015 akan membawa tantangan yang
semakin berat bagi rakyat. Arus barang dan jasa dari luar akan semakin bebas
masuk ke Indonesia, investasi dan modal akan lebih bebas masuk, bahkan di
tengah sulitnya mencari pekerjaan di Tanah Air mau tidak mau anak-anak kita
harus siap menghadapi persaingan baru dengan tenaga-tenaga kerja dari luar
negeri yang juga akan bebas masuk ke Indonesia.
Upaya bangsa
Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi menjadi semakin kompleks dengan diterapkannya otonomi
daerah, di mana menggerakkan program secara integral dari pusat hingga ke
daerah mengalami kesulitan tersendiri.
Pemahaman
kepala daerah dalam membangun ekonomi pun sangat beragam, sebagian besar
berbicara tentang pentingnya investasi untuk membuat daerahnya segera
terlihat maju, sehingga tidak lagi melihat apakah investasi itu akan membuat kehidupan perekonomian
rakyat semakin mudah atau bahkan sebaliknya.
Maka tidak
mengherankan jika di tengah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi mencapai 6
persen sejak tahun 2008 itu, ternyata tidak dinikmati oleh lapisan di bawah,
bahkan menyisakan kisah nestapa bagi rakyat.
Untuk
menghadapi tantangan itu, satu pekerjaan rumah terbesar yang harus kita
lakukan adalah bersatu padu dengan semua stakeholder
agar bisa "memegang" pasar dalam negeri. Jika kita mampu menciptakan
sebuah kondisi di mana pasar dalam negeri kita kuasai, maka akan menjadi
basis dari keberlangsungan perekonomian rakyat. Bukan sebuah kemustahilan
mentransformasikan kekuatan pasar tersebut untuk membuat perekonomian rakyat
itu sendiri menjadi sebuah norma yang akan dijaga dan ditumbuhkan oleh semua
pihak, termasuk pendatang global.
Selain itu,
yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan agar semua kepala daerah yang
merupakan benteng pertahanan terakhir dan memegang hak otonom memiliki cara
pandang sama dalam membangun ekonomi, memiliki pembelaan yang jelas terhadap
perekonomian rakyat dan berwawasan nusantara.
Saya meyakini
bahwa peran Lemhanas menjadi semakin strategis di tengah era globalisasi saat
ini. Lemhanas merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki alasan dan
kemampuan untuk membekali semua pemimpin di negeri ini dari mulai sipil,
militer, parpol, ormas, hingga swasta. Sebagaimana tujuan awal Lemhanas
didirikan yaitu untuk menciptakan integrasi dan harmoni di antara semua
pemimpin yang ada di Indonesia.
Lemhanas perlu
memberikan perhatian khusus pada aspek perekonomian rakyat ini. Hari ini
Lemhanas dituntut untuk lebih canggih dan lebih cepat karena harus
"bersaing" dengan Harvard. Kita tahu, secara berkala, Harvard
memberikan pembekalan kepada para bupati dan wali kota kita.
Pertanyaannya,
paradigma mana yang akan melekat pada para kepala daerah itu, paradigma
ketahanan ekonomi dengan wawasan nusantara atau paradigma liberalisasi?
Perekonomian
rakyat yang terus kita biarkan berguguran akan meminta biaya yang sangat
mahal bagi bangsa Indonesia. Maka membangun dan melindungi mereka adalah
sebuah keniscayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar