Trilemma
Negeri Atas Angin
Adiwarman A Karim ; Peneliti di Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
22 September 2014
Syed Muhammad
al-Naquib al-Attas dalam bukunya Historical
Fact and Fiction mengutip sebuah hadis Rasulullah SAW dari buku Hikayat
Raja-Raja Pasai yang menarik untuk disimak. "Sepeninggalku, ada sebuah Negeri Atas Angin bernama Samudra.
Datangilah negeri itu dan ajaklah mereka memeluk Islam. Allah akan menjadikan
negeri itu tanah kelahiran banyak wali Allah." Negeri Atas Angin Samudra itu kini dikenal
dengan nama Indonesia.
Letak
geografis Indonesia yang demikian terbuka telah membuat perdagangan internasional,
pertukaran mata uang asing, dan pengaruh ekonomi internasional menjadi suatu
keniscayaan. Di Negeri Atas Angin inilah, bertemu agama-agama besar dunia
dengan damai. Namun, di negeri ini pula bertemu berbagai kepentingan ekonomi
dunia yang tidak jarang pula memicu perebutan pengaruh di antara kekuatan
besar dunia.
Menjadi tempat
perebutan pengaruh tidak selalu enak. Di satu sisi, muncul keinginan untuk
berdaulat secara moneter dengan menerapkan kebijakan moneter yang independen.
Di sisi lain, juga muncul keinginan untuk menjaga kestabilan nilai tukar
rupiah, bahkan kalau bisa, menerapkan sistem kurs tetap. Namun, di sisi
lainnya, pergerakan modal yang bebas merupakan suatu keniscayaan. Ketiga
keinginan inilah yang menimbulkan trilemma.
Maurice
Obstfeld dan Alan M Taylor, masing-masing guru besar ekonomi Universitas
California Berkeley dan Universitas California Davis, yang memopulerkan
istilah trilemma ini. Bahkan,
profesor Robert Mundell dari Universitas Columbia mendapat hadiah Nobel
ekonomi tahun 1999 karena risetnya di bidang trilemma ini.
Heinz Wolfgang
Arndt dan Hal Hill, guru besar ekonomi di Australian National University,
dalam bukunya Southeast Asia's Economic
Crisis menyimpulkan bahwa krisis ekonomi Asia pada 1997-1998 disebabkan
ketiga hal itu yang ingin dicapai semua bersamaan. Ila Patnaik dan Ajay Shah,
peneliti pada International Institute of Public Finance and Policy, dalam
risetnya "Asia Confronts the
Impossible Trinity" juga menyimpulkan hal yang sama untuk krisis
ekonomi yang melanda Asia Timur.
Pada periode
itu, mata uang negara-negara Asia secara de facto dikaitkan langsung dengan
nilai dolar AS sehingga investor asing berbondong-bondong masuk ke Asia tanpa
kawatir risiko fluktuasi nilai mata uang. Mereka pun tidak khawatir kesulitan
menarik dananya karena negara-negara Asia menerapkan kebijakan arus modal
bebas. Maraknya modal asing yang masuk pada periode itu juga dipicu oleh
tingginya tingkat suku bunga jangka pendek di negara-negara Asia dibandingkan
dengan tingkat suku bunga di AS. Itulah periode emas sehingga Indonesia
dijuluki menjadi salah satu Macan Asia, salah satu keajaiban Asia.
Keberhasilan
ekonomi Asia itu telah melenakan banyak pihak bahwa mereka terjebak dalam
trilemma, yaitu tiga tujuan makro ekonomi yang tidak dapat dicapai semuanya
secara bersamaan. Hanya dua dari tiga tujuan itu yang dapat dicapai secara
bersamaan dan negara-negara harus memilih dua hal tersebut. Keberhasilan semu
itu mulai terbaca oleh investor asing karena nilai mata uang negara-negara
Asia tidak mencerminkan nilai sebenarnya lagi.
Masuknya
banyak modal asing seharusnya membuat nilai tukar mata uang negara-negara
Asia jauh lebih kuat terhadap dolar AS, namun karena nilainya dikaitkan
langsung, nilai mata uang negara-negara Asia tetap rendah. Ketika investor
asing menarik dana mereka seketika, runtuhlah kekuatan ekonomi Asia.
Joshua
Aizenman, guru besar ekonomi di Universitas Southern California, juga
menyimpulkan bahwa memaksakan diri mencapai tiga tujuan sekaligus telah
menyebabkan krisis mata uang Meksiko (1994-1995), krisis ekonomi Asia
(1997-1998), dan krisis keuangan Argentina (2001-2002).
Melemahnya
rupiah terhadap dolar AS sama sekali tidak ada kaitannya dengan penyusunan
kabinet baru. Begitu pula sama sekali tidak ada kaitannya menguatnya dolar AS
dengan pencalonan Jokowi ketika itu. Melemah dan menguatnya rupiah terhadap
dolar AS adalah fenomena ekonomi yang merupakan akibat pemilihan dua dari
tiga tujuan makroekonomi.
Bila kita
ingin kedaulatan moneter dengan kebijakan moneter yang independen dan sistem
arus modal bebas, implikasinya nilai tukar rupiah akan bergerak melemah dan
menguat sesuai kekuatan neraca perdagangan dan pembayaran.
Ketika fulus
diperkenalkan pada zaman Bani Mamluk dan digunakan luas pada zaman Bani
Abbasiyah Baghdad, Bani Umayyah II Andalusia, Bani Fatimiyah II Sicilia,
nilai tukar fulus juga bergerak melemah dan menguat.
Fulus adalah
mata uang yang tidak lagi terbuat dari emas (dinar) atau perak (dirham),
namun campuran atau bahkan seluruhnya terbuat dari tembaga yang nilai
nominalnya ditentukan oleh gubernur yang mencetaknya. Alhasil, fulus
Andalusia berbeda nilainya dengan fulus Baghdad, berbeda pula dengan fulus
Sisilia.
Fulus sama
sekali berbeda dengan dinar dan dirham yang nilainya terkait langsung dengan
emas dan perak. Fulus merupakan awal dari mata uang kertas yang kita kenal
saat ini yang nilainya sama sekali tidak lagi dikaitkan dengan nilai bahan
baku yang membuatnya. Akibatnya, fulus dan mata uang yang kita kenal sekarang
akan berfluktuasi nilainya.
Negeri Atas
Angin, Negeri Samudra, Negeri Para Wali, demikian hadis yang dikutip profesor
Naquib al-Attas dari buku Hikayat Raja-Raja Pasai, merupakan negeri harapan
banyak umat Islam dunia. Begitu terbukanya bangsa ini terhadap budaya luar,
bahkan setelah ratusan tahun dipecah belah oleh kekuatan asing, bangsa ini
bangkit menjadi kekuatan ekonomi dunia saat ini. Bahkan, kita telah menjadi
kekuatan ekonomi terbesar di antara negara-negara Islam.
Entah
bagaimana kedudukan hadis tersebut di mata para ahli hadis, namun kita yakin
Rasulullah SAW sangat mencintai umatnya, umat akhir zaman yang selalu rindu
kepada Rasulullah SAW meskipun kita tidak pernah berjumpa dengan beliau. Kita yakin Rasul SAW mencintai umatnya di
Negeri Atas Angin yang tidak fasih berbahasa Arab, tapi selalu rindu membaca
Alquran, yang tidak paham artinya, tapi selalu khusyuk bershalawat.
Rasulullah SAW
pernah bertanya kepada para sahabatnya tentang siapa makhluk yang paling
dahsyat imannya. Sahabat menjawab, "Tentu para malaikat." Rasul SAW
berkata, "Bukan, tentu saja mereka beriman karena diciptakan Allah untuk
taat." Sabahat menjawab, "Tentu para rasul dan nabi."
"Bukan, tentu saja mereka beriman karena mendapat wahyu sebagai utusan
Allah." Sabahat akhirnya
menjawab, "Kalau begitu, kami, ya Rasulullah." Rasul SAW tersenyum,
"Bukan, tentu saja kalian beriman karena berjuang bersamaku, melihat
mukjizatku." Kemudian, Rasul SAW
melanjutkan, "Yang paling dahsyat imannya adalah umatku pada akhir
zaman. Mereka tidak pernah berjumpa denganku, tapi mereka mencintaiku
sebagaimana kalian mencintaiku, mereka membelaku sebagaimana kalian
membelaku." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar