Rabu, 24 September 2014

Trilemma Negeri Atas Angin

Trilemma Negeri Atas Angin

Adiwarman A Karim ;   Peneliti di Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
REPUBLIKA, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Syed Muhammad al-Naquib al-Attas dalam bukunya Historical Fact and Fiction mengutip sebuah hadis Rasulullah SAW dari buku Hikayat Raja-Raja Pasai yang menarik untuk disimak. "Sepeninggalku, ada sebuah Negeri Atas Angin bernama Samudra. Datangilah negeri itu dan ajaklah mereka memeluk Islam. Allah akan menjadikan negeri itu tanah kelahiran banyak wali Allah."  Negeri Atas Angin Samudra itu kini dikenal dengan nama Indonesia.

Letak geografis Indonesia yang demikian terbuka telah membuat perdagangan internasional, pertukaran mata uang asing, dan pengaruh ekonomi internasional menjadi suatu keniscayaan. Di Negeri Atas Angin inilah, bertemu agama-agama besar dunia dengan damai. Namun, di negeri ini pula bertemu berbagai kepentingan ekonomi dunia yang tidak jarang pula memicu perebutan pengaruh di antara kekuatan besar dunia.

Menjadi tempat perebutan pengaruh tidak selalu enak. Di satu sisi, muncul keinginan untuk berdaulat secara moneter dengan menerapkan kebijakan moneter yang independen. Di sisi lain, juga muncul keinginan untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, bahkan kalau bisa, menerapkan sistem kurs tetap. Namun, di sisi lainnya, pergerakan modal yang bebas merupakan suatu keniscayaan. Ketiga keinginan inilah yang menimbulkan trilemma.

Maurice Obstfeld dan Alan M Taylor, masing-masing guru besar ekonomi Universitas California Berkeley dan Universitas California Davis, yang memopulerkan istilah trilemma ini. Bahkan, profesor Robert Mundell dari Universitas Columbia mendapat hadiah Nobel ekonomi tahun 1999 karena risetnya di bidang trilemma ini.

Heinz Wolfgang Arndt dan Hal Hill, guru besar ekonomi di Australian National University, dalam bukunya Southeast Asia's Economic Crisis menyimpulkan bahwa krisis ekonomi Asia pada 1997-1998 disebabkan ketiga hal itu yang ingin dicapai semua bersamaan. Ila Patnaik dan Ajay Shah, peneliti pada International Institute of Public Finance and Policy, dalam risetnya "Asia Confronts the Impossible Trinity" juga menyimpulkan hal yang sama untuk krisis ekonomi yang melanda Asia Timur.

Pada periode itu, mata uang negara-negara Asia secara de facto dikaitkan langsung dengan nilai dolar AS sehingga investor asing berbondong-bondong masuk ke Asia tanpa kawatir risiko fluktuasi nilai mata uang. Mereka pun tidak khawatir kesulitan menarik dananya karena negara-negara Asia menerapkan kebijakan arus modal bebas. Maraknya modal asing yang masuk pada periode itu juga dipicu oleh tingginya tingkat suku bunga jangka pendek di negara-negara Asia dibandingkan dengan tingkat suku bunga di AS. Itulah periode emas sehingga Indonesia dijuluki menjadi salah satu Macan Asia, salah satu keajaiban Asia.

Keberhasilan ekonomi Asia itu telah melenakan banyak pihak bahwa mereka terjebak dalam trilemma, yaitu tiga tujuan makro ekonomi yang tidak dapat dicapai semuanya secara bersamaan. Hanya dua dari tiga tujuan itu yang dapat dicapai secara bersamaan dan negara-negara harus memilih dua hal tersebut. Keberhasilan semu itu mulai terbaca oleh investor asing karena nilai mata uang negara-negara Asia tidak mencerminkan nilai sebenarnya lagi.

Masuknya banyak modal asing seharusnya membuat nilai tukar mata uang negara-negara Asia jauh lebih kuat terhadap dolar AS, namun karena nilainya dikaitkan langsung, nilai mata uang negara-negara Asia tetap rendah. Ketika investor asing menarik dana mereka seketika, runtuhlah kekuatan ekonomi Asia.

Joshua Aizenman, guru besar ekonomi di Universitas Southern California, juga menyimpulkan bahwa memaksakan diri mencapai tiga tujuan sekaligus telah menyebabkan krisis mata uang Meksiko (1994-1995), krisis ekonomi Asia (1997-1998), dan krisis keuangan Argentina (2001-2002).

Melemahnya rupiah terhadap dolar AS sama sekali tidak ada kaitannya dengan penyusunan kabinet baru. Begitu pula sama sekali tidak ada kaitannya menguatnya dolar AS dengan pencalonan Jokowi ketika itu. Melemah dan menguatnya rupiah terhadap dolar AS adalah fenomena ekonomi yang merupakan akibat pemilihan dua dari tiga tujuan makroekonomi.

Bila kita ingin kedaulatan moneter dengan kebijakan moneter yang independen dan sistem arus modal bebas, implikasinya nilai tukar rupiah akan bergerak melemah dan menguat sesuai kekuatan neraca perdagangan dan pembayaran.

Ketika fulus diperkenalkan pada zaman Bani Mamluk dan digunakan luas pada zaman Bani Abbasiyah Baghdad, Bani Umayyah II Andalusia, Bani Fatimiyah II Sicilia, nilai tukar fulus juga bergerak melemah dan menguat.

Fulus adalah mata uang yang tidak lagi terbuat dari emas (dinar) atau perak (dirham), namun campuran atau bahkan seluruhnya terbuat dari tembaga yang nilai nominalnya ditentukan oleh gubernur yang mencetaknya. Alhasil, fulus Andalusia berbeda nilainya dengan fulus Baghdad, berbeda pula dengan fulus Sisilia.

Fulus sama sekali berbeda dengan dinar dan dirham yang nilainya terkait langsung dengan emas dan perak. Fulus merupakan awal dari mata uang kertas yang kita kenal saat ini yang nilainya sama sekali tidak lagi dikaitkan dengan nilai bahan baku yang membuatnya. Akibatnya, fulus dan mata uang yang kita kenal sekarang akan berfluktuasi nilainya.

Negeri Atas Angin, Negeri Samudra, Negeri Para Wali, demikian hadis yang dikutip profesor Naquib al-Attas dari buku Hikayat Raja-Raja Pasai, merupakan negeri harapan banyak umat Islam dunia. Begitu terbukanya bangsa ini terhadap budaya luar, bahkan setelah ratusan tahun dipecah belah oleh kekuatan asing, bangsa ini bangkit menjadi kekuatan ekonomi dunia saat ini. Bahkan, kita telah menjadi kekuatan ekonomi terbesar di antara negara-negara Islam.

Entah bagaimana kedudukan hadis tersebut di mata para ahli hadis, namun kita yakin Rasulullah SAW sangat mencintai umatnya, umat akhir zaman yang selalu rindu kepada Rasulullah SAW meskipun kita tidak pernah berjumpa dengan beliau.  Kita yakin Rasul SAW mencintai umatnya di Negeri Atas Angin yang tidak fasih berbahasa Arab, tapi selalu rindu membaca Alquran, yang tidak paham artinya, tapi selalu khusyuk bershalawat.

Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabatnya tentang siapa makhluk yang paling dahsyat imannya. Sahabat menjawab, "Tentu para malaikat." Rasul SAW berkata, "Bukan, tentu saja mereka beriman karena diciptakan Allah untuk taat." Sabahat menjawab, "Tentu para rasul dan nabi." "Bukan, tentu saja mereka beriman karena mendapat wahyu sebagai utusan Allah."  Sabahat akhirnya menjawab, "Kalau begitu, kami, ya Rasulullah." Rasul SAW tersenyum, "Bukan, tentu saja kalian beriman karena berjuang bersamaku, melihat mukjizatku."  Kemudian, Rasul SAW melanjutkan, "Yang paling dahsyat imannya adalah umatku pada akhir zaman. Mereka tidak pernah berjumpa denganku, tapi mereka mencintaiku sebagaimana kalian mencintaiku, mereka membelaku sebagaimana kalian membelaku."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar