Bencana
Kabut Asap
Sutrisno ; Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
|
REPUBLIKA,
22 September 2014
Kabut asap
akibat kebakaran hutan dan lahan semakin pekat menyelimuti wilayah Pulau
Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Bahkan, asap telah memasuki Malaysia dan
Singapura sehingga menyebabkan polusi udara. Dampak bencana kabut asap
mengganggu kesehatan (terjangkitnya infeksi saluran pernapasan), memengaruhi
aspek ekonomi (transportasi darat, laut, dan udara), pendidikan, juga
kegiatan rutin.
Berita tentang
asap dan kebakaran hutan sering kali dicampuradukan antara kebakaran dan
pembakaran bekas atau sisa vegetasi hutan untuk persiapan lahan budi daya
tanaman. Pada pengertian pertama, ada unsur kelalaian atau ketidaksengajaan.
Sedangkan, kedua, memang disengaja dengan tujuan tertentu meskipun ada
perintah "jangan menggunakan api". Realitanya, kebakaran hutan
merupakan campuran kedua pengertian tersebut. Mengapa bisa demikian?
Pertama,
pembakaran hutan tidak bisa dikendalikan terbatas pada luasan areal yang
dikehendaki. Api merembet ke mana-mana sesuai arah angin. Kedua, pembukaan
lahan menggunakan api dilakukan tanpa perencanaan dan teknik yang memadai.
Akibatnya, api keluar dari tempat yang tidak diinginkan. Ketiga, pada lahan
yang dibakar masih tersisa pohon besar yang tidak dimanfaatkan. Mungkin,
perusahaan atau kontraktor pembersihan lahan belum memiliki izin pemanfaatan
kayu (IPK) atau tak punya akses ke pasar industri. Bara api pepohonan besar
ini merupakan sumber asap yang tak henti-hentinya.
Ketiga,
penyebab kebakaran tersebut merupakan penyebab utama gumpalan api dan asap
hitam bertebaran ditiup angin dan mampu mencapai tempat yang jauh. Kekurangan
pemerintah ialah sering kali tidak ada petunjuk teknis yang memadai dalam
mempersiapkan lahan budi daya tanpa api, termasuk di halan gambut. Di samping
itu, kontraktor yang diserahi tugas itu tidak mempunyai keahlian, sedangkan,
sang cukong perusahaan tinggal ongkang-ongkang kaki di kantornya.
Negara telah
sengaja melakukan kejahatan HAM dengan tetap membiarkan dan sangat lamban
menanggulangi kebakaran hutan sehingga ribuan warga negara terlanggar hak
atas lingkungan hidupnya. Bukankah Indonesia sudah memiliki PP No 4/2001
tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan, UU No 23/1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No
32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan tata Kelola hutan Alam Primer dan Gambut, juga UU No 41/999
tentang Kehutanan yang bisa mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan.
Masalah kabut
asap seolah menegaskan bahwa negeri ini tak becus mengelola sumber daya alam
dan lingkungan. Buktinya, kebakaran hutan dan lahan yang tiap tahun terjadi
sehingga menebar teror asap beracun. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk
mengatasi bencana asap dan kebakaran hutan yang menyebabkan kerugian
lingkungan hidup, material, dan kesehatan?
Pertama,
penegakan hukum yang tegas terhadap pembakar hutan dan lahan. Apalagi,
Indonesia akhirnya meratifikasi Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap
Lintas Batas (ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution/AATHP). Oleh karena itu, kepada aparat
penegak hukum supaya segara menangkap pelaku-pelaku pembakaran hutan serta
lahan baik yang dilakukan perseorangan maupun korporasi yang bertanggung
jawab atas wilayah konsesinya serta memberikan hukuman yang keras sehingga
menimbulkan efek jera. Penegakan hukum yang keras dan tegas adalah kunci
keberhasilan dalam menghentikan pembakaran hutan dan lahan.
Kedua, perlu
adanya satu garis komando dan sinergitas di antara Kementerian Lingkungan
Hidup, Pertanian, Kehutanan, sampai pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemadam
kebakaran, dan organisasi terkait lainnya. Selama ini, pemadaman kebakaran
hutan ditangani secara interdep.
Ketiga,
memberikan penyuluhan kepada masyarakat akan pentingnya memelihara
kelestarian dan eksistensi hutan, baik manfaat ekonomi maupun konservasi.
Pembukaan lahan atau penyiapan lahan pertanian dengan cara membakar lahan
harus dilakukan dengan teknis yang benar sehingga dapat dijaga, diatur, dan
dikelola secara efektif supaya tidak merusak ekosistem.
Keempat,
membuka wawasan kita untuk terus memekanisasi dunia pertanian dan perkebunan.
Temuan-temuan mutakhir berupa teknologi alternatif bisa digunakan untuk
memerangi masalah kabut asap dan kebakaran hutan serta lahan. Kita ingin
melihat hutan yang hijau merona, langit bersih bebas asap, dan udara segar
tanpa polusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar