Pendidikan
Mengangkat Martabat Bangsa
Komaruddin Hidayat ;
Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 12 September 2014
Dalam
berbagai forum pelatihan guru-guru saya sering memulai dengan mengajukan
pertanyaan sambil memegang handphone (HP/telepon genggam) dan mikrofon:
mengapa harga handphone jauh lebih mahal, bahkan berlipat, ketimbang
mikrofon, padahal secara fisik ukurannya lebih kecil?
Jawabannya
tentu sudah kita ketahui bersama. Meski ukurannya kecil, HP memiliki banyak
fungsi yang sangat membantu aktivitas kita sehari-hari. Yang paling primer
adalah mendekatkan jarak pendengaran dan pembicaraan yang tadinya jauh dan
tak akan terjangkau oleh telinga lalu menjadi dekat. Di mana saja, kapan
saja, selagi sinyalnya bagus kita bisa berkomunikasi lisan dengan teman
melalui HP sekalipun berjarak lintas benua.
Lebih
dari sekadar untuk berbicara, HP juga dilengkapi berbagai fasilitas yang kita
perlukan, sejak dari kamera, kalender, akses ke internet, musik, peta bumi,
kamus, Alquran, dan sebagainya. Faktor lain lagi yang membuat menarik dan
mahal adalah desainnya yang indah dan mungil. Jadi, apa yang membuatnya
mahal? Karena di dalam HP terdapat investasi sains dan teknologi canggih.
Demikian
pula halnya dengan manusia. Hal yang membuatnya berharga dan dicintai serta
diperlukan banyak orang bukan terletak pada fisiknya yang besar, melainkan
kualitas yang melekat pada dirinya, terutama integritas dan ilmu pengetahuan
yang dimiliki. Keduanya ini merupakan produk pendidikan yang bermutu dan
berkesinambungan, mengingat mendidik seseorang sampai membuahkan hasil
diperlukan waktu sekitar 20-25 tahunan.
Beda
dari menanam padi atau jagung yang menjanjikan panen hanya dalam waktu 3
bulanan. Pisang sekitar 6 bulanan, kelapa sekitar 5 tahunan. Jadi, untuk
meletakkan dasar dan strategi pendidikan bagi anak-anak bangsa mesti berpikir
jauh ke depan, bukan berubahubah dan heboh setiap lima tahunansepertihalnya
pemilu. Presiden beserta jajaran kabinet serta anggota DPR boleh saja ganti
setiap lima tahun.
Namun,
pola dan strategi pendidikan tidak boleh berubah-ubah, kecuali dalam jangka
waktu tertentu berdasarkan riset dan pemikiran yang matang. Bahkan sangat
bisa jadi keberhasilan sebuah program pendidikan, ibarat menanam benih pohon,
seorang presiden atau menteri pendidikan yang meletakkan fondasinya tidak
melihat hasilnya karena sudah lebih dulu meninggal.
Sejarah
berbagai negara memberikan pelajaran, misalnya saja China, Australia, Jepang,
Korea, Hong Kong, Singapura, dan Malaysia, bahwa berkat pemerintah mereka
yang sangat peduli dan serius dalam merancang dan melaksanakan strategi
pendidikan bagi rakyatnya, negara-negara itu lebih maju.
Penduduk
bukannya menjadi beban dan menambah angka kemiskinan, tetapi sebagai kekuatan
produktif untuk memacu dan menyangga kemajuan bangsa dan negaranya.
Australia, yang dulunya sebagai tempat pembuangan atau penampungan penjahat
kulit putih dari Eropa, sekarang merupakan salah satu negara paling makmur di
dunia dan menjadi kiblat pendidikan. Jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar
ke Australia lebih besar ketimbang mereka yang ke Amerika.
Ini
semua berpangkal pada sistem pendidikannya yang dikelola secara serius dan
terbuka bagi inovasi baru yang lebih baik. Begitu pun Jepang dan Korea
Selatan, meski sumber daya alam dan jumlah penduduknya jauh lebih kecil
dibanding Indonesia, karena pendidikannya bagus maka sektor industri menjadi
terdongkrak maju yang pada urutannya membanjiri pasar Indonesia.
Padahal,
berapa banyak universitas di Indonesia yang usianya lebih tua, jumlah
mahasiswanya lebih banyak, namun alumni yang dihasilkan tidak seproduktif
mereka. Di mana letak kesalahannya? Bagaimana halnya dengan negara-negara
kecil seperti Hong Kong atau Singapura? Mereka lebih mudah dan cepat
melakukan pemerataan dan akselerasi pendidikan bagi warganya.
Singapura
yang dulu lebih dikenal sebagai kota transit dan belanja, sekarang berhasil
mengubah citranya sebagai negara yang menawarkan pendidikan bagus. Banyak
profesor asing kelas dunia dihadirkan ke Singapura sehingga kultur dan
kualitas pendidikannya berkembang naik berada pada peringkat kelas dunia.
Yang juga fenomenal adalah Malaysia. Putra-putri terbaiknya secara masif
difasilitasi untuk belajar ke luar negeri pada universitas kelas dunia atas
beasiswa negara.
Selain
itu, sekian banyak sarjana berkualitas dari Indonesia ditawari untuk menjadi
dosen di Malaysia. Mereka bekerja untuk mendidik dan memintarkan warga
Malaysia dengan fasilitas dan gaji cukup. Jadi, jika sektor pendidikan di
Indonesia tidak dibenahi secara serius dan memperoleh perhatian serta
prioritas langsung dari jajaran wakil rakyat dan presiden, mudah diprediksi
bangsa ini akan kalah bersaing dalam percaturan global.
Sekarang
pun dalam berbagai hal sudah kalah bersaing karena kelemahan kualitas SDM
kita. Akar masalahnya adalah pada kebijakan dan politik pendidikan yang
salah. Akibatnya, perkembangan penduduk yang mestinya menjadi ” bonus demografi”,
jangan-jangan malah menjadi beban negara. Subsidi negara selalu naik, tetapi
produktivitas rakyat menurun.
Kita
tidak bisa lagi menggantungkan kemurahan sumber daya alam untuk memenuhi
kebutuhan hidup tanpa disertai keunggulan sains dan teknologi dibawah pemerintahan
yang bersih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar