Sabtu, 13 September 2014

Menolak Pilkada Tidak Langsung

Menolak Pilkada Tidak Langsung

Bawono Kumoro  ;   Peneliti Politik The Habibie Center
JAWA POS, 12 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

BEBERAPA hari terakhir, diskursus tentang masa depan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung di Indonesia kian ramai diperbincangkan dan diperdebatkan. Hal itu dipicu rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) pilkada untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bila disahkan akhir bulan ini, regulasi itu akan digunakan sebagai dasar hukum pelaksanaan pilkada di Indonesia mulai Januari 2015.

Salah satu isu krusial dalam RUU pilkada yang mengundang pro-kontra adalah gagasan untuk mengembalikan pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Proposal perubahan itu disokong Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Enam partai politik itu tergabung dalam Koalisi Merah Putih pendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam pemilihan presiden (pilpres) lalu.

Di kubu berseberangan, partai-partai politik penentang pilkada kembali ke DPRD adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura.

Sejak awal pembahasan RUU pilkada, isu tentang tata cara pilkada memang telah memunculkan pro-kontra. Pada masa-masa awal pembahasan RUU pilkada, pemerintah mengintroduksikan dua hal, gubernur dipilih DPRD dan bupati/wali kota dipilih secara langsung. Alasan pemerintah mengajukan proposal itu, ongkos politik pemilihan gubernur terlalu mahal dan tidak sebanding dengan kewenangan gubernur yang sangat terbatas.

Namun, proposal pemerintah tersebut mengundang kritik dari sejumlah pihak. Bila memang mahalnya ongkos politik menjadi alasan, mengapa bukan bupati/wali kota saja yang dipilih DPRD, mengingat jumlah kabupaten dan kota mencapai 505 kabupaten/kota, sedangkan jumlah provinsi hanya 34 provinsi? Demikian pula soal keterbatasan kewenangan gubernur, mengapa tidak dicarikan jalan keluar dengan memperkuat kewenangan melalui revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah?

Merespons kritik itu, pemerintah kemudian berubah sikap dengan merevisi proposal menjadi gubernur dipilih secara langsung dan bupati/wali kota dipilih DPRD. Bahkan, saat itu ketika Koalisi Merah Putih belum terbentuk, partai-partai seperti Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, PAN, PKS, dan PPP tetap menginginkan seluruh pilkada dilaksanakan secara langsung.

Jadi, bila dirunut dari masa-masa awal pembahasan RUU pilkada, tidak ada pemikiran untuk menghapus sama sekali pemilihan kepala daerah secara langsung sebelum kemunculan Koalisi Merah Putih di langgam politik nasional.

Kini seiring kian intensifnya konsolidasi politik di antara partai-partai politik dalam Koalisi Merah Putih, pilkada langsung terancam dihilangkan untuk kemudian dikembalikan melalui DPRD sebagaimana pada masa Orde Baru. Mereka berdalih pelaksanaan pilkada selama ini sangat mahal (high-cost politics) dan rawan konflik horizontal.

Namun, sulit juga untuk tidak mengatakan kemunculan gagasan untuk mengembalikan pilkada kepada DPRD tersebut didasarkan pada kalkulasi politik tertentu dari Koalisi Merah Putih. Dengan asumsi koalisi berjalan solid melalui penguasaan kursi mayoritas di DPRD provinsi/kabupaten/kota seluruh Indonesia, bukan hal sulit bagi Koalisi Merah Putih untuk merebut posisi kepala daerah.

Karena itu, tidak sedikit pihak yang bereaksi keras terhadap gagasan untuk mengembalikan pilkada kepada DPRD karena dinilai sebagai langkah mundur bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Pengembalian pilkada melalui DPRD menabrak konstitusi, yakni kedaulatan rakyat memperoleh penghormatan tertinggi.

Mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu bentuk pengejawantahan dari penghormatan terhadap kedaulatan rakyat tersebut. Selain itu, pengembalian pilkada melalui DPRD tidak sejalan dengan agenda besar demokrasi Indonesia berupa penguatan sistem presidensial, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Argumen pelaksanaan pilkada langsung yang telah mengakibatkan politik biaya tinggi sangat dapat diperdebatkan. Bukankah jika pilkada dikembalikan kepada DPRD, para calon kepala daerah yang hendak maju dalam pemilihan harus melakukan berbagai pendekatan lebih dahulu kepada anggota-anggota DPRD yang justru rawan memunculkan politik transaksional dan politik uang berjamaah?

Lebih lanjut, pilkada melalui DPRD dikhawatirkan membuat jabatan gubernur/bupati/wali kota dikuasai figur-figur dengan akses uang dan akses politik besar saja, bukan figur-figur kompeten dan berprestasi seperti Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.

Kemudian, alasan lain partai-partai politik Koalisi Merah Putih bahwa pilkada langsung selama 10 tahun ini memiliki tingkat kerawanan sosial tinggi berupa konflik horizontal juga bisa diperdebatkan. Memang benar kontestasi politik harus diimplementasikan secara damai sebagai hal penting bagi kelangsungan kehidupan demokrasi di suatu negara. Tetapi, hal itu tidak lantas diartikan dengan meniadakan sama sekali potensi konflik horizontal.

Hal paling penting yang harus dipahami bukan bagaimana cara memusnahkan konflik, tapi bagaimana cara mengelola konflik tersebut. Konflik sebagai konsekuensi gesekan kepentingan dalam sebuah kontestasi politik bukanlah hal tabu. Yang terpenting bagaimana konflik itu dituntaskan secara terlembaga, tidak melalui cara-cara kekerasan.

Singkat kata, high-cost politics dan konflik horizontal tidak bisa dijadikan yustifikasi bagi Koalisi Merah Putih untuk mengembalikan mekanisme pilkada melalui DPRD. Konflik horizontal dan high-cost politics sangat tidak sebanding dengan risiko pelaksanaan pilkada tidak langsung berupa terpilihnya kepala daerah yang minim track record, tidak mumpuni, serta tidak memenuhi ekspektasi publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar