Selasa, 02 September 2014

Pembangunan Karakter dan Dampak ‘Perang Asimetris’

Pembangunan Karakter

dan Dampak ‘Perang Asimetris’

Paramitha Prameswari  ;   Peneliti Muda di LSISI Jakarta; Tinggal di Depok
DETIKNEWS, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Di era keterbukaan informasi, digitalisasi, globalisasi dan borderless (tanpa batas) sekarang ini, beragam cara yang digunakan oleh kelompok kepentingan. Baik itu state actor atau non state actor untuk menghancurkan suatu bangsa atau negara baik dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, ataupun dalam waktu yang lama.

Di era perang konvensional seperti di era perang dunia pertama dan perang dunia kedua, peranan kekuatan militer dan persenjataan sangat menentukan negara tersebut akan memenangkan peperangan dan pertempuran ataukah tidak. Namun di era seperti sekarang ini walaupun kekuatan militer dan peralatan persenjataan juga masih menentukan, namun tidak ayal peranan perang asimetris terutama yang dilakukan oleh aktor-aktor non negara atau non state actor seperti kalangan budayawan, akademisi, aktivis NGO, wartawan, wisatawan, tokoh-tokoh informal, media massa, pemuka opini dan lain-lain sangat menentukan apakah kita akan memenangkan peperangan sekaligus pertempuran.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sekarang ini banyak terjadi 'perang asimetris' atau peperangan dengan menggunakan unsur-unsur non perang yang menjadi lebih dominan. Beberapa contoh perang asimetris terkini misalnya soal isu pelanggaran HAM, demokratisasi, lingkungan hidup, nuklir, nilai-nilai budaya baru, nilai-nilai sosial baru, korupsi, abuse of power, radikalisme dan separatisme dll, artinya isu-isu tersebut dijadikan 'pintu masuk' untuk menguasai kekuatan dan kelemahan suatu negara.

Untuk menjalankan peranan strategis dan signifikan dalam 'perang asimetris' ini adalah media massa termasuk media sosial yang nota bene belum dapat diklasifikasikan sebagai karya jurnalistik, namun sangat berhasil dalam menjalankan fungsi sebagai perang asimetris. Seperti terlihat dari serangkaian Arab Spring ataupun bagaimana kalangan netizen atau sosial media saling bahu membahu membantu Jokowi ataupun Prabowo dalam Pilpres 2014. Bahkan Presiden terpilih Jokowi tidak mau melepaskan kalangan netizen dan tetap menggalangnya, terbukti telah melakukan pertemuan dengan kelompok sosial media atau netizen yang menjadi volunteer ataupun pendukung setianya dalam Pilpres yang lalu.

Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Unesco dalam pelaksanaan Global Media Forum di Bali pada tanggal 25-28 Agustus 2014 juga memandang bagaimana peranan strategis media massa dalam menciptakan masa depan mendatang lebih berkeadilan, damai dan toleran. Yang perlu dikritisi dari pelaksanaan Global Media Forum ini adalah PBB terutama Unesco sangat menyakini bahwa freedom of expression dan freedom of media serta akses terhadap informasi sangat penting dalam upaya mengurangi 'global imbalance'.

Pertanyaannya apakah PBB atau UNESCO juga berani menekan negara-negara kuat seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, China dan Prancis misalnya jika tidak memberlakukan freedom of expression dan freedom of media serta akses terhadap informasi? Terbukti PBB juga diam saja dalam kasus Edward Snowden, PBB juga tidak bersuara ketika CIA 'memeriksa' twitter, youtube bahkan menyadap beberapa telepon pejabat tinggi dari beberapa negara.

PBB juga tidak dapat berbuat apa-apa ketika China menutup atau memblokir The New York Times ataupun Yahoo ketika menyoroti masalah korupsi beberapa pejabat negara dan kroni di negara Tirai Bambu tersebut. Artinya perang asimetris dapat dicegah dampak negatifnya oleh suatu negara jika ada kepemimpinan yang kuat dan 'harga diri' bangsa yang disegani, tidak sekedar pencitraan tapi benar-benar disegani bahkan ditakuti.

Pentingnya Pembangunan Karakter

Menghadapi persaingan ke depan yang tidak semakin ringan, termasuk adanya dampak negatif dari perang asimetris dalam berbagai cara dan bentuknya, maka pembangunan karakter bangsa atau nation charracter building yang dinilai oleh Presiden Soekarno belum tuntas dilaksanakan adalah salah satu kuncinya.

Mengilhami penilaian Prsiden Soekarno tersebut, Presiden terpilih Jokowi dalam kampanye Pilpres 2014 juga menenkankan perlunya revolusi mental, dan masalah revolusi mental ini diuraikan atau disosialisasikan kembali oleh Jokowi di arena Muktamar PKB di Surabaya, Jawa Timur.

Memang pembangunan karakter akan berjalan dengan baik, jika warga masyarakat memahami ideologi negara sebaik-baiknya dan menjalankannya dengan sebenar-benarnya, dan akan semakin mulus pembangunan karakter jika ada keteladanan dari kalangan pemimpin negara atau pejabat negara dan anggota keluarganya. Tanpa ada keteladanan, kecintaan terhadap ideologi negara serta tanpa adanya pemimpin yang disegani maka upaya membangun karakter bangsa akan menemui batu terjal. Jokowi dengan sikapnya yang sederhana, membumi, tegas dan merakyat diharapkan selama kepemimpinannya sampai 2019 akan mampu membangun karakter bangsa secara lebih baik melalui revolusi mentalnya.

Bagaimanapun juga pembangunan karakter bangsa sangat diperlukan, karena sekarang ini marak dengan adanya ideologi transnasional yang sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Pancasila dan ajaran agama Islam. Maraknya ideologi transnasional ini juga merupakan bagian dari perang asimetris yang dalam jangka waktu tertentu jika tidak disadari, tidak diantisipasi dan tidak dicegah dapat merontokkan bangsa ini.

Munculnya ISIS misalnya jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam dan ideologi Pancasila bahkan merongrong atau mencederai nama besar Islam itu sendiri. Ajaran Islam bersama ideologi Pancasila itu sangat Islami dan layak diperkenalkan di pentas dunia serta negara-negara berpenduduk Islam. Pancasila itu sangat luar biasa. Seluruh sila-nya sangat Islami.

Sila pertama bicara Tauhid atau ke-Esaan Tuhan, sila kedua bicara karamatul insan atau keadilan dan beradab, sila ketiga bicara persatuan atau ukhuwah wathaniyah, sila empat bicara perwakilan rakyat atau syura bainahum dan sila lima bicara keadilan sosial yang merupakan esensi bernegara dalam Islam yakni keadilan.

Walau tidak tersurat atau tertulis dalam Bahasa Arab, yang penting intisari Pancasila adalah sangat Islami. Pancasila itu dirumuskan para pendiri bangsa dan disepakati para sesepuh dari berbagai suku dan agama. Nilai Islam itu juga universal sehingga sangat layak bagi Indonesia untuk percaya diri dan mempromosikan gagasan kebangsaan RI di dunia dan negara-negara Islam. Terlebih mengingat gejolak yang terjadi di Afrika dan Timur-Tengah pasca Arab Springs.

Demokrasi boleh memunculkan gagasan apa saja, tetapi tidak bagi gagasan yang menghancurkan negara seperti ISIS. Benih-benih ISIS kalau berkembang akan membahayakan Republik Indonesia. ISIS atau ideologi transnasional lainnya mencari mangsa anak-anak muda yang memiliki semangat ke-Islaman tinggi tetapi pengetahuan agama rendah.

Mengaca dari kasus ISIS tersebut, jika pembangunan karakter bangsa dan keteladanan pemimpin nasional sudah tercipta di Indonesia, maka tidak akan muncul kekhawatiran terhadap ISIS seperti kekhawatiran sekarang ini. Oleh karena itu, adanya ISIS dan ideologi transnasional lainnya harus dijadikan 'the return point' untuk segera membangun karakter bangsa secara benar.

Dengan karakter bangsa yang jelas, negara tersebut akan maju dan jaya seperti Jerman dengan karakter “Deutchsland Uberalles”, Jepang dengan semboyan “Bushido”-nya dan China dengan karakter pekerja keras, rajin menabung dan berani menerima tantangan, sekarang ini menjadi negara-negara yang besar, maju, kuat dan jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar