Selasa, 02 September 2014

Prasyarat Pembangunan Sistem Moda Kereta Cepat yang Berkelanjutan

Prasyarat Pembangunan

Sistem Moda Kereta Cepat yang Berkelanjutan

Abdur Rohim Boy Berawi  ;   Penasihat AusAID untuk Kementerian Perhubungan. Menamatkan studi Doktoral pada program Massachusetts Institute of Technology (MIT) – Portugal dengan spesialisasi Kereta Cepat (High Speed Train)
DETIKNEWS, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pemerintah berencana membangun kereta cepat atau High Speed Train (HST) dengan rute Jakarta-Surabaya sepanjang 750 kilometer. Kereta ini mampu melesat hingga 300 kilometer per jam dengan waktu tempuh 3 jam dari yang biasanya memakan waktu seharian penuh.
Dalam perkembangannya, rencana proyek kereta cepat menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Meskipun proyek kereta ini akan mengusung konsep ‘Kerjasama Pemerintah Swasta' (KPS) dengan mayoritas pembiayaan ditanggung pihak swasta, tetap saja ada kemungkinan munculnya risiko-risiko fiskal yang mesti ditanggung pemerintah. Tak heran, karena modal investasi besar menyebabkan resiko gagal usaha menjadi semakin tinggi.

Bila di rata-rata, konstruksi jalur kereta cepat membutuhkan biaya sekitar Rp 200-300 milliar per kilometernya, jauh dari ongkos pembuatan jalur kereta konvensional yang hanya Rp 2-4 milliar. Akibatnya banyak proyek kereta cepat yang mengalami kesulitan dari sisi pengembalian investasi.

Pada beberapa jalur kereta cepat di China, misalnya, pendapatan dari penjualan tiket tidak mampu menutupi ongkos operasional dan investasi yang telah dikeluarkan. Di Taiwan, perusahaan investor kereta cepat THSRC mengalami kepailitan finansial menyusul tingkat keterisian penumpang yang hanya sepertiga dari prediksi semula. Pemerintah Taiwan akhirnya mengambil alih pengelolaan sistem transportasi ini sekaligus harus menanggung beban hutang sebanyak Rp 116 triliun.

Tentu saja tidak semua proyek kereta cepat berakhir kurang mulus. Banyak juga success story di berbagai negara lain, seperti Prancis yang berhasil menutup biaya investasi kereta cepat rute Paris–Lyon hanya dalam kurun waktu 12 tahun. JR Central selaku operator sistem kereta cepat di Jepang melaporkan keuntungan bersih sebesar Rp 52 triliun hanya pada rute Tokyo-Osaka di tahun 2012. Kereta cepat juga memiliki efek ekonomi regional. Kota-kota di Jerman yang dilalui rute kereta ini mengalami kenaikan GDP sebesar 2,7% lebih tinggi daripada kota yang tidak dilewati.

Oleh karena itu, keputusan untuk membangun kereta cepat hendaknya melalui pertimbangan yang cermat agar proyek tersebut dapat berjalan sukses dan bermanfaat sesuai peruntukannya. Berdasarkan best practices dari berbagai negara, setidaknya terdapat 3 prasyarat utama yang perlu dilakukan pemerintah guna menjamin kesuksesan implementasi kereta cepat di Indonesia.

Prasyarat pertama adalah reformasi struktur kelembagaan perkeretaapian Indonesia. Sesuai UU no 23 tahun 2007, proses reformasi sebenarnya sudah dilakukan melalui pemisahan fungsi regulator (Kemenhub) dan fungsi operator (PT KAI). Tujuannya guna meningkatkan kualitas layanan kereta dan menarik minat pihak swasta terlibat dalam bisnis perkeretaaapian. Namun pada kenyataannya sampai 7 tahun UU ini berlaku, keterlambatan dan kecelakaan di jalur perlintasan kereta masih sering terjadi. Ditambah lagi belum ada pihak swasta yang berani masuk dan berkompetisi dengan PT KAI, yang saat ini berfungsi ganda yakni sebagai penyedia infrastruktur dan sekaligus operator.
Dengan kondisi demikian pemerintah tidak hanya berkewajiban memberikan subsidi kepada PT KAI namun juga berpotensi kehilangan pendapatan misalnya dari biaya penggunaan jalur kereta (track access charge) yang harusnya dibayar oleh PT KAI maupun hilangnya potensial operator swasta. Jika pemerintah serius ingin menjadikan kereta sebagai tulang punggung transportasi, maka diperlukan pemisahan fungsi yang tegas dari lembaga-lembaga terkait.

Manajemen kereta api di Indonesia dapat mencontoh Inggris Raya yang kepengelolaannya dilakukan secara tripartit; Pemerintah, Infrastruktur Manager (IM’s) dan Operator. Dalam konsep yang ditawarkan penulis untuk diterapkan di Indonesia, Kemenhub tetap berperan sebagai regulator sesuai tupoksinya selama ini. Namun kewenangan pembangunan dan pemeliharaan jaringan kereta dialihkan kepada pihak IM’s, yang dalam hal ini diberikan kepada PT KAI.

Sebagai regulator, pemerintah diharapkan dapat memastikan adanya kesempatan yang luas bagi swasta yang ingin berpartisipasi dalam bisnis perkeretaapian serta memastikan agar kompetisi antar operator berjalan dengan kondusif. Sedangkan PT KAI sebagai penyedia infrastruktur bertanggung jawab dalam membangun sistem jaringan kereta berkualitas dan penyelenggaran manajemen bisnis yang menguntungkan. Dengan pengalamannya sebagai operator, tentu PT KAI memahami kebutuhan dan pasokan service apa yang diperlukan guna membawa pihak swasta ke dalam bisnis ini. Sebagai pemantik, PT KAI dapat menyewakan asset mereka seperti gerbong kereta kepada potensial operator swasta. Dengan lingkungan bisnis yang sehat dan menguntungkan tentu akan secara otomatis menarik minat investor.

Prasyarat kedua adalah penambahan fungsi nilai dari konsep desain sistem kereta konvensional. Dengan kebutuhan capital cost yang besar dan dengan tingkat pengembalian investasi yang minimum, maka justifikasi kelayakan finansial proyek kereta cepat seringkali tidak dapat dipenuhi. Oleh karenanya, diperlukan penggunaan kajian rekayasa nilai yang meliputi aspek penerapan inovasi desain dan aspek penambahan berbagai fungsi baru.

Pada aspek pertama, penulis mendorong penggunaan teknologi terkini seperti yang sudah banyak diimplementasikan di berbagai negara. Sudah seharusnya proyek kereta api cepat tidak dibangun berdasarkan harga penawaran terendah semata, tetapi juga mempertimbangkan unsur ekonomis selama project life cycle berlangsung. Aplikasi teknologi terkini memang mahal pada initial cost namun akan dikompensasi dengan rendahnya biaya perawatan dan operasional kereta. Jepang dan Itali, misalnya, telah menerapkan desain inovatif track yang dapat memperlambat penurunan kualitas struktur rel hingga 50%.

Pada aspek kedua, dilakukan penambahan fungsi baru dari proyek kereta cepat yang akan dibangun. Konsep kereta cepat yang akan datang nantinya diharapkan tidak hanya memiliki fungsi transportasi semata namun juga menghasilkan keluaran berbagai fungsi baru. Seperti pada jalur kereta cepat Leuven-Liege di Belgia, yang mendapatkan pasokan listrik dari penambahan fungsi 25 wind power yang ditanam di sepanjang jalurnya. Di jalur kereta cepat Spanyol, dilakukan penambahan fungsi berupa pengembangan kawasan industri di daerah Lleida, sehingga menarik investasi dari Microsoft dan perusahaan teknologi lainnya.

Prasyarat ketiga adalah memastikan jumlah penumpang yang mencukupi bagi keberlanjutan bisnis kereta api cepat. Tokyo dan Paris adalah contoh dua kota besar dunia yang memiliki tingkat keterisian penumpang cukup tinggi yakni sebesar 60% dan 25%. Penerapan sistem transportasi yang terpadu satu sama lain merupakan kunci sukses penerapan implementasi kereta api cepat di dua kota ini. Penumpang dapat langsung melanjutkan perjalanannya dari stasiun kedatangan dengan berbagai pilihan moda transportasi yang ada. Pengalaman juga membuktikan kesuksesan sistem kereta api cepat terutama di daerah-daerah yang memiliki kepadatan penduduk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar