Selasa, 16 September 2014

Pembajakan Demokrasi

Pembajakan Demokrasi

Achmad Maulani  ;   Kandidat Doktor di Universitas Indonesia
SUARA MERDEKA, 15 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

TIDAK dapat dimungkiri bahwa gagasan diadakannya pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara langsung disemangati oleh realitas empiris seringnya terjadi pembajakan kekuasaan rakyat oleh sebagian wakilnya di DPRD. Fakta juga menunjukkan bahwa anggota DPRD kerap melakukan transaksi politik jangka pendek dengan para calon. Konsekuensinya, calon yang mereka pilih tidak sesuai dengan kehendak konstituen.

Dalam konteks itu, kemunculan demokratisasi di daerah, salah satunya melalui pemilihan kepala daerah secara langsung, diharapkan tak hanya memiliki muara berupa kebebasan rakyat dalam menentukan pemimpinnya sendiri, tapi diharapkan bisa melahirkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di daerah.

Dalam wacana demokrasi, pilkada langsung berarti memberi kesempatan lebih luas kepada masyarakat untuk terlibat dalam berbagai proses politik. Lewat cara itu, rakyat memiliki keleluasaan menentukan pemimpin terbaik bagi mereka. Pada akhirnya, kepala daerah yang terpilih mampu membuat kebijakan-kebijakan yang tepat untuk percepatan pembangunan di daerah.

Gagasan pentingnya pilkada secara langsung didasari argumen bahwa demokrasi pada dasarnya lebih dari sekadar hitungan kepala, meminjam istilah Saward (2005). Lebih jauh, demokrasi harus melibatkan perbincangan yang berbasis pada persamaan dan inklusivitas, adanya kesadaran mengenai kepentingan orang lain, dan adanya kesempatan untuk bisa berperan aktif di ranah-ranah publik.

Pada titik itulah sebetulnya pelaksanaan pilkada secara langsung, entah itu berupa pemilihan gubernur atau bupati/wali kota merupakan bagian dari proses pelembagaan demokratisasi di Indonesia. Pasalnya, sebagaimana dikatakan Brian C Smith (1998) bahwa terbangunnya demokrasi di daerah merupakan prasyarat dan fondasi bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional.

Sebagai eksperimen demokrasi, perjalanan selama ini mencatat bahwa pilkada secara langsung telah melahirkan berbagai prestasi dan kualitas demokrasi. Misalnya, di sejumlah daerah pilkada langsung telah melahirkan kepala daerah terbaik. Ini bisa dilihat dari berkembangnya pelayanan publik dan kemunculan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat, seperti bidang pendidikan dan kesehatan. Para kepala daerah tersebut mampu membuat kebijakan-kebijakan kreatif bagi pembangunan daerah.

Dari fakta itu, akankah kita memutar jarum jam kembali ke belakang dengan mengembalikan pemilihan lewat DPRD? Baik pemilihan secara langsung maupun lewat DPRD sesungguhnya sama-sama punya implikasi dan sisi positif-negatif. Mengembalikan proses pilkada kepada DPRD, atau bahkan melalui penunjukkan pada dasarnya tak lebih dari pergerakan dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem lainnya.

Argumentasi yang mengatakan pilkada melalui DPRD adalah demi efisiensi dan mencegah politik uang, juga kurang tepat. Satu hal harus dipahami bahwa logika demokrasi memang tidak mudah sejalan dengan logika pasar yang lebih menekankan efisiensi. Di negara demokrasi mana pun selalu terdapat tiga paradoks pokok: conflict vs concencus; representative vs governability; dan consent vs efficient (Marijan, 2011). Karenanya, dalam demokrasi, kalaupun efisiensi harus menjadi pertimbangan, itu bukanlah efisiensi individual melainkan collective efficiency.

Mengingat diskursus demokrasi belakangan ini menaruh perhatian serius tentang perlunya keterlibatan langsung rakyat dalam proses politik maka pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu ikhtiar memperbaiki kualitas demokrasi di tingkat nasional. Dan pemilu lokal ini adalah merupakan hal pokok bagi sehatnya demokrasi di daerah.

Pertanggungjawaban

Pemilu lokal, baik dalam wujud pemilihan gubernur/wali kota/bupati secara langsung, bisa berfungsi sebagai mekanisme bagi pemilih untuk meminta pertanggungjawaban kepada pemimpin di daerah. Ia juga berfungsi sebagai saluran bagi adanya partisipasi politik masyarakat terhadap masalah-masalah di daerah. Pilkada secara langsung juga untuk meminimalisasi adanya pembajakan kekuasaan atas nama rakyat.

Karena itu, ke depan, guna mengatasi berbagai masalah berkait pilkada secara langsung, ada beberapa hal yang perlu dibenahi. Pertama; menyederhanakan sistem pemilihan, dari dimungkinkannya lebih dari satu putaran ke hanya satu putaran. Kedua; meminimalisasi biaya pilkada semisal lewat pembatasan biaya maksimal yang dikeluarkan para calon. Ketiga; meminimalisasi pelanggaran administrasi. Upaya ini bisa dimulai dari memperbaiki administrasi sistem kependudukan guna menghasilkan data pemilih yang baik.

Terlepas dari masih banyaknya permasalahan di seputar pelaksanaan pilkada secara langsung, kita tak mungkin kembali memutar arah jarum jam ke belakang. Pilkada secara langsung tidak mungkin diganti oleh pilkada secara tidak langsung sebagaimana sebelumnya. Andai itu yang terjadi, sesungguhnya yang terjadi adalah sebuah pembajakan demokrasi dan perampasan kedaulatan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar