Selasa, 16 September 2014

Hati Murni Menatap Sejarah

Hati Murni Menatap Sejarah

L Murbandono Hs  ;   Peminat Peradaban, Tinggal di Ambarawa Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA, 15 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

“Pilpres 2014 memang penting mengingat siapa pun yang akan terpilih akan menjadi orang paling berkuasa”

KITA bersyukur Pilpres 2014 dengan seluruh ini itunya telah berlalu dan presiden dan wakil presiden telah terpilih. Seluruh ini itu tersebut ada yang positif dan ada yang negatif. Lepas dari yang bisa disebut positif, yang negatif juga banyak sekali. Tapi bila hati yang murni (SM, 20/8/14) dalam diri kita sungguh hadir, segala yang negatif itu bisa kita ramalkan terjadi. Pasalnya, pilpres yang baru terselenggara itu memuat banyak perkara yang intinya berwujud empat penyakit.

Pertama; di luar dua capres dan dua cawapres yang tersedia secara prosedural dan legal, di negara kita cukup banyak tersedia orang yang juga pantas menjadi capres dan cawapres kendati gagal muncul. Pasalnya dalam banyak hal, politik praktis yang memproduksi aturan main pilpres masih dimasak dengan bumbu-bumbu Orbaisme.

Kedua; penyakit pertama merupakan dampak kegagalan reformasi dan itu jadi dasar seluruh produk politik saat ini. Hasilnya adalah politik yang hanya mampu menggarap soal  tidak mendasar. Ini niscaya. Tak sedikit partai yang lahir saat ini, secara langsung atau tidak, adalah perkakas Orba untuk melemahkan reformis. Logis jika banyak Orbais terpilih menjadi wakil-wakil rakyat di semua lembaga legislatif.

Ketiga; penyakit kedua merupakan kekalahan kubu Reformis di depan kubu Orbais. Penyebabnya terang-benderang. Mendirikan partai pada zaman koruptor berjaya ini butuh banyak dana. Kubu Orbais punya duit berlimpah (nyaris semua petinggi Orba adalah koruptor kelas paus). Adapun kubu Reformis nyaris tanpa modal finansial, selain  idealisme.

Keempat; tiga penyakit itu memang malapetaka namun tak bisa lain kecuali harus disyukuri, sebab tak ada alternatif lain. Biang kerok itu semua adalah karena penjajahan asing dibiarkan merajalela, yang secara dangkal disebut globalisasi. Nyaris semua petinggi dunia, apalagi para petinggi kita yang suka ikut-ikutan tiap saat menyanyikan 1.001 jenis lagu ekonomi, seolah-olah segala perkara di sektor kehidupan bisa beres hanya dengan ekonomi.

Aneka macam lagu ekonomi langgam pop picisan itu amat gaduh hiruk-pikuk manakala banyak di antara kita hanya mampu bersikap ’’cuek-bebek’’. Maka terabaikanlah sejarah asal-usul RI menjadi negara amat tergantung asing itu. Tentangnya, Pramoedya Ananta Toer berpendapat sinis.’’ Negara kita yang kaya raya ini telah menjadi negara pengemis.’’

Tragedi ketergantungan di negara kita diawali pada awal Nopember 1967, segera setelah Soeharto berhasil menjadi presiden definitif Orba seusai menyingkirkan Bung Karno dan semua lawan politiknya, dengan membunuh rakyat antara 0,5 juta dan 3 juta jiwa lebih (tergantung versinya). Itu terjadi di Jenewa, Swiss, dalam peristiwa The Indonesian Investment Conference yang disponsori The Time-Life Corporation.

Menyilakan ’’Investor’’

Peristiwa itu berlangsung hanya tiga hari namun berhasil merumuskan adat-istiadat dan tatacara bagaimana para kapitalis bisa menguasai sumber kekayaan alam di RI dari Aceh sampai Papua dengan persetujuan penguasa RI utusan Soeharto. Mereka saling bersetuju lalu saling membubuhkan tanda tangan. Modal para kapitalis disebut investasi  maka mereka dianggap investor.  Modal para penguasa RI berupa paduan suara menyanyikan tiga lagu:  abundance of cheap labour, a treasure house of resources, dan a captive market.

Dalam persetujuan itu, utusan Soeharto terdiri atas menlu dan menteri ekonomi yang didampingi serombongan ekonom RI yang oleh Rockefeller disebut Indonesia’s top economic  team. Hadir sebagai lawan berunding adalah para saudagar besar dunia seperti David Rockefeller, semua raksasa kapitalis Barat. Termasuk berpuluh-puluh eksekutif industri besar urusan tembakau, baja, otomotif, kimia, busana, nikel, bauksit, emas, minyak, gas alam, dan deret panjang urusan lain yang melibatkan perbankan, keuangan, pertanian, kehutanan, dan kelautan.

Singkat cerita, persetujuan tersebut mempersilakan para ìinvestorî menguasai hutan-hutan, laut, sungai, lembah, bukit, gunung, dan  kawasan apa saja tempat sumber-sumber alam Indonesia untuk mereka kaveling-kaveling dan mereka pilih sendiri. (info lebih rinci tentangnya, silakan simak film dokumenter 2001 oleh John Pilger:  https://archive.org/details/JohnPilger-TheNewRulersOf TheWorld)

Terkait tragedi itu maka memilih presiden yang tepat teramat penting. Pedoman untuk itu mudah, yaitu yang paling sedikit aroma Orba-nya dan kebermasalahannya di depan apa pun. Salah pilih berarti membiarkan tata negara sebagai business as usual dalam arti membiarkan kehidupan berbangsa dan bernegara berlandaskan malapetaka tanpa koreksi dan penyakit belum diobati.

Jadi, Pilpres 2014 memang penting sebab siapa pun yang terpilih akan jadi orang paling berkuasa. Padahal kekuasaan rentan disalahgunakan. Sejarah di negara kita sejak 5 Juli 1959 sampai hari ini adalah sejarah penuh penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan kekuasaan pusat dan semua kekuasaan ikutannya di daerah dan desa. Kekuasaan semacam itu jangan sampai terulang lagi. Intinya: kita semua harus melek sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar