Mempertahankan
Hak Politik Rakyat
Dani Muhtada ;
Dosen
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang,
Alumnus
Northern Illinois University Amerika Serikat
|
SUARA
MERDEKA, 16 September 2014
“Ada argumen penting
untuk menolak ide pilkada tak langsung, yaitu berkait akuntablitas dan
partisipasi publik”
PRO-KONTRA
terkait dengan RUU tentang Pilkada terus berlangsung. Mayoritas fraksi di DPR
masih bersikukuh menginginkan kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD. Mereka
mengemukakan banyak argumen guna mendukung keinginan tersebut. Sayang,
kebanyakan argumen hanya artifisial, sekadar kamuflase untuk menutupi agenda
politik senyatanya.
Saya
ingin menggarisbawahi dua argumen penting mengapa harus menolak ide pilkada
tidak langsung, yaitu berkait soal akuntablitas (accountability) dan partisipasi publik (public participation).
Pertama; dalam teori politik dan administrasi publik, akuntabilitas
terkait erat dengan konsep answerability, yakni ke mana seseorang akan
mempertanggungjawabkan amanah yang diembannya.
Dalam
sistem pilkada langsung, kepala daerah ”dipaksa” berorientasi pada
kepentingan dan kepuasan publik. Jika tidak, dia tidak bakal kembali dipilih
pada periode berikutnya. Ini terutama berlaku bagi kepala daerah yang baru
kali pertama memimpin daerah. Bahkan yang kali kedua menjabat pun, dia akan
dipaksa untuk kembali ”memuaskan” kepentingan publik supaya kepentingan
politik partai atau kelompoknya bisa terjaga pada pilkada berikutnya.
Sebaliknya,
andai kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD maka kepala daerah lebih
berorientasi pada ”kepuasan” dan kepentingan elite politik lokal yang saat
ini duduk di kursi DPRD. Saya berprasangka positif bahwa kepentingan elite
politik lokal tak serta merta bertentangan dengan kepentingan publik. Namun
fakta menunjukkan keinginan politik faksi-faksi di DPRD tidak selalu selaras
dengan keinginan publik.
Banyak
calon kepala daerah yang diusung oleh mayoritas faksi besar di DPRD kalah
dalam pilkada langsung. Itu artinya, calon yang diusung elite lokal tidak
otomatis mendapat dukungan publik. Masyarakat masih ingat dalam Pilgub DKI
Jakarta 2013, Jokowi-Ahok yang diusung ’’hanya’’ oleh dua partai bisa
mengalahkan Foke-Nachrowi yang didukung oleh 7 parpol, mayoritas? Andai saat
itu pilkada digelar tidak langsung, bisa dipastikan Foke-Nachrowi memenangi
pilkada kendati mayoritas warga DKI tidak menghendakinya.
Kedua;
partisipasi publik. Demokrasi yang baik mengandaikan partisipasi publik
seluas-luasnya dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, gagasan
untuk mengembalikan otoritas pilkada kepada DPRD bukan saja memberangus
hak-hak politik rakyat, melainkan berisiko membalikkan atmosfer politik ke
era Orde Baru, yakni ketika kepemimpinan daerah dikontrol oleh ’’hanya’’
segelintir elite politik.
Tak
bisa dimungkiri, salah satu buah reformasi adalah dilindunginya partisipasi
publik di bidang politik. Pada masa Orba, rakyat diperlakukan hanya sebagai
massa mengambang, yang berjarak dari kehidupan politik. Urusan
pilpres/pilkada didesain sedemikian rupa hingga menjadi privilege segelintir
elite politik. Rakyat tak diberi kesempatan memilih pemimpin mereka, bahkan
untuk level pemerintahan yang secara langsung menyangkut kehidupan
sehari-hari mereka (kabupaten/kota).
Kepentingan Politik
Sebagian
yang menginginkan pilkada tidak langsung (kembali lewat DPRD) beralasan bahwa
pilkada langsung tak selaras dengan filosofi sila ke-4 Pancasila. Padahal
sila ke-4 sama sekali tidak menunjukkan bahwa pemilihan kepala pemerintahan
harus dilakukan lewat sistem perwakilan. Andai pemaknaannya seperti itu
berarti pilkades juga tak sejalan dengan sila ke-4 Pancasila? Andai pilkada
langsung dianggap tak sesuai dengan falsafah sila ke-4 itu, apakah pilpres
juga akan dikembalikan melalui mekanisme perwakilan (MPR), sebagaimana era
Orba?
Di
balik berbagai argumen pilkada tidak langsung, ada aroma kepentingan dan
syahwat politik menyengat. Kelompok propilkada tidak langsung adalah mereka
yang beberapa bulan lalu bersepakat menolak usulan kembali pada sistem
pilkada leeat DPRD. Ironisnya, para pengusul adalah mereka yang dalam pilpres
kemarin mempersoalkan sistem noken di Papua, yang notabene mempraktikkan
filosofi ”musyawarah dan perwakilan”. Sebuah filosofi yang ironisnya kali ini
mereka eksploitasi untuk menutup-nutupi agenda politik sebenarnya.
Sayang, kendati berbagai elemen masyarakat,
termasuk Asosiasi Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Indonesia (SM, 12/9/14),
telah menolak usulan pilkada lewat DPRD, para pengusung usulan pilkada lewat
DPRD tersebut bergeming. Mengingat jumlah kelompok ini di DPR cukup
signifikan, bukan mustahil usulan yang mengebiri hak-hak politik rakyat
tersebut pada akhirnya benar-benar diundangkan.
Jangan
berhenti berjuang untuk menolak kembalinya hegemoni elite politik di arena
politik kita. Partisipasi publik di bidang politik yang saat ini dinikmati
rakyat bukanlah hal yang didapat dengan mudah. Rakyat harus menunggu dan
berjuang tiga dekade untuk mendapatkannya. Kini, ketika hak-hak politik itu
sudah melembaga, akankah kita lepaskan hanya gara-gara sekelompok elite
politik menginginkan? Tentu tidak. Tolak dan pertahankan hak-hak politik
kita! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar