Selasa, 16 September 2014

Nasib Petani dan Kabinet Baru

Nasib Petani dan Kabinet Baru

Dedik S Widodo  ;   Mahasiswa Magister Agribisnis FST-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Iskandar Andi Nuhung  ;   Dosen Magister Agribisnis FST-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
REPUBLIKA, 15 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kemarau yang hadir dan mulai mencekik kehidupan petani menjadi peringatan bersama bahwa nasib mereka harus segera diperbaiki. Disadari atau tidak, pembangunan pertanian dewasa ini lebih banyak ditujukan untuk kepentingan pemerintah ketimbang petani itu sendiri.

Dengan alasan swasembada pangan, stabilitas harga, menekan inflasi, peningkatan devisa, dan mendorong industri dalam negeri, pemerintah berupaya mendorong peningkatan produksi pertanian. Asumsinya, jika produksi pertanian meningkat, maka kesejahteraan petani juga akan terkerek naik secara otomatis.

Republika (10/9/2014) menulis di headline-nya "Pemerintah Abaikan Irigasi" menjadi bukti nyata bahwa petani yang merupakan bagian terbesar produsen hasil pertanian belum menikmati hasil keringatnya sendiri dengan lebih adil.

Laju perkembangan yang dirasakan pemerintah tidak selaju nikmat yang dirasakan petani. Pemerintah berhasil meningkatkan nilai ekspor hasil pertanian 2013 mencapai Rp 477 triliun, tapi devisa itu tidak banyak digunakan untuk kepentingan petani. Uang itu tidak kembali ke desa, apalagi ke pertanian.

Buktinya, APBN dan kredit untuk sektor pertanian masing-masing hanya 1,3 persen dan 5,4 persen dari total APBN dan kredit yang dikucurkan perbankan. Simpedes yang jumlahnya mendekati Rp 100 triliun, hanya sebagian kecil dikembalikan untuk membangun perdesaan dan pertanian dalam bentuk Kupedes.

Pola pembangunan yang berputar di perkotaan telah menghisap habis-habisan aset perdesaan. Terjadi backwash terhadap perdesaan, yang menyebabkan kemiskinan perdesaan, kesenjangan antara kota dan desa sehingga mendorong urbanisasi dengan segala efeknya.

Transformasi pembangunan dari sektor pertanian ke nonpertanian yang diindikasikan oleh semakin kecilnya share sektor pertanian dalam pembentukan PDB (saat ini tinggal 13 persen, dibanding dengan 65 persen di awal Orde Baru) bukan sesuatu yang harus disyukuri karena transformasi tenaga kerja tidak bekerja secara proporsional.

Peranan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja masih di kisaran 40 persen, berarti setiap petani menanggung beban tenaga kerja lebih dari dua orang yang merupakan pengangguran terselubung. Upaya untuk meringankan beban petani tersebut tidak menjadi agenda pemerintah, bahkan sebaliknya diharapkan sektor pertanian dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang jumlahnya semakin meningkat setiap tahun karena pertambahan penduduk.

Program swasembada beras yang telah berhasil mendorong petani dalam meningkatkan produksi beras tidak berimbas kepada  kesejahteraan petani secara signifikan karena tergerus oleh inflasi dan kenaikan harga produk nonpertanian. Bisa dicermati, bilamana terjadi kenaikan harga barang nonpertanian, misalnya, BBM, selalu saja pemerintah turun tangan membendung agar tidak terjadi kenaikan harga hasil pertanian terutama pangan. Sementara harga barang nonpertanian dibiarkan bergerak sesuai mekanisme pasar. Akibatnya daya beli petani untuk barang nonpertanian menjadi rendah.

Saat ini, indeks Gini rasio 0,42 yang menunjukkan terjadi ketimpangan serius. Juga, kebijakan impor hasil pertanian yang dalam beberapa kasus praktiknya terjadi di musim panen, mencederai upaya petani yang bersusah payah melakukan proses produksi karena harga akan tertekan ke titik yang rendah sehingga petani tidak menikmati hasil panennya.
 
Ketika pemerintah memberlakukan pajak ekspor dan PPN 10 persen untuk hasil pertanian, yang menderita adalah petani produsen karena petani tidak menerima harga sesuai dengan korbanannya. Di daerah suburban dan hinterland perkotaan, petani dibiarkan berhadapan head to head dengan pemilik modal dan kapitalis.

Studi menunjukkan, lahan sawah di kawasan pantura Jawa, seperti di Karawang, misalnya, sebagian terbesar (lebih dari 50 persen) sudah bukan milik petani. Petani berubah menjadi buruh tani di bekas lahan sawahnya, tanpa ada perlindungan dari pemerintah.

Nilai tukar petani yang digunakan sebagai salah satu tolok ukur kesejahteraan petani bisa menyesatkan. Sebagai ilustrasi, pada 1960-an, petani padi untuk mendapatkan sebuah sepeda motor cukup dengan 50 kg beras, tapi kini butuh dua ton (2.000 kg) beras. Untuk mendapatkan satu gram emas di zaman itu cukup dengan satu kg beras, tapi saat ini harus menyiapkan 200 kg beras.

Infrastruktur yang jelek di perdesaan seperti tombak bermata dua. Input pertanian dan barang nonpertanian kebutuhan petani yang didatangkan dari kota menjadi mahal karena biaya transportasi yang tinggi sampai di tingkat petani. Sementara itu harga hasil pertanian di farm gate menjadi rendah karena harga di tingkat konsumen di perkotaan dilindungi (given). Posisi tawar petani Indonesia sangat lemah dan bisa dikatakan tidak berdaya bila dihadapkan pada fakta kebijakan yang menyulitkan mereka dalam mengelola usahanya.

Kabinet baru hasil Pemilu 2014 disarankan melakukan shifting paradigm dengan mengedepankan kepentingan petani sebagai aktor utama pembangunan pertanian, bukan sekadar pemenuhan citra bahwa pemerintah telah bekerja dan pertumbuhan telah terjadi. Kini saatnya petani benar-benar dilindungi, diberdayakan, dilayani, dan difasilitasi dengan kualitas yang baik.

Lebih penting, petani harus merasa dibela oleh pemerintahnya sendiri sehingga mereka termotivasi dan betah berusaha di pertanian. Bukan pekerjaan yang mudah bagi pemerintahan baru, mengingat petani telah terlalu lama diabaikan. Tetapi setiap petani sejati selalu yakin bahwa perubahan selalu saja menghasilkan harapan baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar