Selasa, 16 September 2014

Kementerian Kependudukan

Kementerian Kependudukan

Saratri Wilonoyudho  ;   Ketua Koalisi Kependudukan Provinsi Jawa Tengah,
Anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 16 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PRESIDEN terpilih Jokowi mengatakan, masalah terberat yang dihadapi bangsa ini mendatang adalah berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia. Untuk membenahi hal itu ia memandang perlunya sebuah revolusi mental. Terkait dengan kependudukan, ada hal yang mencemaskan bila kita melihat hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, yang memperlihatkan laju pertumbuhan penduduk (LPP) Indonesia tetap tinggi untuk masa mendatang.

Saat ini, angka fertilitas total (TFR) berdasarkan hasil SDKI  2012 menunjukkan angka 2,6, yang berarti  tiap wanita memiliki anak lebih dari dua. Andai laju pertumbuhan penduduk Indonesia tetap pada kisaran angka 1,49 % per tahun, yang berarti tiap tahun ada pertambahan sekitar 3 juta-4 juta jiwa (setara jumlah penduduk Singapura) maka 10 tahun mendatang, penduduk negara kita lebih dari 300 juta jiwa.

Ironisnya, lebih dari 58% paling tinggi berijazah SD dan umumnya menggeluti sektor informal dan pertanian yang tidak menyejahterakan. Dari titik ini, kekhawatiran Jokowi bisa dipahami. Artinya bonus demografi yang kita harapkan ternyata hanya pepesan kosong  mengingat mereka yang berusia produktif memiliki tingkat pendidikan rendah. Sektor pertanian yang mestinya jadi primadona bersama sektor maritim, malah memble karena 15 juta petani (55 % dari jumlah petani) adalah kelas gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,25 ha.

PDB sektor pertanian terus menurun, alih fungsi lahan subur makin cepat, pewarisan tanah pertanian juga terus berlangsung dan akibatnya lebih banyak petani berusia tua. Karena itu, bisa dibayangkan bila penduduk kita ”meledak” hingga lebih dari 300 juta jiwa maka kita menghadapi berbagai ”bencana”. Apalagi program keluarga berencana (KB) tidak lagi menarik bagi masyarakat .

Terbukti meski pengetahuan masyarakat tentang KB lebih dari 98%, realitasnya menurut SDKI 2012 persepsi anak ideal justru meningkat, dari 2,6 pada SDKI 2007 menjadi 2,8 pada SDKI 2012. Jateng, provinsi terbanyak ketiga penduduknya di Indonesia, dan 80% warga provinsi itu tahu tentang ekses laju pertumbuhan penduduk. Ironisnya, dari persentase itu, 86% tidak setuju bila ada pengaturan jumlah anak. SDKI 2012 menyebutkan, hanya 48% remaja merencanakan ber-KB setelah menikah.

Bila saat ini jumlah penganggur terdidik mencapai 4,5 juta orang, tidak dapat dibayangkan bila penduduk negara ini sudah meningkat menjadi 300 juta orang dalam 10 tahun mendatang. Perebutan pangan makin tajam, dan persaingan juga makin ketat. Karenanya dapat dipahami bila konflik sosial akan meningkat, bahkan mungkin terjadi kemeluasan anomi dan patologi sosial hingga memunculkan anarkisme massal.

Terkait situasi kependudukan nasional, hasil suervei dari The Fund for Peace-Majalah Foreign Policy, menggolongkan Indonesia sebagai negara dalam bahaya (in danger), dengan peringkat ke-63 dari 178 negara yang disurvei. Kememburukan itu terutama melihat 3 indikator (dari 12 indikator), yakni tekanan demografis, protes kelompok masyarakat, dan persoalan HAM.

Tetap Tersentralisasi

Menatap peta masalah itu, pemerintahan Jokowi-JK tampaknya harus menata ulang program KB. Saat ini program itu telah didesentralisasikan, tapi ’’celakanya’’ tidak mendapat perhatian dari pemkab/pemkot karena dianggap bukan program ”basah” dan bukan program penting. Justru banyak kepala daerah membonsai program tersebut yang telah dibangun pada masa Orde Baru.

Sialnya lagi, petugas lapangan KB (PLKB) yang telah dididik dengan biaya mahal pada masa Orde Baru, saat ini banyak dipindahkan ke bagian lain. Padahal mereka ujung tombak keberhasilan program KB dan tanpa mereka hanyalah omong kosong untuk bicara masalah kependudukan.

Para PLKB dan petugas kesehatan adalah ujung tombak keberhasilan program KB. Pengundangan UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga memberi kesempatan kepada daerah untuk membentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD). Badan itu (apa pun namanya mengingat nama di tiap pemkab/pemkot berbeda-beda) sebaiknya tetap tersentralisasi, ada hubungan vertikal dengan BKKBN Pusat dan Provinsi, atau lebih baik lagi bila Jokowi-JK membentuk Kementerian Kependudukan.

Tengara itu mulai terlihat ketika Deputi Tim Transisi Bidang Arsitektur Kabinet Andi Widjajanto, pada Jumat (12/9) di Jakarta mengatakan, ke depan ada tiga kementerian baru, salah satunya Kementerian Kependudukan (Kompas, 13/9/14). Artinya, pada masa mendatang persoalan kependudukan lebih terjaga dan tak ada lagi bupati/wali kota yang cuek dalam mengelola kependudukan karena ia tak lagi mengukur keberhasilan program pembangunan semata-mata hanya dari capaian fisik.

Mengenai PLKB, ke depan mereka perlu dibekali ilmu kewilayahan, komunikasi massa, kebudayaan, agama, dan sebagainya, selain bekal teknis. Jumlah mereka pun harus mencukupi dan yang penting harus mendapat kesejahteraan memadai supaya tidak tergoda pindah ke pekerjaan lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar