Selasa, 16 September 2014

Mengurangi Subsidi BBM Secara Bijak

Mengurangi Subsidi BBM Secara Bijak

Iman Sugema  ;   Ekonom IPB
REPUBLIKA, 15 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Seorang kakek yang bijak yang kebetulan juga seorang fan fanatik Jokowi-JK, sebulan lalu pernah mengajukan pertanyaan yang sangat pelik untuk dicarikan jawabannya.  Kalau Jokowi-JK ingin merealisasikan janji-janjinya selama masa kampanye, maka mau tidak mau pemerintah harus mengurangi beban subsidi energi dan itu berarti sama saja dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik.

Di lain pihak, PDI Perjuangan dan Hanura dikenal sebagai parpol yang selama ini getol menolak kenaikan harga BBM. Pertanyaannya, apakah ada cara untuk mengurangi beban subsidi tanpa harus menaikkan harga BBM?

Kalau kita renungkan sejenak, pertanyaan ini sepertinya sangat muskil untuk bisa dicarikan jawabannya yang pas. Bagaimana mungkin subsidi BBM dikurangi tanpa menaikkan harga? Secara definisi, subsidi adalah selisih antara harga komersial dengan harga eceran. Jadi kalau harga pasar Premium adalah Rp 10 ribu per liter dan pemerintah menjualnya ke konsumen Rp 6.500, maka subsidi yang ditanggung pemerintah Rp 3.500 per liter. Kalau subsidi akan dikurangi menjadi hanya Rp 2.500 per liter, maka harga harus dinaikkan menjadi Rp 7.500 per liter. Itu adalah perhitungan matematika sederhana saja.

Sedikit titik terang mengenai jawaban atas pertanyaan di atas mulai menyeruak ketika saya mencermati besaran subsidi yang setiap tahun terus membengkak. Ketika pemerintah menaikkan harga Premium dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 dan harga solar dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 per liter pada Juni 2013, harapannya waktu itu tentulah beban subsidi di tahun-tahun berikutnya akan berkurang. Kenyataannya tidak demikian.

Dengan kuota yang hampir sama, yakni 46 juta kiloliter, beban subsidi tahun 2014 membengkak menjadi Rp 246,5 triliun dibandingkan 2013 yang hanya Rp 210 triliun. Harga minyak mentah 2013 juga kurang lebih sama dengan 2014. Yang menjadi penyebab pembengkakan adalah nilai tukar yang merosot dari Rp 10.450 per dolar AS menjadi Rp 11.600 per dolar.

Ada dua pelajaran berharga dari kasus subsidi 2013-2014 ini. Pertama, kenaikan harga eceran tidak selalu identik dengan upaya mengurangi beban subsdidi BBM. Kedua, skema subsidi yang diterapkan sekarang sama sekali tidak menjamin adanya kepastian mengenai kapan dan seberapa besar subsidi dapat dikurangi.

Pangkal masalahnya, dengan harga yang dipatok seperti sekarang, sebetulnya pemerintah menanggung dua hal sekaligus, yaitu subsidi dan risiko harga. Ketika harga patokan cenderung meningkat, maka jumlah subsidi juga akan secara otomatis meningkat. Walhasil, tidak ada kepastian bahwa beban akan menurun walaupun harga eceran sudah dinaikkan.

Karena itu, kita harus menanggalkan skema subsidi yang sekarang berlaku kalau memang tujuannya adalah mengurangi beban subsidi BBM. Ada dua alternatif skema subsidi, yakni subsidi per liter tetap dan subsidi proporsional.

Kalau dihitung berdasarkan RAPBN 2015, maka subsidi per liter untuk Premium adalah Rp 3.700 dan untuk solar Rp 5.200 per liter. Skema subsidi per liter tetap dilakukan dengan cara mematok nilai subsidi per liter di kedua angka tersebut. Jadi harga eceran akan naik atau turun sejalan dengan harga patokan yang terjadi. Nilai subsidi akan tetap di angka tersebut. Satu kelemahan skema ini, yakni ketika harga patokan cenderung turun, beban subsidi tidak turun.  Padahal, pada saat itulah kesempatan terbaik untuk menurunkan beban subsidi.

Skema yang kedua, yakni subsidi proporsional tampaknya lebih adil dan lebih fleksibel. Kalau memakai angka RAPBN 2015, maka proporsi subsidi adalah sebesar 37 persen untuk Premium dan 49 persen untuk solar. Karena sifatnya proporsional terhadap harga patokan, maka otomatis beban subsidi akan naik atau turun secara proporsional terhadap harga patokan. Hanya saja besaran kenaikan beban subsidi tidak akan sebesar yang terjadi pada skema yang berlaku sekarang ini.

Intinya adalah, risiko harga yang ditanggung pemerintah tidak 100 persen melainkan sebesar proporsi subsidinya. Dengan skema ini, maka besaran subsidi akan lebih mudah untuk dikendalikan. Selain itu, beban subsidi otomatis akan turun ketika harga patokan turun.

Melalui skema subsidi proporsional juga sangat memungkinkan untuk mengurangi beban subsidi pada saat harga patokan sedang turun. Pada saat ini, harga minyak dunia sedang mengalami tren penurunan sehingga membuka kesempatan emas bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk menurunkan beban subsidi. Caranya adalah dengan secara bertahap menurunkan proporsi subsidi pada saat yang tepat. Yang diperlukan adalah kesabaran untuk menunggu waktu yang tepat.

Semoga saja kita bisa menurunkan beban tanpa harus menaikkan harga. Niat yang baik selalu memiliki jalannya tersendiri. Semoga Allah memberi kesempatan bagi kita semua untuk merealisasikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar