Selasa, 02 September 2014

Menyelisik Poros Maritim Dunia

Menyelisik Poros Maritim Dunia

Achmad Soetjipto  Mantan KSAL; Ketua Persatuan Purnawirawan AL
MEDIA INDONESIA, 02 September 2014
                                      
                                                      

MENJADIKAN Indonesia sebagai poros maritim dunia, demikian tekad pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla. Itu disampaikan dalam pidato kemenangan mereka di geladak kapal pinisi yang tengah sandar di Pelabuhan Sunda Kelapa. Pernyataan yang sama juga pernah dilontarkan pada debat capres edisi ketiga (22/6). Memang sangat nalar bila geostragis dan geohistoris akan mendorong Indonesia menjadi bangsa maritim. Juga wajar manakala sektor maritim kemudian berperan sebagai mainstream pembangunan nasional. Justru pengabaian pembangunan maritim yang terjadi selama ini dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap fitrah dan jati diri bangsa.

Faktor-faktor kesejarahan, geostrategis, geopolitik, dan geoekonomi haruslah tersanding baik dengan dinamika global berikut fakta objektif kebutuhan sekarang dan tantangan mendatang. Tentu saja mewujudkan komitmen dan janji kampanye itu tidaklah mudah. Dalam rentang pendek menjadikan Indonesia poros maritim dunia mungkin agak berlebihan, tetapi setidaknya ada fondasi kuat sebagai pijakan untuk proses selanjutnya. Selama ini pembangunan kemaritiman belum menjadi arus utama. Ada memang dalam RPJP 2025 dimunculkan frasa tentang kelautan, juga dengan keberadaan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Terdapat pula beberapa peraturan menyangkut hal tersebut seperti UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang memuat asas cabotage, dan lain-lain.

Namun, kesemua itu masih sebatas kebijakan di atas kertas karena faktanya sektor kelautan belum menjadi napas penggerak utama dalam tata kelola kehidupan berbangsa.Perangkat-perangkat yang ada masih sebatas `tempelan' dan belum menjadi subjek utama dalam menggerakkan pembangunan. Prasyarat paling mendasar ialah mengubah mindset dan cara pandang, yaitu dari bangsa agraris yang kental dengan isolasi dan mawas ke dalam, akrab dengan status quo, dan nyaman berlingkungan feodal dengan segala mitos dan takhayulnya, berubah menjadi bangsa maritim.

Selain itu menjadi bangsa yang berwawasan ke luar, berjiwa dagang, menghargai kesetaraan, kebebasan dan kompetisi sehat, serta menyenangi engagement, aktif terlibat dan berperan dalam tata pergaulan dunia. Menerjemahkan visi revolusi mental untuk kemudian bertransformasi menjadi watak maritim, ini yang paling mendasar dan pasti paling berat. Sudah barang tentu proses transformasi membutuhkan pijakan, fondasi, dan pilar yang kuat, yaitu UU Maritim atau UU Kelautan yang kemudian diterjemahkan menjadi kebijakan nasional berikut berbagai kerangka kerja strategisnya.

Adanya kebijakan nasional yang juga merupakan konsensus bangsa dalam menyikapi laut dan lingkungan maritimnya menjadi sangat penting, bahkan menjadi suatu imperatif strategis karena itulah hulu dari segala kebijakan pengelolaan sektor maritim. Pembenahan paradigma bahwa secara alami Indonesia bukan suatu kontinen, melainkan maritime and archipelagic state, merupakan modal mental bagi lahirnya sebuah national ocean policy. Intinya sektor maritim tidak boleh lagi menjadi sektor terpinggirkan. Sampai saat ini Indonesia belum memiliki UU maritim atau UU kelautan. Kesungguhan pemerintah mendatang dalam menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dapat dilihat dari sejauh mana mereka serius menerbitkan UU sesuai kebutuhan untuk menjawab tantangan. 

Paling tidak ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam ruang lingkup penyusunan UU kelautan. Pertama tentu tentang tata kelola, kemudian yang menyangkut aspek ekonomi, dan berikutnya masalah pertahanan dan keamanan.

Tata kelola

Kebijakan nasional tata kelola maritim pada dasarnya adalah bentuk keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan visi Indonesia poros maritim dunia. Ada banyak perangkat yang dapat dijadikan rujukan dalam penyusunan konsep ini, seperti Deklarasi Juanda, Wawasan Nusantara, UNCLOS, dan IMO. Dengan dasar perangkat-perangkat tersebut pemerintah dapat menyusun suatu kebijakan terpadu untuk tujuan kemajuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Penataan kelembagaan perlu menjadi prioritas, karena selama ini sektor kelautan dikelola setidaknya oleh 16 kementerian dan badan negara yang memunculkan duplikasi wewenang dan tumpang-tindih aturan.

Harus dirancang bagaimana sektor kelautan dikelola oleh otoritas tersendiri supaya dapat mengurangi rantai koordinasi, ketumpulan kendali, dan kelambanan meja birokrasi. Selanjutnya perlu disusun satu badan keamanan tunggal semacam coast guard di negara-negara maju. Coast guard bisa menjadi badan atau angkatan kelima di bawah Kementerian Pertahanan seperti di India. Bisa juga dibawahkan ke Kementerian Maritim yang nantinya dirancang sebagai otoritas tunggal pengelolaan laut di luar aspek pertahanan. Kelemahan keamanan menunjukkan banyaknya potensi ekonomi laut disia-siakan. Data audit BPK 2012 menyatakan kehilangan akibat illegal fishing mencapai Rp365 triliun. Angka ini akan lebih besar lagi jika praktik penyelundupan, perusakan lingkungan, dan pencurian artefak di laut juga dihitung.

Ekonomi maritim

Ke depan diperlukan kebijakan nasional ekonomi kelautan. Ini merupakan kebijakan pemerintah untuk bagaimana sektor laut mampu memberikan kontribusi terha dap pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat terutama penaikan GDP. Kebijakan yang disusun harus memperhatikan geostrategis nasional yang menjadi penyangga angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah, Samudra Hindia, Asia Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya dari tepian Pasifik menuju Samudra Hindia, Timur Tengah, serta Eropa.

Kepemilikan choke point dan corong alur pendekat sampai saat ini belum mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Padahal dari sekitar 90% pergerakan perdagangan dunia yang memanfaatkan transportasi laut, sekitar 75% melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar US$1.300 triliun per tahun. Alur perdagangan di Selat Malaka, misalnya, saat ini justru Singapura dan Malaysia yang banyak mengambil manfaat. Ini menjadi salah satu sebab kecilnya kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional. Data saat ini, sektor kelautan Indonesia hanya berkontribusi sekitar 22% dan sektor perikanan sekitar 3,4%.Jepang, Korea Selatan, dan China yang lautnya lebih kecil memberikan kontribusi hingga 48,4% bagi PDB nasionalnya.

Bahkan, Vietnam yang bukan negara kepulauan, sektor kelautannya mampu menyumbang 57,63% terhadap PDB nasionalnya. Beberapa yang harus dibenahi segera untuk membangkitkan sektor maritim alah percepatan pembangunan jaringan pelabuhan dan infrastruktur kelautan, industri pelayaran niaga, industri pembangunan kapal, revitalisasi perikanan, dan pembangunan industri jasa maritim. Jepang dengan garis pantai 34 ribu km memiliki 3.000 pelabuhan atau satu pelabuhan per 11 km panjang pantai. Thailand dengan garis pantai 2.600 km punya 52 pelabuhan atau satu banding 50 km panjang pantai.Indonesia dengan 81 ribu km garis pantai hanya punya 694 pelabuhan atau satu pelabuhan untuk 115 km panjang pantai.

Pemerintah sekarang pernah mewacanakan konsep `Pendulum Nusantara', dan capres terpilih merencanakan membangun tol laut yang menghubungkan wilayah dari Sabang sampai Merauke sehingga jarak ekonomis mendekati jarak geografis. Artinya ongkos angkut barang dari Jakarta ke Papua tidak lebih mahal daripada Jakarta ke Hong Kong. Apabila rencana ini tidak berhenti sebatas wacana dan ada konsistensi dalam pelaksanaannya, tentu kebangkitan sektor maritim hanya soal waktu. Jelas keamanan dan kelancaran jaringan dan konektivitas logistik Nusantara itu sangat memerlukan adanya jaminan keamanan. 

Angkatan Laut harus mengambil peran itu selama badan sipil keamanan dan penegak hukum di laut masih kacau akibat tingginya ego sektoral para pemangku kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar