Selasa, 02 September 2014

Iki Jogja lho, Mbak

Iki Jogja lho, Mbak

MT Felix Sitorus  Praktisi dan Peneliti Sosial Independen,
Alumnus Program Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB
JAWA POS, 02 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SEBUAH tragedi sosial sedang berlangsung di Jogja secara telanjang. Mulanya adalah kebijakan negara membatasi pasokan BBM bersubsidi. Lalu, suatu hari (27/8/2014) sebuah ”kota” –dalam artian ”komunitas”– bernama Jogjakarta merespons kebijakan itu dengan nilai konformitasnya, yaitu antre di SPBU dengan kesabaran penuh. Tapi, tiba-tiba ada individu bernama Florence Sihombing (FS) yang keluar dari konformitas, mencelat dari antrean motor dan menyerobot ke depan antrean mobil di jalur BBM nonsubsidi. Karena petugas SPBU menolak melayaninya, lewat media sosial Path terhamburlah kata-kata ”miskin, tolol, dan tak berbudaya” dari FS untuk ”Kota” Jogja. Akibatnya fatal untuk FS: dikecam di berbagai media social; terancam sanksi dari almamaternya, UGM; dan terakhir ditahan pihak kepolisian. Mengapa hal semacam itu bisa terjadi dan bagaimana agar tidak terulang?

Kasus Mala-adaptasi

Di ”Kota” Jogja, perilaku yang menyimpang dari kelaziman budaya wong Jogja sering diganjar dengan teguran tegas tapi lembut, ”Iki Jogja lho, Mbak, Mas.” Maksudnya jelas, orang Jogja menjunjung tinggi harmoni. Karena itu, setiap warga dituntut menjalankan kaidah konformitas dalam berperilaku. Karena itu, kepada orang Jogja yang perilakunya serampangan sering dikatakan, ”Kayak bukan orang Jogja.”

Setiap perilaku yang menyimpang dari kelaziman berpotensi merusak harmoni dan menghina komunitas. Sebagai contoh, orang Jogja sangat menghargai pranata keraton sebagai pusat harmoni sosial. Karena itu, tindakan menghina keraton, misalnya kasus ungkapan ”keraton sebagai kera (diton)ton” dari George Aditjondro (30/11/2011) akan menimbulkan rasa ”sakit hati” yang memicu protes massa dan pengaduan kepada kepolisian.

Jogja memang ”istimewa” jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia. Jogja satu-satunya kota di Indonesia yang –berkat kehadiran keraton– secara sosiologis dan psikologis memiliki sentimen ”kekitaan” yang kuat. Kota Jogja adalah pelembagaan nilai-nilai budaya orang Jogja (ke-Jogja-an) dan orang Jogja adalah personifikasi Kota Jogja. Karena itu, Jogja adalah suatu ”kota” yang memiliki jiwa dan rasa, yang bisa merasa sakit hati dan terhina. Andai FS melontarkan kata-kata hinaannya kepada Jakarta, akibatnya mungkin tidak terlalu fatal. Soalnya, Jakarta yang ”lu-gue” itu tak punya jiwa dan rasa seperti Jogja.

Pendatang yang tinggal di Jogja, sementara ataupun selamanya, se-Jogja-nya mempelajari nilai-nilai ke-Jogja-an, khususnya terkait dengan harmoni social, sehingga mampu beradaptasi pada tata kehidupan orang Jogja. Itu dilakukan untuk menghindari tindakan antikonformitas yang merusak harmoni sosial. Tindakan FS keluar dari antrean motor (konformitas), lalu menyerobot ke depan antrean mobil (antikonformitas) jelas menyalahi nilai ke-Jogja-an yang harus sabar, nrimo ing pandum, dalam keseharian. Tindakan FS itu menghina mereka yang sudah tertib antre. Rasa terhina meletup ketika FS kemudian melontarkan kata-kata ”miskin, bodoh, dan tak berbudaya”.

Kasus FS sebenarnya adalah kasus mala-adaptasi, yaitu ketakmampuan individu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial sehingga terjadi kesenjangan budaya antara dirinya dan orang Jogja. Mala-adaptasi umumnya terjadi karena gejala etnosentrisme yang terlalu kuat sehingga seseorang sulit beradaptasi pada budaya lain karena merasa budayanya lebih hebat. Seseorang pasti menjadi antikonformitas di Jogja kalau, misalnya, tidak bisa melupakan ungkapan, ”Ini Medan, Bung!”

Tapi, kasus FS hanyalah satu titik dari gejala besar kasus mala-adaptasi sosial di Jogja sekarang. Pendatang dari barat, timur, dan utara kini membanjiri Jogja, terutama untuk mereguk pendidikan di Kota Pelajar itu (bukan ”kota bodoh”) atau mencari nafkah (bukan ”kota miskin”) atau berkarya dalam industri kreatif (bukan ”tak berbudaya”). Bagi orang Jogja, pendatang itu membawa berkah berupa sumber penghasilan, tetapi juga menjadi ancaman budaya karena mereka membawa nilai budaya ”non-Jogja” yang sering menabrak nilai budaya ke-Jogja-an.

Orang Jogja sekarang sering tersinggung atau merasa terhina dengan perilaku pendatang yang seenaknya tanpa menimbang rasa orang Jogja sebagai tuan rumah. Misalnya naik motor ngebut slanang-slonong tanpa helm, petantang-petenteng jadi petugas keamanan kelab atau kafe, balik marah kalau ditegur, dan perilaku lain-lain yang mencederai harmoni Jogja.

Sejauh ini, orang Jogja masih bersabar dalam keterhinaan. Mereka masih mampu memberikan ruang pada perilaku antikonformitas dari pendatang. Tapi, seliat-liatnya budaya Jogja, suatu waktu ruang itu akan penuh juga, lalu bisa pecah menjadi amuk sosial. Sebelum itu terjadi, Jogja perlu melakukan langkah preventif.

Sosialisasi Ke-Jogja-an

Orang Jogja sejauh ini selalu punya ruang sosial-budaya untuk pendatang. Masalahnya adalah bagaimana agar pendatang mengisi ruang itu selayaknya. Tidak justru merusak harmoni Jogja seperti kasus FS, tapi justru berintegrasi untuk memperkaya nilai-nilai ke-Jogja-an? Sehingga setiap waktu akan selalu lahir ”Jogja yang Baru”, di mana setiap pendatang ikut memberikan sumbangan pengayaan budaya.

Agaknya diperlukan sosialisasi nilai-nilai ke-Jogja-an kepada kaum pendatang, tentu dengan berbagai cara kreatif ala Jogja. Untuk itu, harapan diarahkan kepada lembaga keraton dan lembaga pendidikan tinggi Jogja agar menjadi inisiator sekaligus agen sosialisasi.

Sebagai contoh, keraton dan perguruan tinggi setempat dapat merumuskan nilai budaya ke-Jogja-an secara komprehensif. Lalu, di perguruan tinggi, di mana banyak mahasiswa pendatang, diberikan mata kuliah dasar umum dengan materi nilai-nilai budaya ke-Jogja-an. Dengan demikian, mahasiswa pendatang memiliki pengetahuan yang memadai tentang Jogja. Hal itu memudahkan mereka beradaptasi menjadi bagian dari Jogja sebagai sebuah komunitas.

Tentu masih banyak cara sosialisasi yang bisa dipikirkan. Intinya untuk membantu pendatang menghargai nilai konformitas Jogja sekaligus memberikan kesempatan bagi mereka mereguk kebaikan budaya Jogja. Ini bukan utopia. Pada 1970-an, banyak anak laki-laki ”Medan” yang berkuliah di Jogja mengalami ”gegar budaya” ketika pulang ke kampung halaman. Di Jogja, kepada teman perempuan ”sekampung” yang suka ngomong sembarang, mereka selalu mengingatkan, ”Iki Jogja lho, Mbak.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar