Selasa, 02 September 2014

Peneguhan Politik Kebangsaan

Peneguhan Politik Kebangsaan

Muhammadun  Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 02 September 2014
                                      
                                                      

MUKTAMAR Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 31 Agustus-1 September menyepakati terpilihnya kembali KH Abdul Aziz Mansyur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro dan A Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz periode 2014-2019. Kedua tokoh itu teruji mampu membawa PKB melewati masa konflik menuju konsolidasi internal partai. Pemilu 2014 merupakan bukti nyata kedua tokoh tersebut mampu membawa PKB sebagai partai Islam dengan suara tertinggi dalam pemilu legislatif, 9 April lalu.

Sepanjang berdirinya, PKB diuji sejarah dengan berbagai konflik. Sepanjang konflik itulah, PKB seharusnya mengambil pelajaran untuk merevitalisasi peran politiknya dalam pembangunan demokratisasi di Indonesia.Didirikan sebagai `anak kandung' PBNU, arah politik PKB tidak bisa dilepaskan dari jalan perjuangan NU dalam memperjuangkan Islam di Indonesia. Konstituen PKB paling utama ialah warga NU (nahdliyyin), sehingga suara nahdliyyin selalu menjadi target utama PKB dalam se tiap pemilu.

Karena berbasis konstituen warga NU inilah, PKB disebut juga sebagai partai Islam walaupun dalam asasnya, PKB ialah partai inklusif, terbuka bagi siapa saja, termasuk nonmuslim. Ini berbeda dengan PKS, PPP, dan PBB yang dalam AD/ART menjadikan Islam sebagai asas utama, di samping Pancasila. Walaupun tidak berasaskan Islam, PKB merupakan manifestasi strategi politik umat Islam (NU) untuk merealisasikan nilai-nilai Islam dalam membangun sistem yang islami demi terwujudnya masyarakat yang berkeadilan.

Jalan politik PKB dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam tidak mengharuskan Islam menjadi aturan formal dalam bernegara. PKB tidak menghendaki negara Islam karena negara Pancasila sudah dikatakan sebagai `darul Islam', yakni ajaran Islam bisa dilaksanakan dan nilainilai Islam bisa diaplikasikan tanpa ada paksaan dan hambatan. Ini sudah ditegaskan para pendiri NU seperti KH A Wahid Hasyim ketika menerima Pancasila sebagai dasar negara, juga ditegaskan Muktamar NU yang ke-27 (1984) di Situbondo.

Tiga prinsip

Sang ideolog PKB, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), merupakan sosok paling berpengaruh da lam jejak ideologi politik yang dibangun PKB. Bagi Gus Dur, nilai funda mental Islam berkisar pada demokrasi (al syura), kesetaraan (al-musawah), dan keadilan (al-adl). Tiga prinsip itulah yang akan menjadi spirit negara dalam menjalankan roda pemerintahannya. Ketiga prinsip itu digunakan untuk membangun masyarakat yang berkeadilan. PKB lahir untuk mewujudkan itu, bukan terjebak dalam formalitas agama dalam negara.

Prinsip politik Gus Dur itu sejatinya selaras dengan Muhammad Natsir dalam kapita selekta yang berpendapat bahwa titel khalifah tidak menjadi syarat mutlak da lam pemerintahan Islam, bukan conditio sine qua non. Akan tetapi, orang yang diberi kekuasaan memimpin negara mampu bertindak secara bijaksana dan menjalankan hukum-hukum Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan kenegaraan, baik secara kaidah maupun praktik. Bagi beliau, syarat menjadi pemimpin negara Islam ialah agama, sifat, akhlak, tabiat, dan kecakapannya dalam memegang kekuasaan yang diamanahkan kepadanya.

Ibn Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa-nya juga melihat bahwa pemerintahan yang ideal dalam Islam pada dasarnya dibangun karena ada cita-cita bersama untuk mencapai kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan, bukan pemerintahan yang dibangun atas dasar superioritas dan primordialisme Islam. Atas dasar itu, bahkan Ibn Taimiyyah mengatakan, “Allah akan menolong negara yang berkeadilan meskipun (diisi oleh) nonmuslim, dan tidak akan menolong negara yang zalim meskipun (diisi oleh) muslim.“

Sementara itu, Ibn Qayyim dalam I'lamul Muwaqqi'in, yang mengutip pendapat Abu al-Wafa' Ibn Aqil, melihat bahwa dalam wilayah politik, syariat Islam sebenarnya tidak pernah menentukan bentuk pemerintahan atau sistem politik tertentu, tetapi hanya memberi landasan moral dan beberapa etika khusus yang sebenarnya berasal dari nilai universal dalam berpolitik.

Dari sinilah, aksi partai Islam dalam jejak sejarah politik Indonesia tak pernah memaksakan lahirnya negara agama karena politik hanya strategi, tujuannya ialah masyarakat yang berkeadilan dalam segala hal. Bagi Luthfi Assyaukani (2011), isu negara Islam hanyalah retorika politik. Itu dibuktikan praktik demokrasi pada Orde Lama yang justru mencapai puncaknya di tangan perdana menteri perdana menteri umat Islam seperti Mohammad Natsir, Sukiman, dan Burhanuddin Harahap. Herbert Feith (1962) menyebut pemerintahan Natsir ialah yang terbaik pada masa demokrasi konstitusional di era Orde Lama. Pemilihan umum bahkan dilakukan pertama kali pada masa pemerintah Burhanuddin Harahap.

Peneguhan

Dalam kerangka inilah, PKB sebagai partai berbasis massa nahdliyyin yang mengusung jargon `politik rahmatan lil'alamin' harus mampu menjadikan nilai-nilai Islam dalam meneguhkan politik kebangsaan di Indonesia. Potensi massa Islam harus dijadikan PKB untuk meneguhkan Indonesia sebagai harapan pemimpin dunia Islam masa depan, yakni dengan mengajak umat Islam bekerja keras sebagai umat terbaik dari segi prestasi di semua bidang, ekonomi, pendidikan, politik, peradaban, militer, teknologi, moral, dan perta hanan keamanan sehingga umat bangsa ini berwibawa di hadapan negara lain.

Jika PKB mampu merealisasikan mimpi politik kebangsaan umat Islam negeri, jargon `politik rahmatan lil'alamin' harus diterjemahkan prinsip amanah dan keadilan. Itu sesuai dengan QS al-Nisa ayat 58. Nilai utama yang mendasari perjuangan ialah semangat mengemban amanah dan melaksanakan mandat rakyat dengan keadilan. Amanah dan keadilan itu untuk menggapai tujuan kemaslahatan publik. Kebijakan politik yang dijalankan PKB harus selalu berorientasi mencapai kemaslahatan rakyat, bukan kepentingan elite dan kelompok warga NU saja. Ini sesuai dengan kaidah fikih `kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan'.

Kemaslahatan PKB kepada rakyat harus bertumpu pada kesejahteraan sosial. Bagi Gus Dur, rahmatan lil'alamin ialah kesejahteraan bagi semesta. Gus Dur melihat kasih (rahmah) mungkin bersifat abstrak, sedangkan Islam ialah agama hukum yang memiliki kadar politik. Maka, makna rahmah yang dipilih ialah kesejahteraan yang meniscayakan pemerintahan demokratis yang mampu menyejahterakan.
Pemerintahan demokratis pertama-tama diwujudkan dengan kepedulian atas kaum miskin, selayak titah Al-Baqarah:177. Kepedulian itu lahir, bagi Arif (2013), dari pemuliaan Islam atas martabat manusia (QS 2:32), sehingga tujuan utama dari syariat Islam (maqashid alsyari'ah) sendiri ialah perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia (al-kulliyat al-khamsah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar