Masalah
Warga dan
Tantangan
DPRD DKI Jakarta 2014-2019
Sukandar ; Ketua
DPW Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) DKI Jakarta
|
INDOPROGRESS,
03 September 2014
BELUM
lama ini, pada 25 Agustus 2014, anggota DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019
dilantik. Sebagai pembawa mandat warga Jakarta, mereka tentu harus diingatkan
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang selama ini mendera warga DKI
Jakarta. Ada banyak masalah di Jakarta yang perlu diperhatikan oleh anggota
DPRD DKI Jakarta terpilih. Diantaranya adalah penggusuran, pendidikan,
kesehatan, dan masalah air.
Penggusuran
Penggusuran
merupakan masalah klasik di Jakarta. Menurut catatan LBH Jakarta, anggaran
penggusuran yang akan dikeluarkan pada 2014 oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU)
serta Dinas Perumahan dan Pemukiman berjumlah sekitar Rp 4 trilyun untuk 88
lokasi penggusuran. Sementara, anggaran Dinas Pertamanan dan Pemakaman kurang
lebih Rp 1,8 triliun untuk 43 lokasi penggusuran. Total anggaran penggusuran
ketiga Dinas itu berkisar di Rp 5-6 triliun untuk 131 lokasi penggusuran.
Dibandingkan
dengan tahun 2013, anggaran yang dialokasikan untuk penggusuran pada 2014
meningkat tajam. Pada 2013, Dinas PU menghabiskan Rp 79,4 miliar dengan
anggaran awal Rp 695,6 miliar. Sementara pada 2014, anggaran Dinas PU untuk
penggusuran adalah Rp 3,9 triliun. Jumlah lokasi penggusuran oleh Dinas PU
pun bertambah dari 71 lokasi pada 2013 menjadi 80 lokasi pada 2014.
Solusi
penggusuran Pemprov DKI Jakarta berupa relokasi korban ke rumah susun pun
dirasa belum memadai. Pasalnya, rumah-rumah susun tersebut berada di
pinggiran Jakarta, sehingga sekalipun korban mendapat tempat tinggal baru,
tetapi mereka tetap kehilangan akses atas penghidupan mereka. Seharusnya
tempat tujuan relokasi, selain memiliki standar kelayakan sebagai tempat
tinggal, juga memperhatikan akses korban atas penghidupan mereka.
Kemudian,
yang juga penting untuk dicatat, masih terdapat peraturan-peraturan daerah
(Perda) DKI Jakarta yang berpotensi melegitimasi penggusuran. Salah satunya
yang mencolok adalah Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban
Umum. Peraturan-peraturan seperti ini tentu perlu dicabut dan diganti dengan
peraturan-peraturan daerah yang justru menghalangi terjadinya penggusuran.
Pendidikan
Berdasarkan
catatan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), ada setidaknya dua
masalah penting terkait pendidikan di DKI Jakarta. Masalah yang pertama
adalah banyaknya penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang dobel. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) pun telah menemukan sebanyak 9006 nama penerima KJP
dobel yang berpotensi merugikan Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp 13,34 miliar.
Diperlukan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) DPRD untuk menindaklanjuti
temuan BPK ini.
Masalah
lain terkait pendidikan di DKI Jakarta adalah rendahnya Dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) untuk
sekolah swasta. Padahal, banyak siswa kurang mampu yang juga bersekolah di
sekolah swasta. Anggaran BOS/BOP untuk siswa kurang mampu perlu ditingkatkan,
dan mungkin sebagian dana KJP bisa dialihkan untuk mensubsidi siswa kurang
mampu yang bersekolah di sekolah swasta.
Kesehatan
Masih
berdasarkan catatan SPRI, salah satu masalah kesehatan yang cukup mencolok di
DKI Jakarta adalah tidak memadainya ketersediaan kamar perawatan kelas III
yang ditanggung oleh Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan BPJS Kesehatan. Untuk
mengatasi masalah ini, RS swasta perlu ‘dipaksa’ memperbanyak dan memperluas
kamar kelas III. Informasi ketersediaan kamar kelas III juga perlu
dipublikasikan secara online oleh setiap rumah sakit. Sebagai program jangka
panjang, jumlah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Jakarta juga perlu
diperbanyak dan sistem kelas dalam Rumah Sakit harus dihapuskan.
Kemudian,
terdapat pula masalah tenaga medis yang kurang memadai di Jakarta. Saat ini
Pemprov DKI Jakarta hanya memiliki 3000 tenaga medis, yang terdiri dari 1000
PNS di bawah Dinas Kesehatan dan 2000 pegawai honorer. Diperlukan penambahan
tenaga medis di Puskesmas-Puskesmas di Jakarta. Badan Kepegawaian Daerah
(BKD) juga perlu membatasi orang-orang di bidang kesehatan yang menjadi camat
atau lurah, agar tenaga mereka tidak terserap ke sana.
Masalah
kesehatan lain yang juga perlu diperhatikan adalah sistem tarif INA-CBG (Indonesia Case Base Groups) dari BPJS
Kesehatan. INA-CBG merupakan sistem pembayaran ‘paket’ oleh pemerintah ke RS
berdasarkan penyakit pasien. Sistem ini memberi tekanan pada rumah sakit,
sehingga pemberian layanan kepada pasien pun menjadi buruk. Untuk mengganti
sistem ini, DPRD harus membentuk payung hukum untuk menanggung selisih biaya
yang tidak ditanggung BPJS bagi mereka yang ber-KTP DKI Jakarta dan termasuk
dalam kategori miskin atau kurang mampu.
Privatisasi Air
Masalah
di DKI Jakarta yang mungkin tidak begitu tampil ke permukaan adalah masalah
air. Menurut catatan LBH Jakarta, sejak pengelolaan air DKI Jakarta
diserahkan ke pihak swasta, yakni PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT
Aetra, hanya 62 persen wilayah Jakarta yang terjangkau layanan air PAM. Dari
total pelanggan air di Jakarta sebanyak 806.153 pelanggan, masih ada 184.273
pelanggan yang tidak mendapatkan air. Padahal seluruh pelanggan harus tetap
membayar biaya abodemen tiap
bulannya.
Privatisasi
air di DKI Jakarta juga telah menyebabkan harga air naik dari Rp700 menjadi
Rp1000 per meter kubik selama 2005-2007. Kenaikan harga air ini pada
gilirannya meminggirkan warga miskin yang tidak mampu membeli air. Selain
itu, ketidakadilan dalam kontrak kerjasama antara PAM Jaya dengan pihak
swasta, telah menyebabkan adanya biaya short
fall—kekurangan bayar karena nilai tarif yang dibayar pelanggan berada di
bawah imbalan bagi swasta—yang terakumulasi hingga Rp583 milyar dan harus
ditanggung oleh Negara.
Catatan Penutup
Keempat
masalah di atas tentu hanya sebagian kecil saja dari masalah-masalah yang ada
di Jakarta. Masih banyak masalah lain yang mendera warga DKI Jakarta.
Misalnya, kurangnya lapangan kerja berbanding dengan banyaknya pengangguran
yang membuat DKI Jakarta menjadi rawan akan kriminalitas. Anggota DPRD DKI
Jakarta yang baru dilantik beberapa waktu lalu wajib mengawal Pemprov DKI
Jakarta dalam menyelesaikan berbagai persoalan ini. Mereka yang layak
mewakili warga DKI Jakarta haruslah mereka yang peduli dengan penyelesaian
masalah-masalah warganya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar