BBM,
Politik Energi, dan Energi Politik
Suhardi ; Alumnus
Pascasarjana UKM Malaysia
|
JAWA
POS, 03 September 2014
HIRUK pikuk hasil
pilpres meredup sudah, seiring putusan MK beberapa waktu lalu. Tapi,
persoalan politik terus bergeliat seolah tak pernah berhenti. Isu kenaikan
bahan bakar minyak (BBM) dilihat punya potensi multidimensional bagi kekuatan
politik di tanah air. Ada yang melihatnya sebagai mesiu baru dalam menambah ’’energi
politik”. Dan, ada yang dengan alasan menutup kebocoran APBN harus menaikkan
BBM. Dalam frasa yang terkesan realistis, yakni penghematan dan efisiensi
dalam rangka perbaikan politik energi. Berbagai upaya dilakukan agar BBM
dinaikkan pada masa SBY. Artinya, pemerintah baru tidak mewarisi beban
ekonomi yang berat. Isu BBM sejatinya adalah sinyal kepada bangsa ini akan
pentingnya politik energi. Tapi, di sisi lain politik energi, bila tidak
dikelola dengan baik, akan memberikan ’’energi politik” bagi pihak lain.
Energi adalah sesuatu
yang sangat vital bagi sebuah negara. Terlebih bagi sebuah negara yang sedang
berusaha untuk meningkatkan perekonomiannya seperti Indonesia. Tokoh Marxis
sekelas Lenin pun menjadikan elektrifikasi dalam membangun Soviet. Artinya,
ketersediaan energi menjadi mutlak bagi suatu bangsa. Bangsa yang tak punya
cadangan energi sama saja dengan bangsa yang menelusuri jalan buntu dalam
membangun bangsa. Energi berkaitan erat dengan keamanan nasional. Untuk itu,
Indonesia perlu usaha serius bagaimana politik energinya menjadi kuat.
Politik energi
bermakna bagaimana mengolah dan menggunakan kekayaan energi untuk kepentingan
nasional. Muaranya, untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dari Sabang sampai
Merauke. Dalam pandangan Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Indonesia
(Aspermigas) Efendi Siradjuddin, politik energi kita harus kuat demi keamanan
nasional. Semua produksi yang dibutuhkan dalam negeri harus dibangun dan
dibuat di dalam negeri. Politik energi yang tidak kuat akan berimplikasi terhadap
independensi bangsa ini. Sebab, kondisi ekonomi global sebagaimana data Centre for Research and Globalization
(CRG) sekitar 60 persen harga minyak dunia ditentukan spekulan. Hal itu
sangat berbahaya untuk negara pengimpor minyak seperti Indonesia.
Indonesia sebagai
negara yang memiliki cadangan minyak seharusnya punya politik energi yang
kuat. Realitasnya, data Indonesian
Resources Studies (IRESS) menemukan bahwa Pertamina hanya memproduksi 15
persen, sedangkan 85 persennya diproduksi asing. Tidak berbeda jauh dari data
Kementerian ESDM, Pertamina hanya memproduksi 13,8 persen, sisanya dikuasai
asing, yakni Chevron 41 persen, Total 10 persen, Chonoco-Philips 3,6 persen,
dan CNOC 4,6 persen. Sedangkan produksi gas didominasi enam perusahaan asing,
yaitu Chevron, Total, Chonoco-Philips, British Petroleum, dan Exxon Mobil.
Sebuah ironi untuk bangsa yang memiliki cadangan minyak yang cukup banyak.
Pakar perminyakan
Indonesia Kurtubi mengatakan, cadangan minyak Indonesia di perut bumi masih
berkisar 50 miliar sampai 80 miliar barel. Seharusnya bisa diproduksi 1,5
juta barel per hari. Faktanya, kita hanya mampu memproduksi 1,1 juta barel
per hari. Dan parahnya, kita tak punya kekuatan terhadap perusahaan asing
dalam wujud politik energi yang kuat. Sebagai contoh kita tidak bisa
melakukan windfall profit tax
kepada kontraktor minyak dan gas, padahal Venezuela telah memulainya pada
2008. Dengan perincian, bila harga minyak di atas 70 USD per barel,
pemerintah Venezuela memperoleh 92 sen setiap barel. Apabila harga minyak di
atas 100 USD per barel, mereka memperoleh 97 sen. Sebuah contoh politik
energi yang kuat untuk menekan dominasi asing.
Berbeda halnya dengan
politik energi yang tak kunjung punya daya taring dan sarat kepentingan. Isu
kenaikan BBM berpotensi menjadi energi politik bagi yang berseberangan dengan
pemerintah. Pengalaman bangsa ini telah menjadikan BBM sebagai pekerjaan yang
paling rumit, sulit, dan riskan. Sebab, isu itu akan berdampak langsung
terhadap rakyat. Apabila kenaikan BBM tidak dikelola dengan baik, akibatnya
fatal bagi pemerintah. Terlebih bagi pemerintahan Jokowi-JK yang secara
kalkulasi di parlemen tidak kuat. Kita masih ingat bagaimana PDIP, partai
pengusung, menolak kenaikan BBM di era SBY. Ironisnya, sekarang malah
mendesak SBY untuk menaikkan BBM. Bahkan, sudah muncul pernyataan menyindir
dari lawan politik. Misalnya, ungkapan politikus Demokrat Ramadhan Pohan yang
mengatakan menaikkan BBM, karma bagi pemerintahan Jokowi mendatang. Kondisi
dilematis itu bisa saja dijadikan energi politik baru di tengah percaturan
politik pasca pelantikan Jokowi-JK nanti.
Masalah energi adalah
masalah yang urgen dan krusial. Negara seperti Rusia dan Amerika Serikat
telah menjadikan energi sebagai target utama mereka dalam menguasai dunia.
Konflik di Timur Tengah tidak terlepas dari kepentingan sumber energi dunia.
Sebab, bagi mereka, siapa yang menguasai energi utama, terutama minyak, dia
akan mudah menguasai dunia dengan politik energinya. Maka, tak salah bila
Lemhanas memberi sinyal agar energi menjadi perhatian utama pemerintah dalam
kaitan keamanan nasional. BBM harus menjadi titik sentral bagi kita dalam
menjadikan energi sumber kekuatan bangsa.
Dengan demikian,
energi, khususnya BBM, perlu ditangani serius dan dicari problem solver-nya. Sebab, bagi masyarakat, tidak penting apa
yang dilakukan elite politik dan pemerintah. Bagi mereka, kesejahteraan
adalah yang utama. Kalau naiknya BBM akan memperparah kehidupan ekonominya,
itu adalah pil pahit setelah pilpres. Untuk itu, perlu objektivitas bangsa
ini sehingga BBM dipandang dari aspek mana pun akan memberi nilai positif.
Politik energi menjadi positif untuk bangsa ini bila orientasinya untuk
mengelola sumber alam dengan baik dan menyejahterakan rakyat. Dan, menjadi
energi politik yang positif bagi pengkritik dalam bentuk checks and balances
pada pemerintah agar tidak mencari alasan pembenaran terhadap kenaikan BBM
tanpa melakukan politik energi yang kuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar