Kamis, 04 September 2014

BBM, Politik Energi, dan Energi Politik

BBM, Politik Energi, dan Energi Politik

Suhardi  ;   Alumnus Pascasarjana UKM Malaysia
JAWA POS, 03 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

HIRUK pikuk hasil pilpres meredup sudah, seiring putusan MK beberapa waktu lalu. Tapi, persoalan politik terus bergeliat seolah tak pernah berhenti. Isu kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dilihat punya potensi multidimensional bagi kekuatan politik di tanah air. Ada yang melihatnya sebagai mesiu baru dalam menambah ’’energi politik”. Dan, ada yang dengan alasan menutup kebocoran APBN harus menaikkan BBM. Dalam frasa yang terkesan realistis, yakni penghematan dan efisiensi dalam rangka perbaikan politik energi. Berbagai upaya dilakukan agar BBM dinaikkan pada masa SBY. Artinya, pemerintah baru tidak mewarisi beban ekonomi yang berat. Isu BBM sejatinya adalah sinyal kepada bangsa ini akan pentingnya politik energi. Tapi, di sisi lain politik energi, bila tidak dikelola dengan baik, akan memberikan ’’energi politik” bagi pihak lain.

Energi adalah sesuatu yang sangat vital bagi sebuah negara. Terlebih bagi sebuah negara yang sedang berusaha untuk meningkatkan perekonomiannya seperti Indonesia. Tokoh Marxis sekelas Lenin pun menjadikan elektrifikasi dalam membangun Soviet. Artinya, ketersediaan energi menjadi mutlak bagi suatu bangsa. Bangsa yang tak punya cadangan energi sama saja dengan bangsa yang menelusuri jalan buntu dalam membangun bangsa. Energi berkaitan erat dengan keamanan nasional. Untuk itu, Indonesia perlu usaha serius bagaimana politik energinya menjadi kuat.

Politik energi bermakna bagaimana mengolah dan menggunakan kekayaan energi untuk kepentingan nasional. Muaranya, untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dalam pandangan Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Indonesia (Aspermigas) Efendi Siradjuddin, politik energi kita harus kuat demi keamanan nasional. Semua produksi yang dibutuhkan dalam negeri harus dibangun dan dibuat di dalam negeri. Politik energi yang tidak kuat akan berimplikasi terhadap independensi bangsa ini. Sebab, kondisi ekonomi global sebagaimana data Centre for Research and Globalization (CRG) sekitar 60 persen harga minyak dunia ditentukan spekulan. Hal itu sangat berbahaya untuk negara pengimpor minyak seperti Indonesia.

Indonesia sebagai negara yang memiliki cadangan minyak seharusnya punya politik energi yang kuat. Realitasnya, data Indonesian Resources Studies (IRESS) menemukan bahwa Pertamina hanya memproduksi 15 persen, sedangkan 85 persennya diproduksi asing. Tidak berbeda jauh dari data Kementerian ESDM, Pertamina hanya memproduksi 13,8 persen, sisanya dikuasai asing, yakni Chevron 41 persen, Total 10 persen, Chonoco-Philips 3,6 persen, dan CNOC 4,6 persen. Sedangkan produksi gas didominasi enam perusahaan asing, yaitu Chevron, Total, Chonoco-Philips, British Petroleum, dan Exxon Mobil. Sebuah ironi untuk bangsa yang memiliki cadangan minyak yang cukup banyak.

Pakar perminyakan Indonesia Kurtubi mengatakan, cadangan minyak Indonesia di perut bumi masih berkisar 50 miliar sampai 80 miliar barel. Seharusnya bisa diproduksi 1,5 juta barel per hari. Faktanya, kita hanya mampu memproduksi 1,1 juta barel per hari. Dan parahnya, kita tak punya kekuatan terhadap perusahaan asing dalam wujud politik energi yang kuat. Sebagai contoh kita tidak bisa melakukan windfall profit tax kepada kontraktor minyak dan gas, padahal Venezuela telah memulainya pada 2008. Dengan perincian, bila harga minyak di atas 70 USD per barel, pemerintah Venezuela memperoleh 92 sen setiap barel. Apabila harga minyak di atas 100 USD per barel, mereka memperoleh 97 sen. Sebuah contoh politik energi yang kuat untuk menekan dominasi asing.

Berbeda halnya dengan politik energi yang tak kunjung punya daya taring dan sarat kepentingan. Isu kenaikan BBM berpotensi menjadi energi politik bagi yang berseberangan dengan pemerintah. Pengalaman bangsa ini telah menjadikan BBM sebagai pekerjaan yang paling rumit, sulit, dan riskan. Sebab, isu itu akan berdampak langsung terhadap rakyat. Apabila kenaikan BBM tidak dikelola dengan baik, akibatnya fatal bagi pemerintah. Terlebih bagi pemerintahan Jokowi-JK yang secara kalkulasi di parlemen tidak kuat. Kita masih ingat bagaimana PDIP, partai pengusung, menolak kenaikan BBM di era SBY. Ironisnya, sekarang malah mendesak SBY untuk menaikkan BBM. Bahkan, sudah muncul pernyataan menyindir dari lawan politik. Misalnya, ungkapan politikus Demokrat Ramadhan Pohan yang mengatakan menaikkan BBM, karma bagi pemerintahan Jokowi mendatang. Kondisi dilematis itu bisa saja dijadikan energi politik baru di tengah percaturan politik pasca pelantikan Jokowi-JK nanti.

Masalah energi adalah masalah yang urgen dan krusial. Negara seperti Rusia dan Amerika Serikat telah menjadikan energi sebagai target utama mereka dalam menguasai dunia. Konflik di Timur Tengah tidak terlepas dari kepentingan sumber energi dunia. Sebab, bagi mereka, siapa yang menguasai energi utama, terutama minyak, dia akan mudah menguasai dunia dengan politik energinya. Maka, tak salah bila Lemhanas memberi sinyal agar energi menjadi perhatian utama pemerintah dalam kaitan keamanan nasional. BBM harus menjadi titik sentral bagi kita dalam menjadikan energi sumber kekuatan bangsa.

Dengan demikian, energi, khususnya BBM, perlu ditangani serius dan dicari problem solver-nya. Sebab, bagi masyarakat, tidak penting apa yang dilakukan elite politik dan pemerintah. Bagi mereka, kesejahteraan adalah yang utama. Kalau naiknya BBM akan memperparah kehidupan ekonominya, itu adalah pil pahit setelah pilpres. Untuk itu, perlu objektivitas bangsa ini sehingga BBM dipandang dari aspek mana pun akan memberi nilai positif. Politik energi menjadi positif untuk bangsa ini bila orientasinya untuk mengelola sumber alam dengan baik dan menyejahterakan rakyat. Dan, menjadi energi politik yang positif bagi pengkritik dalam bentuk checks and balances pada pemerintah agar tidak mencari alasan pembenaran terhadap kenaikan BBM tanpa melakukan politik energi yang kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar