Kelahiran
Indonesia Sehat
Dinna Wisnu ; Co-Founder
& Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 03 September 2014
Ketika
sejumlah kalangan mengkritik ide Kartu Indonesia Sehat dari presiden terpilih
Joko Widodo, saya justru merasa bersyukur bahwa akhirnya isu kesehatan
mendapatkan perhatian besar dari seorang kepala negara.
Selama
15 tahun era Reformasi, baru kali ini secara spesifik disebutkan bahwa
seluruh warga negara Indonesia berhak memperoleh akses yang sama atas
pelayanan kesehatan yang bermutu. Selain itu, disebutkan juga bahwa warga
negara Indonesia harus punya cara pikir yang berbeda tentang kesehatan, yakni
untuk mengikuti pola hidup sehat. Cara berpikir seperti itu, menurut hemat
saya, sangat tepat untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai kebijakan publik.
Indonesia yang sehat tidak bisa sepenuhnya bergantung pada kehebatan
pemerintah memperbaiki sistem pelayanan kesehatan atau menyediakan asuransi
kesehatan.
Ada
komponen tanggung jawab dari masyarakat yang bergerak untuk sadar dalam
menjaga kesehatan lingkungan dan mengembangkan pola hidup sehat dalam
keluarga, di mana pun mereka berada. Perlu digarisbawahi bahwa hal ini
merupakan hal mendesak yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Dibandingkan
negara-negara lain di dunia, kinerja indikator kesehatan Indonesia selama 10
tahun lalu merosot di bawah rata-rata kinerja dunia dan Asia Timur. Meskipun
ada sejumlah peningkatan belanja negara untuk bidang kesehatan, totalnya
tidak lebih dari 2,72% PDB (produk domestik bruto).
Ini
sangat jauh di bawah syarat minimal World
Health Organization (WHO) di mana negara yang sehat membutuhkan minimal
alokasi dana 5% dari PDB untuk belanja bidang kesehatan. Bayangkan bahwa
Thailand, Filipina, bahkan Timor Leste dan Vietnam mengalokasikan anggaran
lebih tinggi dibandingkan Indonesia, masing-masing 4,06%, 4,07%, 5,07%, dan
6,81%. Repotnya, dana yang minim tersebut lebih banyak habis untuk belanja
barang dan pegawai yang merupakan hal rutin belaka. Saya pinjam pernyataan
seorang praktisi senior bidang kesehatan yang juga merupakan generasi pertama
pakar ekonomi bidang kesehatan, Prof Ascobat Gani.
Menurutnya,
terlalu lama Indonesia sekadar bicara program kesehatan apa yang harus
dibuat, tetapi luput melihat bahwa sistem kesehatan di Indonesia sendiri
sebenarnya tidak memadai untuk menjalankan program-program yang diusulkan
dari sana-sini. Ibaratnya punya mobil, kita sibuk melihat apa saja yang harus
diangkut oleh kendaraan tersebut, tetapi lalai memperbaiki kondisi mesin dan
fisik mobil.
Berapa
pun uang yang digelontorkan, jika kendaraannya sudah usang, hasil capaiannya
pun mustahil optimal. Pola penggunaan dana untuk belanja kesehatan di
Indonesia melanggengkan penggerogotan sistem kesehatan yang adil.
Pertama-tama mengenai ketersediaan fasilitas kesehatan. Ketika sistem asuransi
kesehatan semesta dioperasikan per 1 Januari 2014, lembaga operasionalnya,
yakni BPJS Kesehatan, tidak punya kendali atas ketersediaan fasilitas
kesehatan yang memadai, apalagi di wilayah-wilayah terpencil, perbatasan, dan
kepulauan.
Hal
itu menjadi tugas Kementerian Kesehatan karena anggarannya disalurkan ke
sana, tetapi karena dananya kecil, yang dibangun sebatas fasilitas fisik
tanpa jumlah tempat tidur yang cukup dan tenaga kesehatan yang memadai,
bahkan sering kali tanpa kelengkapan alat kesehatan dan lab. Jumlah tempat
tidur per 1.000 orang di Indonesia hanyalah 0,6, lebih rendah daripada di Kamboja
(0,840) atau Laos (0,720). Jangankan bicara kelengkapan sebuah rumah sakit.
Untuk tingkat puskesmas saja dari total 9.599 puskesmas di negara ini, ada
sekitar 930 puskesmas yang tidak punya dokter umum.
Rasio
dokter umum per 100.000 penduduk hanya 48 orang, sementara untuk dokter
spesialis hanya 12 orang. Bagi yang mengalami kecelakaan serius atau penyakit
kronis, keselamatan nyawa mereka tidak terjamin karena dokter-dokter
spesialis bergerombol di Jakarta dan kota-kota besar di Jawa saja, sementara se-Provinsi
Nusa Tenggara Timur hanya ada 1 dokter spesialis anestesi (bius) dan tidak
ada satu pun ahli bedah tulang.
Dokter
anak di seluruh Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Papua, Bengkulu,
Maluku, Gorontalo, Kalimantan Tengah, dan Maluku Utara hanya di kisaran 12-16
orang, sementara hanya ada 5 dokter anak di Sulawesi Barat. Dari data tahun
2008 yang dikutip Meliala & Trisnantoro (2014), kemampuan Indonesia
menghasilkan dokter, perawat, dan bidan per 100.000 penduduk hanya 2 dokter,
15 perawat, dan 4 bidan. Dari segi ketersediaan alat kesehatan dan obat yang
terjangkau, Indonesia masih terbebani pajak berlapis-lapis.
Bila
impor barang tambang bisa bebas dari bea cukai, untuk alat kesehatan dan obat
kanker justru kena pajak bea barang mewah. Sementara itu di kalangan
masyarakat menengah ke bawah, pendapatan bulanan mereka pertamatama dipakai
untuk konsumsi rokok dan pulsa, setelah itu baru untuk belanja pangan dan
pendidikan. Ketika masyarakat disadarkan bahwa punya kartu asuransi kesehatan
adalah perlu dan negara akan menanggung biaya bagi yang tidak mampu, ada
problem di sisi pemahaman soal asuransi kesehatan.
Pengguna sekadar menuntut dapat
kemudahan pelayanan, bahkan bila perlu gratis, tetapi tidak paham bahwa
asuransi sosial hanya bisa berlangsung jika jumlah orang yang sehat dan ikut
asuransi lebih banyak daripada jumlah orang yang sakit. Jika peserta asuransi
adalah orang-orang sakit saja, apalagi yang menderita penyakit kronis,
kemampuan keuangan negara akan terlampau berat; sama seperti ribut-ribut
seputar subsidi BBM belakangan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar