Kamis, 04 September 2014

Kelahiran Indonesia Sehat

Kelahiran Indonesia Sehat

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 03 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Ketika sejumlah kalangan mengkritik ide Kartu Indonesia Sehat dari presiden terpilih Joko Widodo, saya justru merasa bersyukur bahwa akhirnya isu kesehatan mendapatkan perhatian besar dari seorang kepala negara.

Selama 15 tahun era Reformasi, baru kali ini secara spesifik disebutkan bahwa seluruh warga negara Indonesia berhak memperoleh akses yang sama atas pelayanan kesehatan yang bermutu. Selain itu, disebutkan juga bahwa warga negara Indonesia harus punya cara pikir yang berbeda tentang kesehatan, yakni untuk mengikuti pola hidup sehat. Cara berpikir seperti itu, menurut hemat saya, sangat tepat untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai kebijakan publik. Indonesia yang sehat tidak bisa sepenuhnya bergantung pada kehebatan pemerintah memperbaiki sistem pelayanan kesehatan atau menyediakan asuransi kesehatan.

Ada komponen tanggung jawab dari masyarakat yang bergerak untuk sadar dalam menjaga kesehatan lingkungan dan mengembangkan pola hidup sehat dalam keluarga, di mana pun mereka berada. Perlu digarisbawahi bahwa hal ini merupakan hal mendesak yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Dibandingkan negara-negara lain di dunia, kinerja indikator kesehatan Indonesia selama 10 tahun lalu merosot di bawah rata-rata kinerja dunia dan Asia Timur. Meskipun ada sejumlah peningkatan belanja negara untuk bidang kesehatan, totalnya tidak lebih dari 2,72% PDB (produk domestik bruto).

Ini sangat jauh di bawah syarat minimal World Health Organization (WHO) di mana negara yang sehat membutuhkan minimal alokasi dana 5% dari PDB untuk belanja bidang kesehatan. Bayangkan bahwa Thailand, Filipina, bahkan Timor Leste dan Vietnam mengalokasikan anggaran lebih tinggi dibandingkan Indonesia, masing-masing 4,06%, 4,07%, 5,07%, dan 6,81%. Repotnya, dana yang minim tersebut lebih banyak habis untuk belanja barang dan pegawai yang merupakan hal rutin belaka. Saya pinjam pernyataan seorang praktisi senior bidang kesehatan yang juga merupakan generasi pertama pakar ekonomi bidang kesehatan, Prof Ascobat Gani.

Menurutnya, terlalu lama Indonesia sekadar bicara program kesehatan apa yang harus dibuat, tetapi luput melihat bahwa sistem kesehatan di Indonesia sendiri sebenarnya tidak memadai untuk menjalankan program-program yang diusulkan dari sana-sini. Ibaratnya punya mobil, kita sibuk melihat apa saja yang harus diangkut oleh kendaraan tersebut, tetapi lalai memperbaiki kondisi mesin dan fisik mobil.

Berapa pun uang yang digelontorkan, jika kendaraannya sudah usang, hasil capaiannya pun mustahil optimal. Pola penggunaan dana untuk belanja kesehatan di Indonesia melanggengkan penggerogotan sistem kesehatan yang adil. Pertama-tama mengenai ketersediaan fasilitas kesehatan. Ketika sistem asuransi kesehatan semesta dioperasikan per 1 Januari 2014, lembaga operasionalnya, yakni BPJS Kesehatan, tidak punya kendali atas ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai, apalagi di wilayah-wilayah terpencil, perbatasan, dan kepulauan.

Hal itu menjadi tugas Kementerian Kesehatan karena anggarannya disalurkan ke sana, tetapi karena dananya kecil, yang dibangun sebatas fasilitas fisik tanpa jumlah tempat tidur yang cukup dan tenaga kesehatan yang memadai, bahkan sering kali tanpa kelengkapan alat kesehatan dan lab. Jumlah tempat tidur per 1.000 orang di Indonesia hanyalah 0,6, lebih rendah daripada di Kamboja (0,840) atau Laos (0,720). Jangankan bicara kelengkapan sebuah rumah sakit. Untuk tingkat puskesmas saja dari total 9.599 puskesmas di negara ini, ada sekitar 930 puskesmas yang tidak punya dokter umum.

Rasio dokter umum per 100.000 penduduk hanya 48 orang, sementara untuk dokter spesialis hanya 12 orang. Bagi yang mengalami kecelakaan serius atau penyakit kronis, keselamatan nyawa mereka tidak terjamin karena dokter-dokter spesialis bergerombol di Jakarta dan kota-kota besar di Jawa saja, sementara se-Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya ada 1 dokter spesialis anestesi (bius) dan tidak ada satu pun ahli bedah tulang.

Dokter anak di seluruh Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Papua, Bengkulu, Maluku, Gorontalo, Kalimantan Tengah, dan Maluku Utara hanya di kisaran 12-16 orang, sementara hanya ada 5 dokter anak di Sulawesi Barat. Dari data tahun 2008 yang dikutip Meliala & Trisnantoro (2014), kemampuan Indonesia menghasilkan dokter, perawat, dan bidan per 100.000 penduduk hanya 2 dokter, 15 perawat, dan 4 bidan. Dari segi ketersediaan alat kesehatan dan obat yang terjangkau, Indonesia masih terbebani pajak berlapis-lapis.

Bila impor barang tambang bisa bebas dari bea cukai, untuk alat kesehatan dan obat kanker justru kena pajak bea barang mewah. Sementara itu di kalangan masyarakat menengah ke bawah, pendapatan bulanan mereka pertamatama dipakai untuk konsumsi rokok dan pulsa, setelah itu baru untuk belanja pangan dan pendidikan. Ketika masyarakat disadarkan bahwa punya kartu asuransi kesehatan adalah perlu dan negara akan menanggung biaya bagi yang tidak mampu, ada problem di sisi pemahaman soal asuransi kesehatan.

Pengguna sekadar menuntut dapat kemudahan pelayanan, bahkan bila perlu gratis, tetapi tidak paham bahwa asuransi sosial hanya bisa berlangsung jika jumlah orang yang sehat dan ikut asuransi lebih banyak daripada jumlah orang yang sakit. Jika peserta asuransi adalah orang-orang sakit saja, apalagi yang menderita penyakit kronis, kemampuan keuangan negara akan terlampau berat; sama seperti ribut-ribut seputar subsidi BBM belakangan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar