Antara
Etika, Hukum, dan Keadilan
Handi Sapta Mukti ; Praktisi
Manajemen, Pemerhati Masalah Sosial dan Lingkungan
|
KORAN
SINDO, 06 September 2014
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi
sorotan dan mulai kembali membangun citra positifnya sebagai benteng terakhir
penegak keadilan di Indonesia setelah sempat terpuruk ke tingkat yang paling
rendah terkait kasus yang menimpa sang ketua beberapa waktu lalu.
Ini tidak terlepas dari kinerja MK yang
dipimpin Hamdan Zoelva saat menangani dan memutuskan gugatan atas sengketa
Pilpres 2014 yang diduga terjadi kecurangan sehingga digugat oleh salah satu
pasangan yang bersaing. Sengketa Pilpres 2014 tersebut mengalir sampai jauh
hingga ke meja MK dan berujung pada keputusan MK pada 22 Agustus 2014 yang
menolak semua tuntutan penggugat yaitu pasangan capres dan cawapres nomor
urut 1 terhadap Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU), yang secara otomatis
mengesahkan semua keputusan KPU atas hasil Pilpres 2014 yang dimenangkan
pasangan capres dan cawapres nomor urut 2.
Kasus lainnya yang menarik di MK terungkap di
acara Mata Najwa pada 28 Agustus 2014 di MetroTV yang bertajuk “Di Balik
Pilar Konstitusi”. Pada 2013 MK yang juga dipimpin Hamdan Zoelva memenangkan
gugatan uji materi yang diajukan oleh seorang satpam perusahaan bernama
Marten Boiliu atas Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal-
96 yang mengatur hak-hak karyawan yang harus dilindungi dan dijalankan oleh
perusahaan.
Dengan keputusan MK tersebut, pihak tergugat
(perusahaan) diwajibkan untuk membayar semua hak-hak karyawan (penggugat) dan
kalimat hukum dari Pasal 96 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang
menjadi sengketa tersebut harus dihapuskan. Dari dua kasus tersebut, kita
dapat melihat ada hal mendasar yang menjadi pokok persoalan dari setiap kasus
adalah etika dan hukum itu. Dalam kasus Pilpres 2014, hukum telah mengalahkan
etika. Kasus yang digugat pemohon pada Pilpres 2014 berupa pelanggaran dan
kecurangan dalam pelaksanaan Pilpres 2014 oleh KPU yang merupakan pelanggaran
atas etika pemilu yang seharusnya berlangsung secara langsung umum, bebas,
dan rahasia (luber).
Etika pelaksanaan pemilu tersebut juga
dilindungi dan diatur oleh hukum dan undang-undang sehingga pelanggaran atas
etika pemilu dapat dianggap sebagai tindakan melanggar hukum dan
undang-undang. Atas dasar itulah, penggugat melaksanakan gugatannya dan
mengujinya sampai ke tingkat MK. Pada kasus Marten, etika telah mengalahkan
hukum di mana MK telah mengabulkan gugatan penggugat atas pelaksanaan UU Ketenagakerjaan
yang dianggap melanggar hak-hak karyawan dan mencederai rasa keadilan
terhadap karyawan, khususnya yang mengalami PHK, atau mengundurkan diri yang
dalam hal ini diwakili Marten.
Atas dasar itulah, MK kemudian mengabulkan
permohonan penggugat dan memerintahkan perusahaan untuk membayarkan seluruh
hak-hak atas karyawan tersebut dan memerintahkan pemerintah menghapus pasal
tersebut. Dengan begitu, tidak ada lagi masa kadaluwarsa dalam melakukan gugatan
atas hak-hak buruh atau karyawan kepada perusahaan.
Masih banyak sebenarnya kasus lain yang tidak
cukup untuk diungkapkan dalam tulisan ini satu per satu. Namun, melihat dari
kasus-kasus yang ada, tampaknya etika tidak selalu bersesuaian dengan hukum.
Sebaliknya, hukum tidak selalu bersesuaian dengan etika. Sampai ada satu
ungkapan, orang yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Sebaliknya,
orang yang melanggar hukum sudah pasti melanggar etika.
Pelanggaran etika bisa saja diselesaikan
secara kekeluargaan, pelanggaran hukum semestinya diselesaikan lewat jalur
hukum, walaupun pada beberapa kasus bisa juga diselesaikan secara
kekeluargaan dengan memegang prinsip norma dan etika yang berlaku di
masyarakat. Jadi, mana yang memiliki kedudukan lebih tinggi, etika atau
hukum? Secara definisi, etika adalah suatusistemnilaidannormaatas perilaku
yang berakar pada budaya suatukelompokmasyarakat di suatu tempat yang
kemudian dilaksanakan dalam tindakan, peraturan, dan kesesuaian dengan hukum
yang berlaku (Fraedrich Farrell: 2011).
Adapun dari aspek teologis etika ada yang
bersifat ethical egoism (self interest)
dan ethicalutilitarianism (greates
good/happiness) yang berprinsip bahwa suatu keputusan dianggap benar jika
keputusan tersebut memberikan manfaat yang sebesar- besarnya kepada
kepentingan yang lebih besar. Jika digali lebih dalam lagi, unsur yang
melengkapi sistem nilai dan etika terdiri atas self interest, personal virtues, religius, government requirements,
utilitarian benefits, dan universal
rules.
Dari definisi tersebut jelas etika mempunyai
kedudukan yang lebih luas dari hukum dan sudah seharusnya etika dan hukum
berjalan beriringan dan bersesuaian, tidak ada konflik antara etika dan
hukum. Karena hukum sebenarnya pengejawantahan dari sistem nilai dan etika
yang berlaku di masyarakat yang diformalkan dalam bentuk hukum dan peraturan
perundang-undangan negara. Masalahnya, seringkali hukum dan perundang-
undangan belum sepenuhnya mencakup sistem nilai dan etika yang ada sehingga
terjadilah celah (gap) antara hukum
dan etika. Celah inilah yang seringkali menjadi sumber perdebatan,
perselisihan, dan silang pendapat dalam sistem peradilan.
Di Indonesia MK menjadi satu-satunya lembaga
yang berhak memutuskan atas setiap kasus hukum yang tidak terselesaikan atau
dirasa belum memenuhi rasa keadilan bagi salah satu pihak yang bersengketa.
Pada titik inilah seringkali etika berhadapan dengan hukum dalam arti hukum
dan perundangundangan harus diubah untuk memenuhi rasa keadilan dan
kepentingan yang lebih luas seperti contoh kasus Marten di atas. Demikian
juga sebaliknya. Pelanggaran etika diabaikan demi hukum dan keadilan seperti
pada kasus Pilpres 2014. Kendati demikian, landasan dari dua keputusan itu
tetap sama yaitu pembelaan terhadap kepentingan yang lebih besar dan rasa
keadilan.
Yang menarik di Indonesia ada istilah
kekeluargaan untuk proses penyelesaian suatu perselisihan atau sengketa. Budaya
penyelesaian secara kekeluargaan ini didasari pada kebiasaan masyarakat
Indonesia untuk selalu bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalan. Dengan
penyelesaian secara kekeluargaan, suatu kasus tidak perlu dibawa ke ranah
hukum, namun cukup ditengahi oleh orang yang dituakan, kepala adat, kepala
rukun tetangga, dan sebagainya, suatu perselisihan dapat diselesaikan.
Yang terpenting, masing-masing pihak terpenuhi
rasa keadilannya sehingga ikhlas menerima keputusan yang dimusyawarahkan
tersebut. Pilihan untuk menyelesaikan suatu perselisihan secara hukum atau
kekeluargaan akan kembali kepada masing-masing pihak. Persoalan sekecil apa
pun bisa dibawa ke ranah hukum karena hukum dan keadilan adalah hak setiap
individu.
Apalagi dengan perkembangan sistem informasi
saat ini, semakin banyak orang yang melek dan mengerti hukum, kantor lembaga
bantuan hukum dan pengacara pun bertebaran di mana-mana. Tampaknya budaya
penyelesaian secara kekeluargaan sedikit demi sedikit akan ditinggalkan,
apalagi jika suatu persoalan dianggap sebagai sesuatu hal yang sangat
material. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar