Koalisi
Permanen
Said Zainal Abidin ; Guru
Besar STIA LAN dan Mantan Penasihat KPK
|
KORAN
TEMPO, 02 September 2014
Sebuah
strategi alternatif yang mungkin dipilih oleh kubu Merah Putih
(Prabowo-Hatta) setelah keluar keputusan sidang Mahkamah Konstitusi adalah
pembentukan koalisi permanen di DPR.
Apa
yang dimaksudkan dengan koalisi permanen itu? Sebagai fraksi di DPR,
pengertian "permanen" bisa diartikan dalam dua bentuk. Pertama,
sebagai kerja sama tetap, tapi bersifat fleksibel. Artinya, setiap sikap dan
keputusan yang diambil selalu dengan kesepakatan bersama yang sifatnya
fleksibel. Boleh jadi suatu saat mendukung kebijakan pemerintah, dan pada
waktu yang lain bersikap menolak. Yang penting, keputusan itu selalu diambil
secara bersama. Maksudnya, keputusan itu dilakukan secara bersama dengan
menggunakan prinsip rasionalitas dan kepentingan publik. Kalau ini yang akan
terjadi, situasi politik menjadi normal dan kondusif untuk segala pihak.
Kedua,
boleh jadi pengertian permanen itu diartikan sebagai sikap oposisi permanen
yang rigid. Artinya, setiap inisiatif pemerintah dalam memasukkan sebuah isu
dalam agenda kebijakan (policy agenda,
daftar yang mendapat prioritas untuk dibahas dalam DPR) akan ditolak tanpa
memperhitungkan wujud dan tujuan dari kebijakan itu. Kalau ini yang terjadi,
situasi perpolitikan di Indonesia akan lain. Jauh dari normal dan rasional.
Sudah
dimengerti bahwa fungsi DPR adalah menilai jalannya pemerintahan dengan
mempertimbangkan pokok kepentingan rakyat, siapa pun dia dan apa pun partai
politiknya. Jika bertindak di luar fungsi itu, DPR dapat dianggap tidak
bekerja secara wajar.
Seorang
anggota DPR harus selalu menjaga agar pemerintahan berjalan sesuai dengan
ketentuan konstitusi dan undang-undang yang berlaku demi kepentingan rakyat
yang diwakilinya.
Kita
semua berharap bahwa DPR RI periode 2014-2019 cukup rasional dan bertindak
secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang matang. Dalam arti,
kepentingan umum/rakyat berada di atas kepentingan pribadi dan partai. Ini
dapat diharapkan karena DPR periode ini adalah pilihan rakyat secara langsung
untuk ketiga kali dalam era Reformasi dan sesudah Republik berusia 69 tahun
sejak merdeka.
Salah
satu prinsip yang perlu dipegang adalah, apa yang pernah diucapkan oleh
Abraham Lincoln, Presiden America Serikat, my loyalty to my party ends, where my loyalty to my country begins
(cintaku kepada partaiku berakhir,
ketika cintaku kepada negeriku dimulai).
Bersamaan
dengan itu, sambil mengharapkan pilihan yang tepat, pada tempatnya pula kita
ingin mengingatkan jika seandainya para politikus tersebut tergelincir dan
memilih jalan oposisi permanen yang rigid. Pertama, dengan jumlah suara
anggota DPR dari koalisi permanen tersebut yang lebih besar, mengandung
akibat setiap isu kebijakan (policy
issue) inisiatif pemerintah akan mengalami hambatan untuk masuk ke agenda
kebijakan (policy agenda). Pertanyaannya,
bisakah mereka melakukan hal yang demikian jika isu yang disampaikan tersebut
mendapat dukungan besar dari rakyat?
Dalam
era keterbukaan sekarang, rakyat secara mudah dapat mengikuti apa yang
terjadi di DPR. Kalau koalisi permanen yang dimaksud menolak kepentingan
rakyat yang diperjuangkan pemerintah, saya khawatir mereka tidak akan pernah
lagi mendapat dukungan untuk seterusnya pada masa yang akan datang.
Partai-partai yang bersangkutan akan surut popularitasnya di mata
rakyat-untuk tidak menyebutkan akan gulung tikar. Kedua, sebagai partai
politik pada umumnya, tokoh-tokoh partai mempunyai keinginan mendapatkan
kekuasaan atau posisi dalam pemerintahan. Karena itu, oposisi permanen yang
lepas sama sekali di luar pemerintahan Indonesia dapat dikatakan sulit
terbentuk. Dalam banyak hal, oposisi itu selalu bersifat setengah-setengah.
Oposisi, ya, menerima jabatan juga OK.
Pada
periode yang lalu, secara gamblang sikap setengah-setengah itu sering
dituduhkan kepada PKS. Sebenarnya, semua partai juga mengandung potensi yang
sama. Kecuali hanya satu-dua partai yang sudah lama berpengalaman sebagai
partai oposisi.
Memahami
kondisi perpolitikan inilah, mengapa Jokowi dan Surya Paloh secara terbuka
menawarkan kemungkinan bergabung bagi partai-partai yang dulu tidak mendukung
Jokowi-JK untuk ikut dengan koalisi partai pemerintah. Secara halus, mungkin
mereka dapat membaca adanya keinginan dari partai-partai tersebut yang sedang
mempertimbangkan cara yang lebih elegan untuk bergabung. Dengan harapan,
mudah-mudahan dapat memperoleh kursi di kabinet. Ketiga, dengan alasan di
atas, ada kemungkinan terbentuk koalisi permanen yang bersikap oposisi
permanen kecil. Koalisi permanen dari partai-partai yang bergabung dalam
kelompok tersebut tidak mempunyai sesuatu landasan ideologis untuk mau
berkorban tanpa alasan yang jelas.
Kalau
ada di antara pemimpin partai yang telanjur tetap berkukuh mempertahankan
koalisi permanen, saya kira mereka akan digeser dari kedudukannya oleh
tokoh-tokoh lain dalam partai itu sendiri. Hal ini mulai kelihatan dengan
guncangan yang timbul dalam Partai Golkar dan PPP. Kita tidak mengharapkan
hal-hal yang tidak wajar itu akan terjadi, karena kestabilan politik nasional
yang ditopang oleh kematangan partai politik merupakan modal utama dalam
pembangunan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar