Jumat, 12 September 2014

Khitah “RRI” Kembali

Khitah “RRI” Kembali

Indah Pudjiati  ;   Kepala Seksi Pro 4 RRI Semarang
SUARA MERDEKA, 11 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Radio Republik Indonesia atau RRI, stasiun radio yang menyandang nama negara, telah menempuh perjalanan panjang. Hampir tujuh dasa warsa lalu, ketika kita belum merdeka, para pemimpin dan pejuang menyadari betapa penting media untuk menyalurkan komunikasi yang bisa memacu semangat perjuangan, menyebarkan informasi yang mendorong terjadinya perubahan.

Media itu harus bisa menjangkau secara luas dalam waktu bersamaan dan dapat mengatasi kendala geografis, baik darat maupun laut. Media yang dipandang memenuhi syarat mengatasi kesulitan itu adalah radio. Sejak penjajahan Belanda, pejuang Indonesia dalam bidang radio menyadari pentingnya peranan media itu untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Hal itu seiring kemunculan kali pertama siaran di Indonesia pada 16 Juni 1925, yaitu Bataviase Radio Vereniging (BRV), disusul kemunculan sejumlah radio siaran swasta, khususnya di Jawa.

Semasa pendudukan Jepang, kesadaran mengenai kebangsaan makin menguat. Banyak siaran radio di Indonesia dipakai untuk propaganda politik. Namun Jepang membubarkannya, menggantinya dengan membentuk badan penyiaran radio Hoso Kanri Kyoku. Upaya itu untuk lebih mengontrol gerakan yang melawan mereka.

Ketika tekanan dari Jepang makin kuat, kebangkitan nasionalisme orang-orang radio dan seniman justru merangsang mereka untuk kreativitas berkesenian. Kebijakan Jepang yang tidak memperbolehkan radio-radio siaran di Indonesia memutar lagu-lagu Barat, malah mendorong seniman kita melahirkan karya dan pemusik baru.

Orang-orang Indonesia yang bekerja pada Hoso Kyoku secara sembunyi-sembunyi menggelorakan semangat perjuangan ke seluruh Tanah Air. Bahkan memberikan informasi penting menyangkut keberadaan Jepang di Indonesia, terutama menjelang hari-hari terakhir menjelang penyerahan kepada Sekutu.

RRI punya peran sentral dan penting dalam menginformasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 ke dunia luar. Berkat perannya, dunia mendengar kemerdekaan kita. Sejarah itu diukir angkasawan kita lewat keberanian luar biasa mengudarakan naskah proklamasi dan propaganda kemerdekaan secara terus-menerus mulai 17 Agustus 1945 pukul 19.00 WIB.

Angkasawan pelopor, Jusuf Ronodipuro, Suprapto, dan Bachtiar Lubis menyiarkan berita tentang proklamasi kemerdekaan. Tanggal 11 September 1945, lahirlah Radio Republik Indonesia atau RRI, satu-satunya radio milik pemerintah dengan fungsi dasar menyuarakan kepentingan pemerintah dan negara.

Sejarah Baru

Kendati pada zaman Orde Baru RRI bisa dikatakan jadi agen pembangunan dan memformat materi siaran guna mengakomodasi kepentingan pemerintah; pergeseran politik tahun 1998 mencatatkan sejarah baru. Angin reformasi, mau tidak mau menuntutnya untuk mengikuti pola kerja radio yang makin cepat, kreatif, dan jeli memahami selera pasar.

Lembaga penyiaran itu berpeluang keluar dari struktur dan kultur paternalistik untuk memproyeksikan diri sebagai media yang profesional dan modern. 

Pengundangan PP Nomor 12 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI, makin menguatkan tekad untuk kembali ke khitah melayani publik.
Penyelenggaraan siaran dengan program-program siaran informasi, pendidikan, budaya, dan hiburan —yang berbeda karakter dari siaran lembaga penyiaran swasta—  berjalan seiring dengan visi RRI. Visi itu, yakni sebagai radio berjaringan terluas, pembangun karakter bangsa, dan berkelas dunia.

Untuk mewujudkan visi itu, kini RRI mempunyai beberapa programa untuk  beragam segmen pendengar, antara lain Programa (Pro) 1 dengan format station ’’Pusat Pemberdayaan Masyarakat’’,  Pro 2 ’’Pusat Kreativitas Anak Muda’’, Pro 3 ’’Jaringan Berita Nasional’’, dan Pro 4 berformat ’’Pusat Kebudayaan Indonesia’’.

Dalam usia ke-69 pada 11 September 2014, RRI bersiap diri jadi ’’rumah rakyat Indonesia’’, yang bisa memenuhi ’’want’’ dan ’’need’’ masyarakat. Sekali di udara tetap di udara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar