Senin, 01 September 2014

Keluar dari Sistem Perimbangan

Keluar dari Sistem Perimbangan

Rene L Pattiradjawane  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

KETIKA ketegangan akibat sengketa wilayah silih berganti terjadi di kawasan Laut Tiongkok Selatan atau di Laut Tiongkok Timur, teringat diktum mendiang Ketua Mao Zedong, di jin wo tui, di tui wo zhui. Artinya, ’ketika musuh mengalami kemajuan, kita mundur, dan ketika musuh mundur, kita mengejar’. Kalimat ini bisa menjadi perangkat penting untuk menganalisis persoalan di kawasan yang berpotensi menjadi konflik terbuka antara Tiongkok dan Amerika Serikat sebagai kekuatan utama penyedia payung keamanan di Asia.

Kita coba memahami pendekatan Beijing terhadap Vietnam sebagai perilaku kebijakan luar negeri yang terbelah mewujudkan keteguhan klaim wilayah di Laut Tiongkok Selatan. Ketika Presiden RRT Xi Jinping bertemu Utusan Khusus Vietnam Jenderal Le Hong Anh, anggota Politbiro Sentral Komite Partai Komunis Vietnam, diktum Ketua Mao menjelaskan perbedaan pendekatan atas persoalan politik dan keamanan di kawasan Asia Pasifik.

Pertemuan ini merefleksikan jika Tiongkok dan Vietnam sepakat untuk tidak sepakat soal ketegangan akibat perebutan Kepulauan Paracel dan Spratly di Laut Tiongkok Selatan. Tiongkok juga menolak bertemu Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe terkait klaim tumpang tindih di Kepulauan Senkaku (Diaoyutai) di Laut Tiongkok Timur. Beijing pun terus menekan Filipina dan menolak berbagai gagasan peredaan ketegangan di antara kedua negara di Kepulauan Spratly.

Tiongkok terus memperlihatkan perilaku agresif di kawasan sengketa meski belum ada peluru yang ditembakkan langsung terhadap Amerika Serikat, Jepang, Vietnam, Filipina, dan negara lain, termasuk Malaysia dan Brunei. Bahkan, provokasi terhadap peta baru vertikal China di kawasan Laut Tiongkok Selatan dengan 10 garis putus-putus membuat banyak negara Asia frustrasi di tengah persoalan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Kawasan Asia Pasifik seperti keluar dari pandangan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa tentang kesetimbangan dinamis ketika Tiongkok memilih cara lain, termasuk mengubah paradigma, tak lagi mengikuti diktum politik global tentang perimbangan kekuatan (balance of power). Prof Richard Rosecrance dari Harvard Kennedy School, misalnya, berbicara tentang bangkitnya gejala kelebihan perimbangan kekuatan (emerging overbalance of power).

Dalam persaingan lingkup pengaruh dengan AS, Beijing menginginkan institusi baru menyangkut politik, keamanan, serta pengembangan institusi keuangan dan ekonomi baru. Bagi para pemimpin Beijing, menjadi kekuatan di satu lautan menghadap Pasifik menjadi dimensi penting menghadapi eksistensi AS sebagai negara dua lautan, Pasifik dan Atlantik.

Pendekatan Tiongkok-Vietnam adalah cerminan ekstensif negara yang bangkit menjadi adidaya, ingin keluar dari permainan perimbangan kekuatan sisa Perang Dingin. Tiongkok mengajukan berbagai prakarsa institusi regional dan global menggantikan lembaga-lembaga tradisional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan G-20.

Tantangan Beijing tidak sedikit, termasuk membangun aliansi yang berbeda dari apa yang selama ini dikenalkan AS dalam berbagai pakta militer dan ekonomi. Kita memahami kalau kekuatan relatif RRT secara militer dan ekonomi diwujudkan dalam perilaku kelambanan, seperti penyelesaian persoalan Laut Tiongkok Selatan dan Laut Tiongkok Timur, dalam melakukan transformasi politik regional dan global menuju sebuah kekuatan adidaya yang bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar