Restitusi
Hak Wilayah Adat
Noer Fauzi Rachman ; Direktur Sajogyo Institute
untuk Dokumentasi dan Studi Agraria; Dosen Politik dan Gerakan Agraria, Pasca
Sarjana Sosiologi Pedesaan, IPB
|
KOMPAS,
01 September 2014
SUNGGUH
merupakan suatu kejanggalan yang membangkitkan rasa ingin tahu serta penting, menarik, dan layak untuk dipahami
mengapa Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai tak mengakui keberadaan
masyarakat adat dengan segenap hak asal-usulnya?
Kejanggalan
itu tak lain karena masyarakat adat tersebut telah hadir dalam kenyataan
sejarah jauh terlebih dahulu daripada suatu organisasi kekuasaan teritorial
yang diberi nama negara nasional (bahkan sebelum negara kolonial).
Ada apa gerangan?
Almarhum
Prof Soetandyo Wignyosoebroto berusaha
menerangkan kejanggalan itu berangkat dari analisisnya mengenai praktik hukum
negara Republik Indonesia sebagai negara pasca kolonial yang membentuk
tradisi hukum nasionalnya melanjutkan cara negara kolonial mengembangkannya.
Ia mengungkap bahwa ”kalaupun terdapat
pengakuan de facto atas eksistensi
suatu masyarakat adat dengan segenap habitat alamnya, tidaklah pengakuan itu
serta-merta berarti adanya pengakuan de
jure. Ipso facto tidaklah serta-merta berarti ipso jure, yang dengan
demikian akan melahirkan secara dikotomik antara apa yang fakta dan apa yang
norma dan normatif menurut hukum negara yang berlaku…. Kekuasaan negara
kolonial hadir di kepulauan Nusantara sekalipun ada pengakuan de facto akan adanya banyaknya
masyarakat adat di negeri ini, tidaklah serta-merta berarti adanya pengakuan
formil akan eksistensi de jure masyarakat-masyarakat adat tersebut beserta
hak-haknya” (Wignyosoebroto, 1998,
”Kebijakan Negara untuk Mengakui dan Tak Mengakui Eksistensi Masyarakat Adat
Berikut Hak atas Tanahnya”, Jurnal Masyarakat Adat 01 halaman 50).
Pemerintahan
Soekarno telah mengusahakan selama 12 tahun sejak tahun 1948 mengoreksi
politik agraria kolonial itu dengan pembuatan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA). UUPA diresmikan tahun 1960 dan menjadi sumber kebijakan land reform. Pada masa akhir
kepemimpinan Soekarno ini (1962-1965), implementasi land reform itu pada
kenyataannya di lapangan mengalami kegagalan. Institusi-institusi negara baru
yang baru saja memulai pembangunannya belum cukup mampu melaksanakan apa yang diputuskan secara sentral oleh
pemerintah nasional. Harapan-harapan yang digembar-gemborkan bahwa
kemerdekaan adalah jembatan emas bagi usaha-usaha memakmurkan rakyat menjadi
kandas. Pergolakan politik nasional yang penuh dengan kekerasan mengganti
susunan elite pemerintahan nasional beserta keseluruhan dedikasi dan
orientasi pembangunannya.
Proses-proses
penguasaan negara atas wilayah adat dengan seluruh kekayaan alam di dalamnya
adalah bagian dari ”etatization
yang bergandeng erat dan susul-menyusul dengan proses positivisasi hukum.
Menghadapi proses seperti itu, masyarakat-masyarakat adat dan semua warganya
sungguh sulit bertahan dan mempertahankan eksistensinya beserta kekayaan
alamnya berdasarkan hukum dan hak-hak adatnya yang kini telah kian mengalami
pengingkaran-pengingkaran itu. Jutaan penduduk negeri—lebih-lebih lagi yang
bermukim di pelosok dan daerah pedalaman—tidak habis mengerti bagaimana
mungkin fakta penguasaan atas tanah yang telah berlangsung turun-temurun bisa
tiba-tiba saja dikalahkan oleh titel-titel yang termuat dalam
sertifikat-sertifikat yang tercipta secara in abstracto” (Wignyosoebroto, 1998:57-58).
Kronis dan meluas
Wilayah
adat itu beragam karakteristiknya di seantero kepulauan Indonesia: mulai dari
yang menempati wilayah pedesaan, pedalaman, hingga pesisir; baik di dataran
rendah maupun dataran tinggi; dalam lanskap hutan belantara hingga padang
rumput.
Kenyataan
pahit banyak dialami oleh kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat Indonesia,
termasuk ketika mereka berada di bawah rezim Orde Baru (1966-1998) hingga
masa reformasi (1998-sekarang). Sumber utama penderitaan masyarakat adat
adalah karena dimasukkannya seluruh atau sebagian dari wilayah adat ke
kawasan hutan negara. Dengan mengeluarkan berbagai lisensi konsesi untuk
ekstraksi dan produksi kayu hingga konservasi sumber daya alam dan restorasi
ekosistem, Menteri Kehutanan memberikan legalitas melalui kebijakan pemberian
lisensi untuk berbagai bentuk konsesi kehutanan yang menguasai luasan tanah
dan mengusahakan pembalakan kayu, serta penanaman pohon untuk kebutuhan
industri bubur kertas dalam skala raksasa. Perampasan tanah terjadi ketika
perusahaan-perusahaan raksasa pemegang konsesi-konsesi atau instansi pemerintah itu mengusir
rakyat dari tanah dan wilayah hidupnya, baik dengan maupun tanpa program
permukiman kembali (resettlement).
Ketika
kelompok-kelompok masyarakat adat itu
secara sporadis memprotes keabsahan lisensi-lisensi itu dan menentang
pemegang lisensi-lisensi itu mengambil alih penguasaan mereka itu, mulailah
terbentuk konflik agraria. Dalam hal ini, konflik agraria dimengerti sebagai
pertentangan klaim yang terbuka mengenai siapa yang berhak atas satu bidang
tanah/wilayah, antara kelompok rakyat dan badan-badan penguasa tanah luas,
termasuk perusahaan-perusahaan yang menguasai konsesi-konsesi kehutanan, dan
lainnya; Pihak-pihak yang bertentangan tersebut kemudian berupaya dan
bertindak, secara langsung maupun tidak, menghilangkan klaim pihak lain (Rachman 2013).
Situasi
demikianlah yang pada gilirannya menjadi sumber dari gerakan sosial yang
terkoordinasi secara nasional. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
adalah salah satu dari organisasi gerakan sosial yang terkemuka dan
mengartikulasikan secara jelas tuntutannya dalam moto: ”kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak mengakui negara”.
Penulis yang mengamati perjalanan AMAN sejak pendiriannya setahun setelah
tumbangnya rezim otoritarian di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto pada
tahun 1999 memahami bahwa perjuangan yang diusung AMAN adalah perjuangan
tanah air masyarakat adat yang digerakkan utamanya oleh perlawanan atas
perampasan wilayah adat.
Status
masyarakat hukum adat sudah demikian lama tidak diakui sebagai penyandang
hak, subyek hukum tersendiri, dan pemilik tanah-wilayah adatnya. Pandangan
hakim Mahkamah Konstitusi untuk perkara Nomor 35/PUU-X/2012 (MK 35) itu
menyebutkan bahwa dibandingkan dengan dua subyek hukum lainnya, yakni
pemerintah dan perusahaan pemegang hak
atas tanah, masyarakat hukum adat diperlakukan berbeda dan tidak secara jelas
diatur oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tentang
haknya atas tanah maupun hutan. ”(D)engan
perlakuan berbeda tersebut masyarakat hukum adat secara potensial, atau
bahkan dalam kasus-kasus tertentu secara faktual, kehilangan haknya atas
hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya, termasuk hak
tradisionalnya, sehingga masyarakat hukum adat mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan, acap kali
hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara sewenang-wenang,
sehingga tidak jarang menyebabkan terjadi konflik yang melibatkan masyarakat
dan pemegang hak” (Mahkamah
Konstitusi 2013:169).
Menuju restitusi hak
Putusan
MK 35 adalah tonggak baru dalam politik agraria Indonesia, terutama dengan
menunjukkan bagaimana Mahkamah Konstitusi mengoreksi penyalahgunaan kekuasaan
atau kesewenang-wenangan dalam membuat aturan dalam UU No 41/1999 tentang
Kehutanan yang menyangkal status masyarakat hukum adat sebagai pemilik
wilayah adatnya, penyandang hak, dan subyek hukum tersendiri. Dengan mengajukan uji materi atas UU No
41/1999 ke Mahkamah Konstitusi, AMAN dan dua komunitas anggotanya memperjuangkan
status kepemilikan wilayah adat. AMAN
sesungguhnya menggugat mekanisme kategorisasi yang diskriminatif yang menjadi
dasar dari proses perampasan wilayah adat dan berbagai bentuk ketidakadilan
lainnya yang mereka alami.
Yang
kita saksikan pasca Putusan MK 35 itu adalah jalan yang terjal dan mendaki
menuju restitusi hak dan pemulihan status masyarakat hukum adat sebagai
pemilik wilayah adatnya dalam konteks konflik-konflik agraria struktural yang
kronis serta meluas. Penulis menyimpulkan bahwa pengakuan formal atas status
masyarakat adat sebagai subyek pemangku hak, terutama berhubungan dengan hak
kepemilikan atas wilayah adat, sangat sulit untuk diwujudkan segera. Hal itu
karena komitmen politik elite parlemen dan pemerintah pusat pada akhir masa
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat lemah, dalam kondisi di
mana lembaga-lembaga negara dan kementerian serta lembaga pemerintah pusat
yang mengurus politik agraria sangat terfragmentasi.
Harapan
kita tumpukan pada pasangan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia
yang terpilih karena mereka telah menuliskan dalam visi, misi, dan program
aksinya yang telah berkomitmen untuk melindungi serta memajukan hak-hak
masyarakat adat. Dalam kebijakan perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat
adat, dengan agenda peninjauan ulang peraturan perundang-undangan, legislasi
RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat, RUU Pertanahan, RUU
Penyelesaian Konflik Agraria, dan lainnya, pembentukan komisi independen
untuk masyarakat adat, serta pembentukan desa-desa adat sebagai subyek hukum
masyarakat adat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar