Senin, 01 September 2014

Restitusi Hak Wilayah Adat

Restitusi Hak Wilayah Adat

Noer Fauzi Rachman  Direktur Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria; Dosen Politik dan Gerakan Agraria, Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan, IPB
KOMPAS, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SUNGGUH merupakan suatu kejanggalan yang membangkitkan rasa ingin tahu serta  penting, menarik, dan layak untuk dipahami mengapa Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai tak mengakui keberadaan masyarakat adat dengan segenap hak asal-usulnya?

Kejanggalan itu tak lain karena masyarakat adat tersebut telah hadir dalam kenyataan sejarah jauh terlebih dahulu daripada suatu organisasi kekuasaan teritorial yang diberi nama negara nasional (bahkan sebelum negara kolonial).

Ada apa gerangan?

Almarhum Prof Soetandyo Wignyosoebroto  berusaha menerangkan kejanggalan itu berangkat dari analisisnya mengenai praktik hukum negara Republik Indonesia sebagai negara pasca kolonial yang membentuk tradisi hukum nasionalnya melanjutkan cara negara kolonial mengembangkannya. Ia mengungkap bahwa  ”kalaupun terdapat pengakuan  de facto  atas eksistensi suatu masyarakat adat dengan segenap habitat alamnya, tidaklah pengakuan itu serta-merta berarti adanya pengakuan de jure. Ipso facto tidaklah serta-merta berarti ipso jure, yang dengan demikian akan melahirkan secara dikotomik antara apa yang fakta dan apa yang norma dan normatif menurut hukum negara yang berlaku…. Kekuasaan negara kolonial hadir di kepulauan Nusantara sekalipun ada pengakuan de facto akan adanya banyaknya masyarakat adat di negeri ini, tidaklah serta-merta berarti adanya pengakuan formil akan eksistensi de jure masyarakat-masyarakat adat tersebut beserta hak-haknya” (Wignyosoebroto, 1998, ”Kebijakan Negara untuk Mengakui dan Tak Mengakui Eksistensi Masyarakat Adat Berikut Hak atas Tanahnya”, Jurnal Masyarakat Adat 01 halaman 50).

Pemerintahan Soekarno telah mengusahakan selama 12 tahun sejak tahun 1948 mengoreksi politik agraria kolonial itu dengan pembuatan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA diresmikan tahun 1960 dan menjadi sumber kebijakan land reform. Pada masa akhir kepemimpinan Soekarno ini (1962-1965), implementasi land reform itu pada kenyataannya di lapangan mengalami kegagalan. Institusi-institusi negara baru yang baru saja memulai pembangunannya belum cukup mampu melaksanakan  apa yang diputuskan secara sentral oleh pemerintah nasional. Harapan-harapan yang digembar-gemborkan bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas bagi usaha-usaha memakmurkan rakyat menjadi kandas. Pergolakan politik nasional yang penuh dengan kekerasan mengganti susunan elite pemerintahan nasional beserta keseluruhan dedikasi dan orientasi pembangunannya.

Proses-proses penguasaan negara atas wilayah adat dengan seluruh kekayaan alam di dalamnya adalah bagian dari ”etatization yang bergandeng erat dan susul-menyusul dengan proses positivisasi hukum. Menghadapi proses seperti itu, masyarakat-masyarakat adat dan semua warganya sungguh sulit bertahan dan mempertahankan eksistensinya beserta kekayaan alamnya berdasarkan hukum dan hak-hak adatnya yang kini telah kian mengalami pengingkaran-pengingkaran itu. Jutaan penduduk negeri—lebih-lebih lagi yang bermukim di pelosok dan daerah pedalaman—tidak habis mengerti bagaimana mungkin fakta penguasaan atas tanah yang telah berlangsung turun-temurun bisa tiba-tiba saja dikalahkan oleh titel-titel yang termuat dalam sertifikat-sertifikat yang tercipta secara in abstracto” (Wignyosoebroto, 1998:57-58).

Kronis dan meluas

Wilayah adat itu beragam karakteristiknya di seantero kepulauan Indonesia: mulai dari yang menempati wilayah pedesaan, pedalaman, hingga pesisir; baik di dataran rendah maupun dataran tinggi; dalam lanskap hutan belantara hingga padang rumput.

Kenyataan pahit banyak dialami oleh kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat Indonesia, termasuk ketika mereka berada di bawah rezim Orde Baru (1966-1998) hingga masa reformasi (1998-sekarang). Sumber utama penderitaan masyarakat adat adalah karena dimasukkannya seluruh atau sebagian dari wilayah adat ke kawasan hutan negara. Dengan mengeluarkan berbagai lisensi konsesi untuk ekstraksi dan produksi kayu hingga konservasi sumber daya alam dan restorasi ekosistem, Menteri Kehutanan memberikan legalitas melalui kebijakan pemberian lisensi untuk berbagai bentuk konsesi kehutanan yang menguasai luasan tanah dan mengusahakan pembalakan kayu, serta penanaman pohon untuk kebutuhan industri bubur kertas dalam skala raksasa. Perampasan tanah terjadi ketika perusahaan-perusahaan raksasa pemegang konsesi-konsesi  atau instansi pemerintah itu mengusir rakyat dari tanah dan wilayah hidupnya, baik dengan maupun tanpa program permukiman kembali (resettlement).

Ketika kelompok-kelompok  masyarakat adat itu secara sporadis memprotes keabsahan lisensi-lisensi itu dan menentang pemegang lisensi-lisensi itu mengambil alih penguasaan mereka itu, mulailah terbentuk konflik agraria. Dalam hal ini, konflik agraria dimengerti sebagai pertentangan klaim yang terbuka mengenai siapa yang berhak atas satu bidang tanah/wilayah, antara kelompok rakyat dan badan-badan penguasa tanah luas, termasuk perusahaan-perusahaan yang menguasai konsesi-konsesi kehutanan, dan lainnya; Pihak-pihak yang bertentangan tersebut kemudian berupaya dan bertindak, secara langsung maupun tidak, menghilangkan klaim pihak lain (Rachman 2013).

Situasi demikianlah yang pada gilirannya menjadi sumber dari gerakan sosial yang terkoordinasi secara nasional. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah salah satu dari organisasi gerakan sosial yang terkemuka dan mengartikulasikan secara jelas tuntutannya dalam moto: ”kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak mengakui negara”. Penulis yang mengamati perjalanan AMAN sejak pendiriannya setahun setelah tumbangnya rezim otoritarian di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto pada tahun 1999 memahami bahwa perjuangan yang diusung AMAN adalah perjuangan tanah air masyarakat adat yang digerakkan utamanya oleh perlawanan atas perampasan wilayah adat.

Status masyarakat hukum adat sudah demikian lama tidak diakui sebagai penyandang hak, subyek hukum tersendiri, dan pemilik tanah-wilayah adatnya. Pandangan hakim Mahkamah Konstitusi untuk perkara Nomor 35/PUU-X/2012 (MK 35) itu menyebutkan bahwa dibandingkan dengan dua subyek hukum lainnya, yakni pemerintah  dan perusahaan pemegang hak atas tanah, masyarakat hukum adat diperlakukan berbeda dan tidak secara jelas diatur oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tentang haknya atas tanah maupun hutan. ”(D)engan perlakuan berbeda tersebut masyarakat hukum adat secara potensial, atau bahkan dalam kasus-kasus tertentu secara faktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya, sehingga masyarakat hukum adat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan, acap kali hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara sewenang-wenang, sehingga tidak jarang menyebabkan terjadi konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak” (Mahkamah Konstitusi 2013:169).

Menuju restitusi hak

Putusan MK 35 adalah tonggak baru dalam politik agraria Indonesia, terutama dengan menunjukkan bagaimana Mahkamah Konstitusi mengoreksi penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan dalam membuat aturan dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan yang menyangkal status masyarakat hukum adat sebagai pemilik wilayah adatnya, penyandang hak, dan subyek hukum tersendiri.  Dengan mengajukan uji materi atas UU No 41/1999 ke Mahkamah Konstitusi, AMAN dan dua komunitas anggotanya memperjuangkan status kepemilikan  wilayah adat. AMAN sesungguhnya menggugat mekanisme kategorisasi yang diskriminatif yang menjadi dasar dari proses perampasan wilayah adat dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya yang mereka alami.

Yang kita saksikan pasca Putusan MK 35 itu adalah jalan yang terjal dan mendaki menuju restitusi hak dan pemulihan status masyarakat hukum adat sebagai pemilik wilayah adatnya dalam konteks konflik-konflik agraria struktural yang kronis serta meluas. Penulis menyimpulkan bahwa pengakuan formal atas status masyarakat adat sebagai subyek pemangku hak, terutama berhubungan dengan hak kepemilikan atas wilayah adat, sangat sulit untuk diwujudkan segera. Hal itu karena komitmen politik elite parlemen dan pemerintah pusat pada akhir masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat lemah, dalam kondisi di mana lembaga-lembaga negara dan kementerian serta lembaga pemerintah pusat yang mengurus politik agraria sangat terfragmentasi.

Harapan kita tumpukan pada pasangan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang terpilih karena mereka telah menuliskan dalam visi, misi, dan program aksinya yang telah berkomitmen untuk melindungi serta memajukan hak-hak masyarakat adat. Dalam kebijakan perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat, dengan agenda peninjauan ulang peraturan perundang-undangan, legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat, RUU Pertanahan, RUU Penyelesaian Konflik Agraria, dan lainnya, pembentukan komisi independen untuk masyarakat adat, serta pembentukan desa-desa adat sebagai subyek hukum masyarakat adat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar