Rabu, 24 September 2014

Kebebasan Beragama, Harapan kepada Pemimpin Baru

Kebebasan Beragama, Harapan kepada Pemimpin Baru

Benny Susetyo ;   Pemerhati Masalah Sosial
SINAR HARAPAN, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pemimpin baru selalu diharapkan membawa angin segar perubahan ke arah lebih baik. Salah satunya dalam hal kebebasan beragama/berkeyakinan. Apalagi, ini merupakan hak yang dijamin secara tegas oleh konstitusi.

Kenyataannya, selama ini sekalipun sudah dijamin secara jelas, pelaksanaan di lapangan masih sering tidak konsisten. Berbagai pelanggaran masih sering terjadi dan cenderung meningkat. Bahkan, dalam 10 tahun terakhir, kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan berada pada situasi sangat rentan.

Berbagai pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang dilaporkan berbagai organisasi masyarakat sipil cenderung tidak mengalami penurunan yang berarti.

Beberapa faktor yang cukup signifikan yang menyebabkannya, di antaranya adalah rendahnya toleransi masyarakat, pembiaran oleh aktor negara, pengelolaan kehidupan agama berdasarkan produk hukum diskriminatif, serta impunitas pelaku kekerasan.

Hukum di lapangan tumpul dalam menghadapi pemelanggar. Justru makin banyak korban berjatuhan dan makin melengkapi situasi kondisi kebebasan beragama yang memburuk.

Kepada pemimpin baru diingatkan bahwa problem kehidupan beragama di Indonesia masih cukup banyak, setiap saat muncul problem berbeda. Untuk menjalankan kehidupan beragama secara bersama-sama antarpemeluk dengan semangat toleransi tinggi masih menghadapi tantangan yang tidak kecil.

Toleransi Terancam

Walaupun wacana pluralisme dan toleransi antaragama ini sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, praktiknya tidak semudah yang dipikirkan dan dibicarakan.

Meski sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan bersama, pandangan atas “agamaku”, “keyakinanku” justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.

Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Berbagai pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi sangat tampak di permukaan. Serangkaian perusakan, kekerasan, dan penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap “sesat” dan kelompok agama lain terjadi dan kerap dipertontonkan kepada publik.

Sebagian besar pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan pelakunya adalah negara (commission). Itu misalnya dalam bentuk pembatasan, penangkapan, penahanan, dan vonis atas mereka yang dianggap sesat.

Hal yang termasuk dalam tindakan langsung ini adalah dukungan dan pembenaran otoritas negara atas penyesatan terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu. Tindakan pelanggaran lainnya terjadi karena negara melakukan pembiaran (ommision) terhadap tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan warga atau kelompok.

Berbagai laporan yang dikeluarkan menunjukkan, eskalasi kekerasan berbasis agama yang terjadi mengandung destruksi sangat serius dan mengkhawatirkan.

Kegagalan Negara

Penyerahan otoritas negara kepada organisasi keagamaan korporatis negara dalam menilai sebuah ajaran agama dan kepercayaan, merupakan bentuk ketidakmampuan negara untuk berdiri di atas hukum dan bersikap netral atas setiap agama dan keyakinan.

Aparat hukum bertindak di atas dan berdasarkan pada fatwa agama tertentu dan penghakiman massa. Padahal, institusi penegak hukum adalah institusi negara yang seharusnya bekerja dan bertindak berdasarkan konstitusi dan undang-undang.

Dapat dilihat di sini negara telah gagal mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara, bahkan telah bertindak sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akibat tindakannya yang melarang aliran keagamaan dan keyakinan dan membiarkan warga/organisasi keagamaan melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan.

Di sini kita melihat banyak kontradiksi. Dalam konstitusi yang lebih tinggi, kebebasan umat beragama dan melakukan ibadah dijamin. Namun, dalam peraturan di bawahnya terdapat kecenderungan menghambat umat untuk beribadah. Ada pengekangan.

Misalnya dalam konteks rumah ibadah, itu bukanlah soal bagaimana suatu rumah ibadah diserbu bahkan dibakar sekelompok orang yang menjadi persoalan utama. Itu sekadar akibat saja. Jauh lebih penting dipikirkan adalah bagaimana peran pemerintah menjadi mediator, perumus dan pelaksana kebijakan-kebijakan yang mengatur pendirian rumah ibadah.

SKB yang menjadi dasar aturan itu terkesan tidak adil. Dengan demikian, pelaksanaannya melahirkan dampak umat yang tidak dewasa memandang umat lain. Bukan umat beragama yang serta-merta dipersalahkan dalam kasus ini, melainkan ketidakmampuan pemerintah untuk melihat pluralitas dengan kacamata lebih adil dan menguntungkan bagi semua.

Negara gagal memberikan perlindungan dan kesempatan yang adil bagi semua pemeluk agama untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing.

Jika demikian, lalu untuk apa Pancasila? Apakah untuk gagah-gagahan saja? Untuk apa para founding father merumuskan falsafah bangsa yang demikian berharga dan terhormat itu, jika dalam perilaku sehari-hari kita tidak bisa mempraktikkannya dengan sepenuh hati?

Buka Ruang Dialog

Walaupun kehidupan sosial politik kita sudah mengalami kebebasan, nyatanya itu belum berimplikasi pada kebebasan asasi warga untuk beribadah. Beribadah, seperti kata Romo Magnis, adalah hak warga paling asasi, dan hanya rezim komunis yang melarangnya. Rezim seperti apakah kita ini ketika membiarkan kekerasan dalam beragama tanpa adanya ruang dialog untuk membicarakan ulang secaralebih manusiawi?

Pemerintah berkewajiban untuk menjaga, melestarikan, dan meningkatkan kesadaran dan kedewasaan umat terutama dalam pandangannya terhadap umat dan keyakinan beragama yang dianggap lain. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan pencerahan dan pendewasaan pemikiran umat akan toleransi dan pluralisme.

Itulah yang dikehendaki Pancasila. Dengan begitu, kebijakan yang berpeluang untuk menumbuhsuburkan antipati terhadap saudara sebangsanya yang lain perlu, didudukkan ulang untuk dibahas dan diganti dengan kebijakan yang lebih adil dan mencerahkan. Buat apa mempertahankan sesuatu yang dianggap tidak adil?

Pemerintah baru dan kepemimpinan baru harus mendengar dan benar-benar mendengar tuntutan seperti ini.

Kekerasan telah menjadi model yang sering dibungkus ornamen keagamaan dan kesukuan. Inilah yang membuat wajah kekerasan semakin hari semakin subur di bumi pertiwi ini.

Meski kita seharusnya merajut nilai persaudaraan yang secara jelas mengacu pada Pancasila, kian hari Pancasila tidak lagi menjadi tujuan hidup bersama. Pancasila yang seharusnya menjadi perekat kehidupan bangsa tampak semakin hari semakin terkikis kefasikan keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan. Pancasila sering diucapkan tapi sama sekali tak dipahami maknanya.

Pancasila tidak dijadikan pembatinan nilai kehidupan bersama untuk mewujudkan bangsa yang beradab. Peradaban bangsa yang diukur dengan komitmen warga untuk mewujudkan nilai kemanusiaan dan keadilan tidak pernah berhasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar