Rabu, 24 September 2014

Revolusi Mental dan Pluralitas Bangsa

Revolusi Mental dan Pluralitas Bangsa

Thomas Koten ;   Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Tema yang masih tetap seksi dalam diskursus publik pasca-Pilpres 2014 adalah isi kampanye kepresidenan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) tentang gagasan revolusi mental. Sebuah materi kampanye yang dapat menjadi landasan ideologi kerja bagi pemimpin baru republik untuk merumuskan platform pemerintahan dengan segala kerangka kerjanya. Saat bangsa didera beribu masalah yang bersumber dari perilaku manusia Indonesia yang buruk, seperti suap dan korupsi, kampanye revolusi mental sungguh membangkitkan kesadaran kita tentang betapa pentingnya perubahan mental masyarakat.

Bangkitnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya revolusi mental membuat tema nan seksi ini terus meruyak dan tidak henti-hentinya menjadi sumber elaborasi para pengamat. Apakah pemerintahan Jokowi-JK sanggup mengimplementasikan gagasan itu ke dalam agenda pemerintah yang jelas dan program kerja yang nyata untuk mengubah wajah bangsa ini? Sulit menjawabnya di tengah terus disergapnya masalah yang bertautan dengan pluralitas bangsa. Namun, toh itu semua harus dikerjakan untuk mentransformasikan Indonesia menuju bangsa yang berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Sebagaimana visi misi Trisakti Bung Karno yang dihidupkan Jokowi.

Mulai dari Budaya

Sepanjang sejarah pergulatan manusia dalam kehidupannya selalu bersentuhan dengan kebudayaan. Itu karena antara manusia dan kebudayaan selalu tumbuh dan berkembang secara bersamaan.

Oleh akal budi manusia, kebudayaan pun tumbuh dan berkembang sesuai apa yang dikatakan filsuf Hannah Arendt, tentang Via Activa—dalam The Human Condition—yaitu kerja, karya, dan tindakan manusia dalam menunjukkan eksistensi dan identitas dirinya pada masyarakat plural.

Ketika negara didirikan, kemudian mendapat legitimasi dalam mengatur kehidupan warga, kebudayaan pun diambil alih untuk kepentingan negara dan kehidupan para warga. Dalam tataran inilah Bung Karno mengartikan kebudayaan sebagai wahana terbentuknya karakter bangsa.

Bung Karno menggemakan sebuah cita-cita agung untuk memajukan Indonesia sebagai negara yang besar, kuat, dan disegani dunia internasional. Cita-cita tersebut dibangun di atas tiga pilar utama, yang dikenal dengan Trisakti, yaitu kedaulatan secara politik, kemandirian secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Cita-cita tersebut sudah mulai berhasil diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat.

Secara politik, Indonesia memiliki kedaulatan yang tidak bisa dirongrong ideologi politik asing. Secara ekonomi, tidak mau didikte kekuatan investasi asing atau utang. Indonesia dibangkitkan semangatnya untuk membangun negerinya dengan kucuran keringatnya sendiri. Secara kebudayaan, Indonesia mulai dibangkitkan semangatnya untuk mencintai kebudayaan yang beranekaragam.

Sayangnya, semua cita-cita agung Soekarno itu ditinggalkan dan di balik arah oleh rezim Soeharto. Kedaulatan politik memang dibuat semakin kokoh oleh rezim Soeharto. Namun, di bidang ekonomi, Soekarno yang anti-asing berubah menjadi pro modal asing oleh Soeharto. Soekarno yang gigih tidak mau mengemis dana asing, Soeharto malah membawa bangsa ini hidup di atas utang dan dana investasi.

Oleh karena ekonomi dijadikan panglima oleh rezim Soeharto, kebudayaan pun dijadikan sebagai komoditas atau aset yang harus dimanfaatkan bagi keuntungan finansial negara. Industrialisasi budaya pun hadir dengan wajah pariwisata dan pengembangan dunia hiburan.

Semua tata kelola politik, ekonomi, dan kebudayaan yang dilakukan Orde Baru semakin ditingkatkan rezim yang muncul di era Reformasi.

Semua pemerintahan di era Reformasi tidak lebih sebagai kaki tangan dari rezim Orde Baru. Lalu, mau apa Jokowi-JK dengan wacana revolusi mental dalam semangat mengangkat isu Trisakti gagasan Bung Karno yang agung itu. Apakah Trisakti akan dijalankan secara konsisten?

Tentu kita harapkan ada konsistensi Jokowi-JK dalam mewujudkan janji kampanyenya dalam kaitannya dengan gagasan Trisakti.

Terutama dalam hal pengembangan kepribadian dalam kebudayaan di atas kerangka “revolusi mental”. Revolusi mental—menyutir Indra Trenggono—adalah perubahan radikal dan mendasar atas mindset, pandangan hidup, dan jiwa yang melahirkan kesadaran etik dan moral. Kesadaran etik membawa bangsa pada perilaku yang memuliakan nilai, norma, dan hukum.

Kesadaran etos membawa baik budaya ide (ilmu, pengetahuan) budaya ekspresi (seni dan nonseni) maupun budaya material.

Dalam konteks revolusi mental, adalah bagaimana bangsa ini dibawa kepada perubahan mentalitas yang mencerahkan, dari yang buruk kepada yang baik sesuai etika dan moralitas dalam tata kehidupan masyarakat. Karena menyangkut mentalitas, ia berkaitan erat dengan budaya. Jadi, menurut Yudi Latif, revolusi mental mesti berkisar cita penguatan mentalitas budaya kemandirian, mentalitas budaya gotong royong, dan mentalitas budaya pelayanan.

Pentingnya mentalitas budaya “kemandirian” berangkat dari asumsi bahwa secara kultural—sebab utama yang membuat manusia—bangsa Indonesia tidak berdikari dalam ekonomi, berdaulatan dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan adalah manusia bangsa Indonesia secara umum tidak bisa menghargai dirinya sendiri dan orang lain, sulit menerima kelebihan dan kelemahan orang lain, kurang percaya diri, dan lemah kepribadian. Sederhananya, manusia Indonesia tidak memiliki mentalitas kemandirian dan kepribadian yang kuat.

Untuk Bangsa Plural

Persoalan kini, bagaimana merevolusi mental dan kepribadian yang lemah ini menjadi bangsa yang kuat. Kekuatan sebuah bangsa terletak pada kepribadian masyarakatnya yang memiliki kemandirian. Kemandirian masyarakat cermin kekuatan karakternya. Masyarakat yang memiliki karakter yang kuat akan memiliki kepribadian yang terpuji. Kepribadian bangsa yang terpuji tercermin dari perilakunya yang gemar bergotong royong, pandai menghargai orang lain, serta ikhlas menerima kelebihan dan kekurangan orang lain.

Dengan demikian, akan terbentuklah bangsa yang berkepribadian dan berkarakter yang kuat. Bangsa yang besar, kuat, dan disegani bangsa-bangsa lain bukan hanya karena kemajuan ekonomi dan politiknya, melainkan dari kepemilikan kepribadian dan karakter yang kuat itu.

Bagi sebuah bangsa yang majemuk, kepribadian dan karakter yang kuat adalah landasan dan pilar utama kekuatannya. Kepribadian yang goyah dan karakter yang rapuh akan menjadi sumber kehancuran bagi sebuah masyarakat yang majemuk. Karena di sana, toleransi digeser intoleransi. Saling percaya diganti saling curiga. Keyakinan di balik menjadi keraguan.

Jadi, revolusi mental manusia dalam masyarakat plural harus diarahkan dan dititikberatkan pada perubahan mentalitas masyarakat yang berkepribadian nan pluralistik. Masyarakat yang berkepribadian nan pluralistik adalah yang memiliki sikap toleransi yang tinggi, saling menghormati, saling menghargai, tidak gampang curiga, menerima kelebihan atau kekurangan orang atau kelompok lain yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan.

Dengan demikian, revolusi mental memiliki makna, bukan sebaliknya sekadar wacana yang menghiasi dinding kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar