Revolusi
Mental dan Pluralitas Bangsa
Thomas Koten ; Direktur
Social Development Center
|
SINAR
HARAPAN, 23 September 2014
Tema yang
masih tetap seksi dalam diskursus publik pasca-Pilpres 2014 adalah isi
kampanye kepresidenan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) tentang gagasan revolusi
mental. Sebuah materi kampanye yang dapat menjadi landasan ideologi kerja
bagi pemimpin baru republik untuk merumuskan platform pemerintahan dengan
segala kerangka kerjanya. Saat bangsa didera beribu masalah yang bersumber
dari perilaku manusia Indonesia yang buruk, seperti suap dan korupsi,
kampanye revolusi mental sungguh membangkitkan kesadaran kita tentang betapa
pentingnya perubahan mental masyarakat.
Bangkitnya
kesadaran masyarakat tentang pentingnya revolusi mental membuat tema nan
seksi ini terus meruyak dan tidak henti-hentinya menjadi sumber elaborasi
para pengamat. Apakah pemerintahan Jokowi-JK sanggup mengimplementasikan
gagasan itu ke dalam agenda pemerintah yang jelas dan program kerja yang
nyata untuk mengubah wajah bangsa ini? Sulit menjawabnya di tengah terus
disergapnya masalah yang bertautan dengan pluralitas bangsa. Namun, toh itu
semua harus dikerjakan untuk mentransformasikan Indonesia menuju bangsa yang
berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam
kebudayaan. Sebagaimana visi misi Trisakti Bung Karno yang dihidupkan Jokowi.
Mulai dari Budaya
Sepanjang sejarah
pergulatan manusia dalam kehidupannya selalu bersentuhan dengan kebudayaan.
Itu karena antara manusia dan kebudayaan selalu tumbuh dan berkembang secara
bersamaan.
Oleh akal budi
manusia, kebudayaan pun tumbuh dan berkembang sesuai apa yang dikatakan
filsuf Hannah Arendt, tentang Via
Activa—dalam The Human Condition—yaitu
kerja, karya, dan tindakan manusia dalam menunjukkan eksistensi dan identitas
dirinya pada masyarakat plural.
Ketika negara
didirikan, kemudian mendapat legitimasi dalam mengatur kehidupan warga,
kebudayaan pun diambil alih untuk kepentingan negara dan kehidupan para
warga. Dalam tataran inilah Bung Karno mengartikan kebudayaan sebagai wahana
terbentuknya karakter bangsa.
Bung Karno
menggemakan sebuah cita-cita agung untuk memajukan Indonesia sebagai negara
yang besar, kuat, dan disegani dunia internasional. Cita-cita tersebut
dibangun di atas tiga pilar utama, yang dikenal dengan Trisakti, yaitu
kedaulatan secara politik, kemandirian secara ekonomi, dan berkepribadian
dalam kebudayaan. Cita-cita tersebut sudah mulai berhasil diimplementasikan
dalam kehidupan masyarakat.
Secara
politik, Indonesia memiliki kedaulatan yang tidak bisa dirongrong ideologi
politik asing. Secara ekonomi, tidak mau didikte kekuatan investasi asing
atau utang. Indonesia dibangkitkan semangatnya untuk membangun negerinya
dengan kucuran keringatnya sendiri. Secara kebudayaan, Indonesia mulai
dibangkitkan semangatnya untuk mencintai kebudayaan yang beranekaragam.
Sayangnya,
semua cita-cita agung Soekarno itu ditinggalkan dan di balik arah oleh rezim
Soeharto. Kedaulatan politik memang dibuat semakin kokoh oleh rezim Soeharto.
Namun, di bidang ekonomi, Soekarno yang anti-asing berubah menjadi pro modal
asing oleh Soeharto. Soekarno yang gigih tidak mau mengemis dana asing,
Soeharto malah membawa bangsa ini hidup di atas utang dan dana investasi.
Oleh karena
ekonomi dijadikan panglima oleh rezim Soeharto, kebudayaan pun dijadikan
sebagai komoditas atau aset yang harus dimanfaatkan bagi keuntungan finansial
negara. Industrialisasi budaya pun hadir dengan wajah pariwisata dan
pengembangan dunia hiburan.
Semua tata
kelola politik, ekonomi, dan kebudayaan yang dilakukan Orde Baru semakin
ditingkatkan rezim yang muncul di era Reformasi.
Semua
pemerintahan di era Reformasi tidak lebih sebagai kaki tangan dari rezim Orde
Baru. Lalu, mau apa Jokowi-JK dengan wacana revolusi mental dalam semangat
mengangkat isu Trisakti gagasan Bung Karno yang agung itu. Apakah Trisakti
akan dijalankan secara konsisten?
Tentu kita
harapkan ada konsistensi Jokowi-JK dalam mewujudkan janji kampanyenya dalam
kaitannya dengan gagasan Trisakti.
Terutama dalam
hal pengembangan kepribadian dalam kebudayaan di atas kerangka “revolusi
mental”. Revolusi mental—menyutir Indra Trenggono—adalah perubahan radikal
dan mendasar atas mindset, pandangan hidup, dan jiwa yang melahirkan kesadaran
etik dan moral. Kesadaran etik membawa bangsa pada perilaku yang memuliakan
nilai, norma, dan hukum.
Kesadaran etos
membawa baik budaya ide (ilmu, pengetahuan) budaya ekspresi (seni dan
nonseni) maupun budaya material.
Dalam konteks
revolusi mental, adalah bagaimana bangsa ini dibawa kepada perubahan
mentalitas yang mencerahkan, dari yang buruk kepada yang baik sesuai etika
dan moralitas dalam tata kehidupan masyarakat. Karena menyangkut mentalitas,
ia berkaitan erat dengan budaya. Jadi, menurut Yudi Latif, revolusi mental
mesti berkisar cita penguatan mentalitas budaya kemandirian, mentalitas
budaya gotong royong, dan mentalitas budaya pelayanan.
Pentingnya
mentalitas budaya “kemandirian” berangkat dari asumsi bahwa secara
kultural—sebab utama yang membuat manusia—bangsa Indonesia tidak berdikari
dalam ekonomi, berdaulatan dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan
adalah manusia bangsa Indonesia secara umum tidak bisa menghargai dirinya
sendiri dan orang lain, sulit menerima kelebihan dan kelemahan orang lain,
kurang percaya diri, dan lemah kepribadian. Sederhananya, manusia Indonesia
tidak memiliki mentalitas kemandirian dan kepribadian yang kuat.
Untuk Bangsa Plural
Persoalan
kini, bagaimana merevolusi mental dan kepribadian yang lemah ini menjadi
bangsa yang kuat. Kekuatan sebuah bangsa terletak pada kepribadian
masyarakatnya yang memiliki kemandirian. Kemandirian masyarakat cermin
kekuatan karakternya. Masyarakat yang memiliki karakter yang kuat akan
memiliki kepribadian yang terpuji. Kepribadian bangsa yang terpuji tercermin
dari perilakunya yang gemar bergotong royong, pandai menghargai orang lain,
serta ikhlas menerima kelebihan dan kekurangan orang lain.
Dengan
demikian, akan terbentuklah bangsa yang berkepribadian dan berkarakter yang
kuat. Bangsa yang besar, kuat, dan disegani bangsa-bangsa lain bukan hanya
karena kemajuan ekonomi dan politiknya, melainkan dari kepemilikan
kepribadian dan karakter yang kuat itu.
Bagi sebuah
bangsa yang majemuk, kepribadian dan karakter yang kuat adalah landasan dan
pilar utama kekuatannya. Kepribadian yang goyah dan karakter yang rapuh akan
menjadi sumber kehancuran bagi sebuah masyarakat yang majemuk. Karena di
sana, toleransi digeser intoleransi. Saling percaya diganti saling curiga.
Keyakinan di balik menjadi keraguan.
Jadi, revolusi
mental manusia dalam masyarakat plural harus diarahkan dan dititikberatkan
pada perubahan mentalitas masyarakat yang berkepribadian nan pluralistik.
Masyarakat yang berkepribadian nan pluralistik adalah yang memiliki sikap
toleransi yang tinggi, saling menghormati, saling menghargai, tidak gampang
curiga, menerima kelebihan atau kekurangan orang atau kelompok lain yang
berbeda suku, agama, ras, dan golongan.
Dengan
demikian, revolusi mental memiliki makna, bukan sebaliknya sekadar wacana
yang menghiasi dinding kosong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar