Senin, 22 September 2014

Jangan Ambil Hak Rakyat

Jangan Ambil Hak Rakyat

Bustami Zainudin  ;   Bupati Way Kanan, Lampung
REPUBLIKA, 20 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Keinginan para anggota DPR untuk mengesahkan RUU Pilkada perihal kepala daerah dipilih oleh DPRD atas usulan rancangan dari pemerintah, seketika mengentak panggung politik negeri ini. Belum lagi rakyat reda mengikuti perhelatan pilpres dengan segala dinamikanya, kini negeri ini kembali dihadapkan pada fenomena kontradiktif pilkada langsung oleh rakyat atau dipilih DPRD.

Tampaknya, kini hampir semua kalangan masyarakat ingin ambil bagian dalam isu hangat ini. Bahkan, peristiwa penyampaian aspirasi oleh para gubernur, bupati, dan wali kota dengan "berdemo" menjadi fragmen unik bangsa ini.

Aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan unjuk rasa menolak RUU Pilkada tidak langsung di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/9).

Selama ini, justru para kepala daerahlah yang selalu menerima aksi demo dari masyarakat. Kini, merekalah yang bereaksi keras terhadap gagasan untuk mengembalikan pilkada pada DPRD karena dinilai sebagai langkah mundur bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.

Pengembalian pilkada melalui DPRD menabrak konstitusi, yakni kedaulatan rakyat yang memperoleh strata tertinggi dalam sistem demokrasi negeri ini.

Terlepas apa pun yang menjadi latar belakang politis diusulkannya kembali pilkada yang dipilih oleh DPRD, tapi penulis mencoba menyampaikan refleksi kegelisahan sebagai pelaku langsung mekanisme pilkada. Pilkada langsung mungkin saja belum maksimal menghasilkan pemimpin yang berkualitas seperti keinginan rakyat. Namun, jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, artinya rakyat tidak ada kewenangan lagi menentukan hak-hak politiknya. Walau DPR juga dipilih oleh rakyat, tak ada lagi pendidikan po litik yang diberikan untuk rakyat jika RUU Pilkada dipilih langsung oleh DPRD.

Selama ini, pilkada langsung membuat rakyat mengerti arti makna demokrasi rakyat Indonesia, menentukan dan berperan langsung dalam pesta demokrasi memilih menentukan sendiri pemimpin yang menurutnya layak dan berintegritas. Jika RUU ini disahkan, justru akan melukai makna demokrasi.

Saya berharap kepada anggota DPR sebelum RUU ini disahkan, mohon dipertimbangkan dulu aspirasi yang disampaikan rakyat bahwa rakyat Indonesia menginginkan pilkada langsung.

Selama ini, pilkada langsung sudah menemukan arah yang lebih baik meskipun masih memiliki sejumlah kelemahan. Mengubah model pilkada dipilih oleh DPRD bukan solusi terbaik, ini sudah jelas mundur ke belakang. Bukan sistem dan mekanismenya yang diubah, yang harus diperbaiki adalah prosedur penyelenggaraan yang mungkin masih perlu diperbaiki secara komprehensif.

Yang utama adalah hak rakyat yang dirampas. Jelas ini kemunduran demokrasi. RUU Pilkada itu hanya kepentingan elite politik. Wajib hukumnya kita menolak disahkannya RUU Pilkada.RUU ini haruslah prorakyat sebagai pemilik saham terbesar negeri ini.

Argumen pelaksanaan pilkada langsung yang telah mengakibatkan politik biaya tinggi sangat dapat diperdebatkan dan perlu ada kalkulasi secara menyeluruh, argumentatif, serta transparan. Kini, jika dibalik, apakah pilkada melalui DPRD dapat menjamin politik biaya ren dah dan menghasilkan kualitas pemimpin yang diinginkan rakyat!Rasanya, kini rakyat sudah punya jawaban pasti terkait hal itu. Kemudian, alasan lain yang mengemuka bahwa pilkada langsung selama 10 tahun ini memiliki tingkat kerawanan sosial tinggi berupa konflik horizontal juga bisa diperdebatkan.

Memang benar kontestasi politik harus diimplementasikan secara damai sebagai hal penting bagi kelangsungan kehidupan demokrasi di suatu negara. Namun, hal itu tidak lantas diartikan dengan meniadakan sama sekali potensi konflik horizontal.

Hal paling penting yang harus dipahami bukan bagaimana cara memusnahkan konflik, melainkan bagaimana cara mengelola konflik itu. Konflik sebagai konsekuensi gesekan kepentingan dalam kontestasi politik bukanlah hal tabu. Yang terpenting bagaimana konflik itu dituntaskan secara terlembaga, tidak melalui cara-cara kekerasan.

Singkat kata, high cost politics dan konflik horizontal tidak bisa dijadikan justifikasi untuk mengembalikan mekanisme pilkada melalui DPRD. Konflik horizontal dan high cost politics sangat tidak sebanding dengan risiko pelaksanaan pilkada tidak langsung berupa terpilihnya kepala daerah yang minim track record, tidak mumpuni, serta tidak memenuhi ekspektasi publik dan tidak dikenal oleh rakyatnya sendiri.

Kita jangan terjebak pada fenomena debat kusir antara pendukung pilkada langsung atau lewat DPRD seperti kehilangan substansi. Argumentasi yang dilontarkan belum menyentuh akar persoalan, yakni kegagalan pemerintah dan partai politik melakukan pendidikan politik kepada kader dan rakyat. Bukan berkutat pada alasan biaya yang mahal, terjadi kerusuhan, dan sebagainya.

Mekanisme pilkada secara langsung merupakan salah satu bentuk pengejawantahan dari penghormatan tertinggi terhadap kedaulatan rakyat. Selain itu, pengembalian pilkada melalui DPRD tidak sejalan dengan agenda besar demokrasi Indonesia berupa penguatan sistem presidensial di tingkat nasional maupun lokal.

Dalam literatur-literatur ilmu sudah sering kali dikemukakan oleh para ahli bahwa demokrasi bukanlah sistem politik dan pemerintahan yang sempurna. Meskipun demikian, demokrasi menurut para pakar ilmu adalah sistem pemerintahan yang terbaik dibandingkan sis tem-sistem yang lain (monarki, aristokrasi, otokrasi, plutokrasi, gerontokrasi, dan lain-lain).

Artinya, sistem demokrasi tidak tanpa cacat. Implikasinya, pemerintah negara manapun yang menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya harus mampu mengantisipasi dan meminimalkan eksesekses negatif dari demokrasi.
                                                                               
Jangan sampai pilkada menjadi sebuah problem menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia yang memang sedang dalam masa transisi. Yang terpenting saat ini, pemerintah harus dapat menjamin ada peningkatan kualitas demokrasi, kualitas pemimpin daerah, dan mengeliminasi semua fenomena implikasi negatif yang dapat menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemimpin dan sistem pemerintahan yang berlaku.

Pilkada harus dapat menjamin rak yat Indonesia tidak terpuruk ke lubang yang sama. Gubernur dan wali kota/bupati yang terpilih harus mengutamakan prog ram kesejahteraan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Para wakil rakyat yang di Senayan jikalau masih ragu-ragu akan RUU Pilkada ini, penulis menyarankan tak ada salahnya istikharah karena ini bukan persoalan sederhana, melainkan persoalan hajat hidup orang banyak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar