Jangan
Ambil Hak Rakyat
Bustami Zainudin ;
Bupati
Way Kanan, Lampung
|
REPUBLIKA,
20 September 2014
Keinginan para anggota DPR untuk
mengesahkan RUU Pilkada perihal kepala daerah dipilih oleh DPRD atas usulan
rancangan dari pemerintah, seketika mengentak panggung politik negeri ini.
Belum lagi rakyat reda mengikuti perhelatan pilpres dengan segala
dinamikanya, kini negeri ini kembali dihadapkan pada fenomena kontradiktif
pilkada langsung oleh rakyat atau dipilih DPRD.
Tampaknya, kini hampir semua kalangan
masyarakat ingin ambil bagian dalam isu hangat ini. Bahkan, peristiwa
penyampaian aspirasi oleh para gubernur, bupati, dan wali kota dengan
"berdemo" menjadi fragmen unik bangsa ini.
Aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada
melakukan unjuk rasa menolak RUU Pilkada tidak langsung di depan Istana
Merdeka, Jakarta, Selasa (16/9).
Selama ini, justru para kepala daerahlah
yang selalu menerima aksi demo dari masyarakat. Kini, merekalah yang bereaksi
keras terhadap gagasan untuk mengembalikan pilkada pada DPRD karena dinilai
sebagai langkah mundur bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.
Pengembalian pilkada melalui DPRD menabrak
konstitusi, yakni kedaulatan rakyat yang memperoleh strata tertinggi dalam
sistem demokrasi negeri ini.
Terlepas apa pun yang menjadi latar
belakang politis diusulkannya kembali pilkada yang dipilih oleh DPRD, tapi
penulis mencoba menyampaikan refleksi kegelisahan sebagai pelaku langsung
mekanisme pilkada. Pilkada langsung mungkin saja belum maksimal menghasilkan
pemimpin yang berkualitas seperti keinginan rakyat. Namun, jika kepala daerah
dipilih oleh DPRD, artinya rakyat tidak ada kewenangan lagi menentukan
hak-hak politiknya. Walau DPR juga dipilih oleh rakyat, tak ada lagi
pendidikan po litik yang diberikan untuk rakyat jika RUU Pilkada dipilih
langsung oleh DPRD.
Selama ini, pilkada langsung membuat rakyat
mengerti arti makna demokrasi rakyat Indonesia, menentukan dan berperan
langsung dalam pesta demokrasi memilih menentukan sendiri pemimpin yang
menurutnya layak dan berintegritas. Jika RUU ini disahkan, justru akan
melukai makna demokrasi.
Saya berharap kepada anggota DPR sebelum
RUU ini disahkan, mohon dipertimbangkan dulu aspirasi yang disampaikan rakyat
bahwa rakyat Indonesia menginginkan pilkada langsung.
Selama ini, pilkada langsung sudah
menemukan arah yang lebih baik meskipun masih memiliki sejumlah kelemahan. Mengubah
model pilkada dipilih oleh DPRD bukan solusi terbaik, ini sudah jelas mundur
ke belakang. Bukan sistem dan mekanismenya yang diubah, yang harus diperbaiki
adalah prosedur penyelenggaraan yang mungkin masih perlu diperbaiki secara
komprehensif.
Yang utama adalah hak rakyat yang dirampas.
Jelas ini kemunduran demokrasi. RUU Pilkada itu hanya kepentingan elite
politik. Wajib hukumnya kita menolak disahkannya RUU Pilkada.RUU ini haruslah
prorakyat sebagai pemilik saham terbesar negeri ini.
Argumen pelaksanaan pilkada langsung yang
telah mengakibatkan politik biaya tinggi sangat dapat diperdebatkan dan perlu
ada kalkulasi secara menyeluruh, argumentatif, serta transparan. Kini, jika
dibalik, apakah pilkada melalui DPRD dapat menjamin politik biaya ren dah dan
menghasilkan kualitas pemimpin yang diinginkan rakyat!Rasanya, kini rakyat sudah
punya jawaban pasti terkait hal itu. Kemudian, alasan lain yang mengemuka
bahwa pilkada langsung selama 10 tahun ini memiliki tingkat kerawanan sosial
tinggi berupa konflik horizontal juga bisa diperdebatkan.
Memang benar kontestasi politik harus diimplementasikan
secara damai sebagai hal penting bagi kelangsungan kehidupan demokrasi di
suatu negara. Namun, hal itu tidak lantas diartikan dengan meniadakan sama
sekali potensi konflik horizontal.
Hal paling penting yang harus dipahami
bukan bagaimana cara memusnahkan konflik, melainkan bagaimana cara mengelola
konflik itu. Konflik sebagai konsekuensi gesekan kepentingan dalam kontestasi
politik bukanlah hal tabu. Yang terpenting bagaimana konflik itu dituntaskan
secara terlembaga, tidak melalui cara-cara kekerasan.
Singkat kata, high cost politics dan konflik horizontal tidak bisa dijadikan
justifikasi untuk mengembalikan mekanisme pilkada melalui DPRD. Konflik
horizontal dan high cost politics
sangat tidak sebanding dengan risiko pelaksanaan pilkada tidak langsung
berupa terpilihnya kepala daerah yang minim track record, tidak mumpuni, serta tidak memenuhi ekspektasi
publik dan tidak dikenal oleh rakyatnya sendiri.
Kita jangan terjebak pada fenomena debat
kusir antara pendukung pilkada langsung atau lewat DPRD seperti kehilangan
substansi. Argumentasi yang dilontarkan belum menyentuh akar persoalan, yakni
kegagalan pemerintah dan partai politik melakukan pendidikan politik kepada
kader dan rakyat. Bukan berkutat pada alasan biaya yang mahal, terjadi kerusuhan,
dan sebagainya.
Mekanisme pilkada secara langsung merupakan
salah satu bentuk pengejawantahan dari penghormatan tertinggi terhadap
kedaulatan rakyat. Selain itu, pengembalian pilkada melalui DPRD tidak
sejalan dengan agenda besar demokrasi Indonesia berupa penguatan sistem
presidensial di tingkat nasional maupun lokal.
Dalam literatur-literatur ilmu sudah sering
kali dikemukakan oleh para ahli bahwa demokrasi bukanlah sistem politik dan
pemerintahan yang sempurna. Meskipun demikian, demokrasi menurut para pakar
ilmu adalah sistem pemerintahan yang terbaik dibandingkan sis tem-sistem yang
lain (monarki, aristokrasi, otokrasi, plutokrasi, gerontokrasi, dan
lain-lain).
Artinya, sistem demokrasi tidak tanpa
cacat. Implikasinya, pemerintah negara manapun yang menerapkan demokrasi
dalam sistem politiknya harus mampu mengantisipasi dan meminimalkan
eksesekses negatif dari demokrasi.
Jangan sampai pilkada menjadi sebuah
problem menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia yang memang sedang dalam
masa transisi. Yang terpenting saat ini, pemerintah harus dapat menjamin ada
peningkatan kualitas demokrasi, kualitas pemimpin daerah, dan mengeliminasi
semua fenomena implikasi negatif yang dapat menurunkan kepercayaan rakyat
terhadap pemimpin dan sistem pemerintahan yang berlaku.
Pilkada harus dapat menjamin rak yat
Indonesia tidak terpuruk ke lubang yang sama. Gubernur dan wali kota/bupati
yang terpilih harus mengutamakan prog ram kesejahteraan yang adil dan merata
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Para wakil rakyat yang di Senayan jikalau
masih ragu-ragu akan RUU Pilkada ini, penulis menyarankan tak ada salahnya istikharah karena ini bukan persoalan
sederhana, melainkan persoalan hajat hidup orang banyak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar