Senin, 22 September 2014

Pariwisata dan Kekuatan Baru

Pariwisata dan Kekuatan Baru

Iqbal Alan Abdullah  ;   Ketua Umum DPP Indonesia Congress and Convention Association (INCCA), Anggota Komisi V DPR
REPUBLIKA, 20 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Belum lama ini, Pemerintah Thailand mengeluarkan kebijakan bebas visa bagi wisatawan asal Cina dan Taiwan. Lama waktu kunjungan tiga bulan. Thailand juga mengizinkan perpanjangan hingga 30 hari untuk tinggal bagi wisatawan asal 48 negara.

Pada saat yang nyaris bersamaan, Tourism Authority of Thailand (TAT) menyediakan asuransi khusus "Thailand Travel Shield" yang bekerja sama dengan empat perusahaan asuransi. Asuransi ini membantu wisatawan karena asuransi perjalanan mereka tidak mengcoverganti rugi terkait darurat militer dan kerusuhan sipil. Thailand menjadikan pariwisata sebagai faktor ekonomi utama yang berkontribusi langsung pada 10 persen GDP-nya.

Saya mengapresiasi otoritas pariwisata Thailand menghadapi ancaman kisruh politik. Tahun lalu, ketika konflik politik, kunjungan wisatawan mencapai ang ka tertinggi, yakni 26,7 juta. Padahal, Malaysia 18,7 juta, Singapura 14 juta, Indonesia 8,8 juta, dan Vietnam 7,5 juta.

Pariwisata butuh sensitivitas, cepat bertindak dan berbuat untuk memperbaiki keadaan, serta bekerja fo kus pada target. Malangnya, kita hampir tidak menemukan langkah cepat otoritas pariwisata kita ketika menghadapi penurunan kunjungan wisatawan asal Jepang ke Bali beberapa tahun belakangan.

Mengapa Bali dan Lombok yang jika digabung luas daerahnya hampir mirip Hawaii hanya bisa menerima 4,6 juta wisman (Bali 3,27 juta, Lombok 1,3 juta pada 2013)? Sedangkan, Hawaii bisa 8,3 juta pada tahun yang sama.

Atau jika kunjungan wisatawan internasional ke Jakarta 2,3 juta orang pada 2013, sementara Bangkok 15,98 juta orang pada tahun yang sama. Ini menjadikan Bangkok kota ibu kota yang terbanyak dikunjungi wisatawan internasional menurut data Mastercard Global Destination Cities Index melampaui London (15,96 juta), Paris (13,92 juta), Singapura (11,75 juta), New York (11,52 juta), Istanbul (10,37 juta), Dubai (9,89 juta), dan Kuala Lumpur (9,20 juta).

Optimalisasi penerimaan wisatawan masih sangat terbuka. Dengan ekstensifikasi ke dua destinasi baru di timur dan barat Indonesia, plus model pe masaran wisata yang fokus pada orientasi pasar utama, akan mendorong pertumbuhan semakin kuat. Hanya saja, kita perlu energi baru, strategi baru, dan sensitivitas menghadapi permasalahan.

Kita ingin menjadikan pariwisata sebagai ujung tombak pencapaian target pembangunan sesuai visi, misi, dan program kerja Jokowi-JK, mewujudkan pariwisata yang berdaya saing dan berkontribusi pada penguatan daya saing nasional di tingkat regional (ASEAN), Asia, dan global; peningkatan signifikan wisatawan mancanegara dan wisnus hingga 2020, berkontribusi pada perubah an mentalitas pelayanan (revolusi mental); menjadikan pariwisata sebagai arus utama mendorong cinta Tanah Air, berkepribadian dalam kebudayaan, dan arus utama mendorong nilai-nilai Indone sia ke tingkat global, antara lain, pening katan dunia usaha pariwisata Indonesia menjadi pemain global.

Kita juga butuh kebijakan propasar dan sekaligus prodestinasi. Dua penekanan khusus, yakni kebijakan visa kunjungan dan upaya memperkuat local contentdalam industri pariwisata.

Pertama, soal visa. Ini penting karena dalam konteks penerimaan devisa negara dan mendorong multiplier effect ekonomi pariwisata. Jika penghapusan biaya fiskal ke luar negeri bukan sesuatu yang patut disesali lagi sekarang karena hilangnya penerimaan negara Rp 1,2 triliun, yang terjadi kita mengubah kebijakan visa kunjungan ke model visa on arrival(VoA) dengan memungut 35 dolar AS untuk kunjungan 30 hari.

Selama 2013, misalnya, penerimaan VoA di Bali 62,7 juta dolar AS atau ratarata 5,2 juta dolar AS per bulan. Meski begitu, pada saat kita membuka pintu, orang-orang Indonesia bepergian ke luar negeri, saat bersamaan kita membuat banyak kesulitan bagi pemasukan devisa lebih besar melalui kunjungan wisman karena kebijakan VoA tadi.

Kita terlalu rewel dengan urusan 35 dolar AS, sementara kita pun menghilangkan potensi ribuan dolar AS devisa seorang wisatawan jika berkunjung ke Indonesia. Apalagi, selama ini model VoA itu sudah banyak dikeluhkan wisatawan. Perlu ada kebijakan strategis untuk memperlonggar kebijakan visa, terutama bagi negara target utama pariwi sata, seperti Cina dan Jepang.

Kedua, soal local content. Menjadikan industri pariwisata bagian dari pemberdayaan industri dan perdagangan nasional dan daerah. Bukan hanya pembangunan infrastruktur akomodasi, misalnya, produk impor bahan bangunan dan jasa, melainkan juga terkait makanan dan minuman lokal.

Kita membuat regulasi yang memungkinkan penggunaan produk lokal lebih besar di semua subsektor pariwisata, baik itu perhotelan, restoran, transportasi, telekomunikasi dan informasi, MICE, dan lainnya. Kita melihat potensi terangkatnya kualitas produk pertanian, peternakan, dan perikanan.

Investasi yang meningkat pada sektor perhotelan dan restoran, menjadi momentum kebangkitan sektor produksi pertanian, peternakan, dan perikanan.

Termasuk industri kreatif yang berbasis pada kearifan atau kekayaan lokal yang begitu banyak di berbagai daerah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar