Pariwisata
dan Kekuatan Baru
Iqbal Alan Abdullah ;
Ketua
Umum DPP Indonesia Congress and Convention Association (INCCA), Anggota
Komisi V DPR
|
REPUBLIKA,
20 September 2014
Belum lama ini, Pemerintah Thailand
mengeluarkan kebijakan bebas visa bagi wisatawan asal Cina dan Taiwan. Lama
waktu kunjungan tiga bulan. Thailand juga mengizinkan perpanjangan hingga 30
hari untuk tinggal bagi wisatawan asal 48 negara.
Pada saat yang nyaris bersamaan, Tourism Authority of Thailand (TAT)
menyediakan asuransi khusus "Thailand
Travel Shield" yang bekerja sama dengan empat perusahaan asuransi.
Asuransi ini membantu wisatawan karena asuransi perjalanan mereka tidak
mengcoverganti rugi terkait darurat militer dan kerusuhan sipil. Thailand
menjadikan pariwisata sebagai faktor ekonomi utama yang berkontribusi
langsung pada 10 persen GDP-nya.
Saya mengapresiasi otoritas pariwisata
Thailand menghadapi ancaman kisruh politik. Tahun lalu, ketika konflik politik,
kunjungan wisatawan mencapai ang ka tertinggi, yakni 26,7 juta. Padahal, Malaysia
18,7 juta, Singapura 14 juta, Indonesia 8,8 juta, dan Vietnam 7,5 juta.
Pariwisata butuh sensitivitas, cepat
bertindak dan berbuat untuk memperbaiki keadaan, serta bekerja fo kus pada
target. Malangnya, kita hampir tidak menemukan langkah cepat otoritas
pariwisata kita ketika menghadapi penurunan kunjungan wisatawan asal Jepang
ke Bali beberapa tahun belakangan.
Mengapa Bali dan Lombok yang jika digabung
luas daerahnya hampir mirip Hawaii hanya bisa menerima 4,6 juta wisman (Bali
3,27 juta, Lombok 1,3 juta pada 2013)? Sedangkan, Hawaii bisa 8,3 juta pada
tahun yang sama.
Atau jika kunjungan wisatawan internasional
ke Jakarta 2,3 juta orang pada 2013, sementara Bangkok 15,98 juta orang pada
tahun yang sama. Ini menjadikan Bangkok kota ibu kota yang terbanyak
dikunjungi wisatawan internasional menurut data Mastercard Global Destination
Cities Index melampaui London (15,96 juta), Paris (13,92 juta), Singapura
(11,75 juta), New York (11,52 juta), Istanbul (10,37 juta), Dubai (9,89
juta), dan Kuala Lumpur (9,20 juta).
Optimalisasi penerimaan wisatawan masih
sangat terbuka. Dengan ekstensifikasi ke dua destinasi baru di timur dan
barat Indonesia, plus model pe masaran wisata yang fokus pada orientasi pasar
utama, akan mendorong pertumbuhan semakin kuat. Hanya saja, kita perlu energi
baru, strategi baru, dan sensitivitas menghadapi permasalahan.
Kita ingin menjadikan pariwisata sebagai
ujung tombak pencapaian target pembangunan sesuai visi, misi, dan program
kerja Jokowi-JK, mewujudkan pariwisata yang berdaya saing dan berkontribusi
pada penguatan daya saing nasional di tingkat regional (ASEAN), Asia, dan
global; peningkatan signifikan wisatawan mancanegara dan wisnus hingga 2020,
berkontribusi pada perubah an mentalitas pelayanan (revolusi mental);
menjadikan pariwisata sebagai arus utama mendorong cinta Tanah Air,
berkepribadian dalam kebudayaan, dan arus utama mendorong nilai-nilai Indone
sia ke tingkat global, antara lain, pening katan dunia usaha pariwisata
Indonesia menjadi pemain global.
Kita juga butuh kebijakan propasar dan
sekaligus prodestinasi. Dua penekanan khusus, yakni kebijakan visa kunjungan
dan upaya memperkuat local contentdalam industri pariwisata.
Pertama, soal visa. Ini penting karena
dalam konteks penerimaan devisa negara dan mendorong multiplier effect
ekonomi pariwisata. Jika penghapusan biaya fiskal ke luar negeri bukan
sesuatu yang patut disesali lagi sekarang karena hilangnya penerimaan negara
Rp 1,2 triliun, yang terjadi kita mengubah kebijakan visa kunjungan ke model
visa on arrival(VoA) dengan memungut 35 dolar AS untuk kunjungan 30 hari.
Selama 2013, misalnya, penerimaan VoA di
Bali 62,7 juta dolar AS atau ratarata 5,2 juta dolar AS per bulan. Meski
begitu, pada saat kita membuka pintu, orang-orang Indonesia bepergian ke luar
negeri, saat bersamaan kita membuat banyak kesulitan bagi pemasukan devisa
lebih besar melalui kunjungan wisman karena kebijakan VoA tadi.
Kita terlalu rewel dengan urusan 35 dolar AS, sementara kita pun menghilangkan
potensi ribuan dolar AS devisa seorang wisatawan jika berkunjung ke
Indonesia. Apalagi, selama ini model VoA itu sudah banyak dikeluhkan
wisatawan. Perlu ada kebijakan strategis untuk memperlonggar kebijakan visa,
terutama bagi negara target utama pariwi sata, seperti Cina dan Jepang.
Kedua, soal local content. Menjadikan
industri pariwisata bagian dari pemberdayaan industri dan perdagangan
nasional dan daerah. Bukan hanya pembangunan infrastruktur akomodasi, misalnya,
produk impor bahan bangunan dan jasa, melainkan juga terkait makanan dan
minuman lokal.
Kita membuat regulasi yang memungkinkan
penggunaan produk lokal lebih besar di semua subsektor pariwisata, baik itu
perhotelan, restoran, transportasi, telekomunikasi dan informasi, MICE, dan
lainnya. Kita melihat potensi terangkatnya kualitas produk pertanian,
peternakan, dan perikanan.
Investasi yang meningkat pada sektor
perhotelan dan restoran, menjadi momentum kebangkitan sektor produksi
pertanian, peternakan, dan perikanan.
Termasuk industri kreatif yang berbasis
pada kearifan atau kekayaan lokal yang begitu banyak di berbagai daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar