Sabtu, 13 September 2014

Gagasan Pilkada DPRD dan Makna UUD 1945

Gagasan Pilkada DPRD dan Makna UUD 1945

Sulardi  ;   Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah, Malang
SINAR HARAPAN, 12 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

“Pilkada oleh DPRD kangkangi kedaulatan rakyat”. Demikian judul berita yang diwartakan Sinar Harapan edisi Sabtu/Minggu 6-7 September 2014.

Judul berita itu menarik perhatian. Ini karena sebelum terselenggaranya pemilihan presiden 9 Juli 2014, RUU Pilkada mengarah kepada keinginan untuk mempertahankan pilkada kabupaten/kota dipilih secara langsung. Namun, kini yang berkembang di DPR periode 2009-2014 pada masa akhir jabatannya adalah pilkada di kota/kabupaten dilakukan DPRD.

Perubahan arah ini tentu saja sangat mengejutkan bagi penggiat demokrasi dan bagi perkembangan demokrasi di Tanah Air. Mesti dipahami, penyelenggaraan pilkada berdasar pada Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Gubernur, bupati, wali kota dipilih secara demokratis”.

Terhadap ketentuan ini, kemudian di-breakdown ke dalam Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang pemerintah daerah menjadi “pemilihan kepala daerah yang kemudian disebut gubernur, bupati, dan wali kota sepenuhnya menjadi kewenangan DPRD. Pemerintah pusat hanya melantik dan mengesahkan hasil pemilihan kepala daerah yang sepenuhnya dilakukan DPRD.

Berdasar UU Nomor 22/1999, sesungguhnya telah terjadi kemajuan berarti dalam hal pemilihan kepala daerah, yang semula sentralistik menjadi desentralisasi oleh DPRD. Namun, pergeseran dari sentralistik ke desentralisasi ini belum memberikan jaminan pelaksanaan pemilihan kepala daerah akan berjalan lebih baik.

Justru berdasar UU ini, pelaksanaan pemilihan kepala daerah banyak terjadi masalah serius; antara lain terjadinya distorsi antara siapa yang diinginkan rakyat, dengan apa yang menjadi pilihan anggota-anggota DPRD. Hal tersebut terjadi karena masih kuatnya dominasi pemimpin partai politik (DPP), yang memberikan restu kepada calon yang boleh diajukan dalam arena pemilihan kepala daerah.

Dalam hal ini, DPP partai politik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah turut menentukan siapa yang akan dicalonkan dan yang akan dipilih. Sayangnya, anggota DPRD lebih mendengarkan suara elite politik di partainya, ketimbang suara rakyat yang diwakilinya. Juga terjadi politik uang, pada proses pendaftaran hingga pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD, mengingat yang menentukan siapa yang diterima dan tidak sebagai bakal calon adalah fraksi-fraksi di DPRD.

Beberapa masalah itulah, kemudian digagas pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Ini dikonkretkan dengan terbitnya UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.

Perubahan hukum pilkada terjadi pada cara memilih kepala daerah. Semula pilkada dilakukan atas dasar pencalonan fraksi-fraksi di DPRD dan dipilih anggota-anggota DPRD, menjadi dicalonkan partai politik yang memperoleh suara 15 persen dari jumlah kursi DPRD, kemudian dipilih secara langsung rakyat.

Dominasi pemerintah pusat memang berkurang, namun semangat sentralistik masih terasa. Hal itu masih dirasakan melalui cara cara partai politik mengajukan calon gubenur, bupati, atau wali kota, yang menggunakan cara restu-restuan dari DPP partai politik yang berkantor di Jakarta.

Harus dipahami juga, jika gagasan ini disetujiui DPR dan disahkan presiden, akan terjadi perubahan konsekuensi pertanggungjawaban. Jika bupati/wali kota dipilih rakyat, bupati/wali kota bertanggung Jawab kepada rakyat. Jika dipilih DPRD, bupati/wali kota bertanggung jawab kepada DPRD.

Pengalaman tahun tahun lalu, ketika bupati/wali kota dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD, mereka cukup repot menghadapi manuver politik dari anggota DPRD saat menyampakain laporan pertanggungjawaban per tahunnya. Tentu saja hal ini cukup mengganggu jalannya pemerintahan.

Selain itu, pemilihan pilkada oleh DPRD mengandung beberapa kelemahan, terjadi ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan antara kepala daerah selaku penyelenggara kekuasaan eksekutif dan DPRD sebagai lembaga legislatif.

Dapat dipastikan akan terjadi model pemerintahan yang berbentuk legislative heavy, karena kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya, yakni DPRD. Jika ini yang terjadi, justru bertolak belakang dengan gagasan demokratisasi yang menghendaki adanya check and balances berbasis trias politica.

Kepala daerah akan diperlakukan sebagai “bawahan” dan dipermainkan DPRD, jika tidak mengakomodasi kepentingan politik dari anggota Dewan Perwakilan Daerah. Kondisi ini akan mempersempit kebebasan kepala daerah dalam berinovasi membangun daerahnya.

Makna Pasal 18 (4)
Merujuk dua ketentuan yang termuat dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 56 Ayat (1) UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, tidak ditemukan satu kata pun bahwa pilkada diselenggarakan secara langsung. Hal yang diketemukan adalah kata dipilih secara demokratis.

Dengan demikian, perlu dikupas lebih jauh makna kata demokratis. Demokratis bisa dimaknai demokrasi secara langsung, demokrasi secara perwakilan, atau bahkan secara progresif. Dapat diartikan disetujui seluruh rakyat secara aklamasi pun merupakan cara yang tidak kurang nilai demokratisnya.

Secara demikian, pemilihan gubernur/wali kota dan bupati, yang sejak berlakunya UU Nomor 32/2004 diselenggarakan secara langsung saja, bisa dilakukan dengan tiga cara; demokrasi perwakilan oleh DPRD, demokrasi secara langsung oleh rakyat, atau secara aklamasi. Khusus untuk pemilihan gubernur bisa dengan alternatif gubernur dipilih anggota DPRD Provinsi dan oleh anggota anggota DPRD Kota/Kabupaten dalam wilayah Provinsi, namun pertanggungjawaban tetap pada rakyat.

Dengan demikian, gagasan ini bisa dijadikan jalan lain antara pemilihan gubernur oleh DPRD dan secara langsung oleh rakyat atau secara penetapan oleh DPRD, (contoh gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta). Cara-cara tersebut tidak melampaui makna dipilih secara demokratis. Ini tidak melanggar ketentuan yang termuat dalam UUD 1945.

Untuk menentukan pilihan apakah dilakukan secara langsung, dipilih DPRD atau penetapan DPRD dikembalikan kepada kemauan dan kesiapan daerah masing-masing. Selama ini pilkada yang diselenggarakan langsung sudah berjalan baik. Hal yang masih berujung konflik masif, perlu dipikirkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Pemerintah daerah bersama DPRD dan segenap komponen masyarakat, diberi kebebasan penuh untuk menentukan apakah penyelenggaraan pilkada dilakukan secara langsung, perwakilan atau penetapan oleh DPRD. Pemilihan gubernur bisa dilakukan dengan cara alternatif, yaitu dipilih anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD kota/kabupaten dalam wilayah provinsi setempat.

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang berdasar pada kemauan dan kesiapan masing-masing daerah, dapat dipastikan penyelenggaraan pilkada akan dapat berlangsung lebih khidmat dan tidak kehilangan nilai nilai demokrasinya. Sekarang tinggal daerah mana yang mencoba pilkada sesuai kodisi masyarakat setempat. Pada hakikatnya, rakyat Indonesia menghormati dan menghargai keanekaragaman, termasuk dalam hal berdemokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar