Sabtu, 13 September 2014

Polri Maju Bersama Masyarakat

Polri Maju Bersama Masyarakat

Asril Sutan Marajo  ;   Ketua Jogja Police Watch (JPW),
Mantan wartawan Suara Merdeka
SUARA MERDEKA, 13 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

HARIAN ini (SM, 6/9/14) memuat dua artikel menarik berjudul ’’ Keberanian Rudy Soik’’ yang ditulis Herie Purwanto, dan satunya bertajuk ’’Memotivasi Anggota Polisi’’ yang ditulis Arman Asmara.

Menjadi menarik karena penulis dua artikel itu adalah perwira polisi. Tulisan pertama menggambarkan keberanian seorang brigadir mengadukan atasannya ke Komnas HAM tentang dugaan penyimpangan di lingkungan kerjanya.

Adapun artikel kedua membahas arti pentingnya motivasi dari atasan untuk anggota Polri pada semua tingkatan. Dengan lebih memahami peran dan tanggung jawab masing-masing, upaya itu diyakini bisa menyenangkan hati anggota sehingga mereka ikhlas melaksanakan tugas. Tulisan itu sepatutnya dipahami semua pimpinan Polri, supaya tak tidak terjadi kasus semisal yang menimpa Rudy Soik.

Rudy yang berpangkat ’’hanya’’ brigadir, tampak sangat memahami Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi. Pasal 7 Ayat (3) regulasi itu mengatur kewajiban anggota Polri yang berkedudukan sebagai bawahan. Salah satunya (Huruf c) menyebutkan tentang hak dan kewajiban untuk menolak perintah atasan bila bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan.

Sebaliknya terhadap atasan justru berlaku ketentuan sesuai Pasal 7 ayat sebelumnya (2). Huruf a regulasi yang sama mengatur bahwa tiap anggota Polri yang berkedudukan sebagai atasan wajib menunjukkan kepemimpinan yang melayani (servant leadership), keteladanan, menjadi konsultan yang dapat menyelesaikan masalah (solutif), dan menjamin kualitas kinerja bawahan dan kesatuan (quality assurance).

Bahkan atasan wajib menindaklanjuti dan menyelesaikan hambatan tugas, yang dilaporkan oleh bawahan sesuai tingkat kewenangannya dan segera menyelesaikan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh bawahan. Rudy Soik ’’beruntung’’ karena mendapat dukungan dari Kapolri Jenderal Sutarman yang langsung memerintah gelar perkara atas kasus itu dengan seterang-terangnya.

Lain halnya yang dialami anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Prof Dr Adrianus Meliala SH yang dilaporkan Kapolri Jenderal Sutarman ke Bareskrim dengan anggapan mencemarkan institusi. Dalam tayangan Metrotv 18 Agustus 2014, Adrianus menyatakan pendapatnya terkait operasi tangkap tangan tim Polda Jabar terhadap dua perwira polda. Dua perwira itu diduga menerima suap dari bandar judi online masing-masing Rp 5 miliar dan Rp 370 juta.

Menurut Adrianus, hal itu bisa terjadi karena Reserse Kriminal (Reskrim) Polri harus punya banyak uang (ibarat ATM) untuk berbagai keperluan, baik pribadi (naik pangkat/jabatan, pindah tugas) maupun institusional. Sesuai Pasal 38 Ayat 2 Huruf c tentang kewenangannya, Kompolnas menerima saran/keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya ke presiden.

Terlebih Adrianus seorang Guru Besar Ilmu Kriminologi sehingga mestinya banyak tahu dan mendengar cerita miring mengenai hal itu.

Minta Maaf

Disharmoni itu berakhir setelah Adrianus bersedia mencabut pernyataan dan meminta maaf. Adapun Sutarman bertindak seperti itu karena pernyataan Adrianus dianggap merugikan, berisiko melahirkan distrust (ketidakpercayaan) terhadap korps Bhayangkara. Kepada wartawan di Jakarta pada Jumat (29/8) ia mengatakan mendapat dukungan Menkopolhukam Djoko Suyanto.

Benarkan Djoko yang juga Ketua Kompolnas menyatakan dukungannya? Tapi lebih lanjut Sutarman mengatakan, Djoko tak memberikan komentar. Sebagai orang Sukoharjo, mestinya Sutarman tanggap lan sasmita atas tidak ’’diamnya’’ Djoko. Tak mungkin ia mengatakan ’’jangan’’ hanya karena Adrianus adalah anggota Kompolnas, institusi yang dipimpinnya.

Hal yang sama tapi tak serupa pernah terjadi pada era Kapolri (waktu itu) Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Dia yang kerap disebut BHD tahun 2010 berang kepada Tempo atas pemuatan laporan ’’Rekening Tambun Perwira Polisi’’. Cover depan majalah edisi 28 Juni-4 Juli 2010 bergambar polisi menggiring tiga babi, sedangkan isi laporan itu menyangkut rekening jumbo para jenderal polisi dan indikasi nilai rekening yang mengundang pertanyaan publik.

Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat. Faktor-faktor itu bahkan jadi salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional. Capaian itu ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman.

Karena itu, andai pimpinan Polri sekelas atasan Rudy Soik atau bahkan Kapolri Sutarman cepat marah, bagaimana bisa mengharap terciptanya komunikasi baik dengan masyarakat. Jangan-jangan publik lebih memilih diam ketimbang nanti ’’berurusan’’ dengan polisi. Namun mereka terus mencatat semua hal negatif menyangkut polisi sehingga Polri sulit maju dan berkembang bersama masyarakat.

>�a>@� �� p class=MsoNormal style='margin:0cm;margin-bottom:.0001pt;line-height:150%; background:white'> 

Dengan demikian, perlu dikupas lebih jauh makna kata demokratis. Demokratis bisa dimaknai demokrasi secara langsung, demokrasi secara perwakilan, atau bahkan secara progresif. Dapat diartikan disetujui seluruh rakyat secara aklamasi pun merupakan cara yang tidak kurang nilai demokratisnya.

Secara demikian, pemilihan gubernur/wali kota dan bupati, yang sejak berlakunya UU Nomor 32/2004 diselenggarakan secara langsung saja, bisa dilakukan dengan tiga cara; demokrasi perwakilan oleh DPRD, demokrasi secara langsung oleh rakyat, atau secara aklamasi. Khusus untuk pemilihan gubernur bisa dengan alternatif gubernur dipilih anggota DPRD Provinsi dan oleh anggota anggota DPRD Kota/Kabupaten dalam wilayah Provinsi, namun pertanggungjawaban tetap pada rakyat.

Dengan demikian, gagasan ini bisa dijadikan jalan lain antara pemilihan gubernur oleh DPRD dan secara langsung oleh rakyat atau secara penetapan oleh DPRD, (contoh gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta). Cara-cara tersebut tidak melampaui makna dipilih secara demokratis. Ini tidak melanggar ketentuan yang termuat dalam UUD 1945.

Untuk menentukan pilihan apakah dilakukan secara langsung, dipilih DPRD atau penetapan DPRD dikembalikan kepada kemauan dan kesiapan daerah masing-masing. Selama ini pilkada yang diselenggarakan langsung sudah berjalan baik. Hal yang masih berujung konflik masif, perlu dipikirkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Pemerintah daerah bersama DPRD dan segenap komponen masyarakat, diberi kebebasan penuh untuk menentukan apakah penyelenggaraan pilkada dilakukan secara langsung, perwakilan atau penetapan oleh DPRD. Pemilihan gubernur bisa dilakukan dengan cara alternatif, yaitu dipilih anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD kota/kabupaten dalam wilayah provinsi setempat.

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang berdasar pada kemauan dan kesiapan masing-masing daerah, dapat dipastikan penyelenggaraan pilkada akan dapat berlangsung lebih khidmat dan tidak kehilangan nilai nilai demokrasinya. Sekarang tinggal daerah mana yang mencoba pilkada sesuai kodisi masyarakat setempat. Pada hakikatnya, rakyat Indonesia menghormati dan menghargai keanekaragaman, termasuk dalam hal berdemokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar