Cak
Nur dan Islam yang Modern dan Indonesiawi
Ulil Abshar-Abdalla ; Cendekiawan
Muslim
|
SATU
HARAPAN, 04 September 2014
Jumat
(29/8) lalu diperingati sebagai haul (perayaan tahunan untuk mengenang
kematian) Cak Nur yang ke-9. Perayaan haul itu diselenggarakan dengan
sederhana, tetapi “gayeng” dan khidmat, di Wisma Antara di kawasan Kebun
Sirih, Jakarta Pusat.
Dalam
esei pendek ini, saya ingin mengajak Anda mengingat kembali sosok Cak Nur,
gagasan-gagasannya, cita-citanya untuk Indonesia, dan ide-idenya tentang
bagaimana peran yang semestinya dimainkan oleh Islam di zaman modern.
Sebagaimana
Gus Dur, Cak Nur adalah sosok penting yang perlu kita ingat terus.
Gagasan-gagasan mereka perlu kita rawat dan kembangkan lebih jauh. Indonesia
ditegakkan bukan semata-mata oleh infrastruktur material seperti jalan-raya,
jembatan, dan pelabuhan, melainkan juga oleh gagasan-gagasan besar yang
dicetuskan oleh mereka yang bergerak di wilayah ide seperti Gus Dur dan Cak
Nur.
Mereka
ini adalah “conceptual engineer”,
insinyur gagasan yang kedudukannya tak kalah penting, jika malah tidak lebih
penting dari “civil engineer”, insinyur sipil yang biasanya berurusan dengan
konstruksi bangunan.
Saya
tahu apa yang saya tulis ini mungkin mengulang-ngulang kembali hal-hal yang
sudah banyak diketahui oleh pembaca. Tetapi menyatakan kembali hal-hal yang
sudah diketahui tetaplah penting. Restatement sama pentingnya dengan
statement. Menyatakan kembali dapat menyegarkan ingatan kita, mendorong kita
untuk rehat sejenak dari kerutinan dan memikirkan hal-hal yang tak rutin.
Derutinisasi adalah tindakan penting agar secara mental kita tetap “fit and
fresh”.
Ada
banyak gagasan Cak Nur yang pantas kita kenang. Saya tak mungkin mengulas
semuanya di sini. Saya hanya akan mengambil beberapa ide pokok Cak Nur yang
patut kita nyatakan kembali dalam konteks keadaan yang sedang kita hadapi
sekarang.
Keindonesiaan dan
Kemodernan
Salah
satu agasan penting Cak Nur adalah menafsirkan Islam secara modern dan
“nyambung” dengan konteks Indonesia. Dua istilah ini menjadi kata kunci
gagasan Cak Nur: keindonesiaan dan kemoderenan.
Menjadi
Muslim tok, dalam pengertian mengimani Islam sebagai jalan hidup yang
sempurna, belum cukup. Ada hal lain yang juga penting, yaitu menafsirkan
Islam itu agar relevan dengan dua konteks sekaligus: konteks dunia modern, dan konteks
Indonesia.
Kemungkinan
adanya kontradiksi antara Islam dengan kemoderenan dan keindonesiaan jelas
bisa terjadi, dan sudah berkali-kali berlangsung dalam sejarah negeri kita.
Kontradiksi semacam ini sama sekali tak menguntungkan masa depan kita sebagai
bangsa.
Tentu
saja, yang saya maksud di sini bukanlah Islam per se, tetapi tafsiran atas
Islam oleh golongan tertentu di dalamnya. Kemungkinan terjadinya konflik dan
kontradiksi antara tafsiran tertentu tentang Islam dan kemoderenan jelas bisa
terjadi. Contoh-contoh mengenai ini sangatlah banyak. Dalam sejarah Islam
modern, kita kerap berjumpa dengan golongan tertentu yang memiliki
tafsiran-tafsiran yang “kontradiktif” terhadap kemoderenan dan keindonesiaan.
Contoh terbaik ialah kelompok yang menamakan dirinya Hizbut Tahrir. Kelompok
ini beranggapan bahwa ide nasionalisme dan negara bangsa (nation state)
bertentangan dengan ajaran Islam. Ide itu, menurut mereka, datang dari luar
dan sama sekali tak sesuai dengan doktrin Islam mengenai bentuk kekuasaan
politik. Karena itu harus ditolak.
Tafsiran
yang kontradiktif semacam ini jelas kurang menguntungkan bagi umat Islam.
Tafsiran ini hanyalah menempatkan umat
Islam pada posisi yang “konfrontatif” terhadap kemoderenan, dan menghalangi umat untuk mendapatkan
manfaat/maslahat darinya. Padahal salah satu ajaran penting Islam ialah
anjuran agar umat Islam mengambil “kebijaksanaan” (hikmah/wisdom) dari manapun sumbernya: baik
sumber Islam atau non-Islam. Menolak kemoderenan hanya semata-mata karena ia
tak berasal dari dalam Islam sendiri adalah sikap yang sama sekali tak
Islami.
Konsekuensi Tauhid
Gagasan
penting Cak Nur yang lain ialah tentang de-sakralisasi. Ide ini sederhana
sekali, tetapi dampaknya sangat penting karena bisa menimbulkan –jika boleh
memakai istilah Jokowi—“revolusi mental”. De-sakralisasi artinya tak
menyakralkan hal-hal yang sifatnya duniawi. Dalam setiap agama, memang selalu
ada godaan untuk melakukan “sakralisasi” atau penyucian atas dunia dalam
kadar yang kerap melewati batas. Hal-hal yang sifatnya duniawi belaka
kemudian diberikan sungkup atau baju kesucian sehingga tampak begitu angker
dan tak boleh disentuh.
Cak
Nur dikenal dengan pernyataannya yang cukup mengagetkan pada zamannya: Yang suci dan “angker” (sacrosanct)
hanyalah Tuhan semata. Yang selain Tuhan tidaklah suci, absolut, dan
angker, karena itu terbuka terhadap penelaahan dan analisis. Yang suci dan
absolut hanyalah firman Tuhan, sementara pendapat manusia tidaklah suci dan
absolut, sehingga boleh dipertanyakan dan dipersoalkan. Gagasan ini, menurut
Cak Nur, adalah hasil yang logis saja dari doktrin tauhid atau monoteisme
dalam Islam. Tauhid bagi Cak Nur ya tak lain ialah de-sakralisasi dan
relativisasi.
Dampak
penting dari gagasan Cak Nur ini ialah terbukanya “mental block” yang membebani umat Islam dalam waktu yang cukup
lama. “Mental block” ini membuat
mereka bersikap pasif, tak berani mempertanyakan hal-hal yang mestinya boleh
dipertanyakan karena sama sekali tak sakral. Gagasan Cak Nur tentang
de-sakralisasi membuka ruang diskusi, kritik, dan dialog di tubuh umat Islam.
Tetapi
dialog tak bisa berlangsung dengan produktif jika tak ada sikap lain yang
juga penting, yakni toleransi. Di sinilah kita perlu mengenang gagasan Cak
Nur yang lain, tentang Islam yang hanif atau toleran, pluralis. Bagi Cak Nur,
Islam bukanlah agama yang mengajarkan ekstremisme, sikap-sikap absolutistik,
menang-menangan, dan merasa benar sendiri. Sikap-sikap semacam ini jelas tak
mendukung terciptanya dialog yang produktif antar golongan. Sementara itu,
dialog adalah salah satu fondasi penting terciptanya kehidupan yang beradab (madaniyyah).
Peradaban
dan keadaban adalah dua kata kunci yang menandai gagasan lain Cak Nur yang
juga sangat penting. Sumbangan penting Islam, bagi Cak Nur, ialah membangun
kehidupan yang beradab. Inti kehidupan beradab ialah absennya kekerasan,
digantikan dengan dialog yang didasarkan kepada kesediaan untuk menerima
orang lain yang berbeda.
Gagasan-gagasan
Cak Nur semacam ini jelas merupakan warisan intelektual yang penting. Kita
memerlukan tafsiran keagamaan semacam ini, sebab hanya dengan tafsiran
seperti inilah falsafah kita mengenai bhinneka tunggal ika bisa dirawat, dan
ideologi Pancasila dapat diperkuat. Tafsiran semacam inilah yang bisa merawat
kehidupan publik yang beradab dan sehat.
Tafsiran
keagamaan yang tertutup, absolutistik, dan serba mau menang sendiri hanya
akan berujung pada munculnya konflik sosial yang menjadi sumber ketegangan,
bahkan kekerasan antar-golongan. Kehidupan publik yang semacam itu jelas
bukanlah jenis yang dikehendaki oleh Islam, sebab Islam menginginkan suatu
keadaban – suatu kehidupan dengan dasar dialog, bukan kekerasan
antar-kelompok.
Di
mata Cak Nur, Islam akan membawa rahmat bagi seluruh umat manusia jika umat
Islam menafsirkannya dalam cara yang membuatnya relevan dengan konteks
kemoderenan dan keindonesiaan, bukan kontradiktif secara tak produktif
terhadap keduanya. Apalagi jika kontradiksi itu melibatkan kekerasan yang
menandai praktek keberagamaan di sebagian golongan Islam saat ini.
Dengan
kata lain, hanya dengan Islam yang Indonesiawi dan modern (tetapi juga
sekaligus berakar pada tradisi, bukan memusuhinya), semua pihak, baik Muslim
maupun tidak, akan mendapatkan rahmat dari agama yang dipeluk oleh mayoritas
penduduk negeri kita ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar