Kamis, 11 September 2014

Bergabung atau di Luar Kabinet?

Bergabung atau di Luar Kabinet?

Laode Ida  ;   Wakil Ketua DPD RI
MEDIA INDONESIA, 10 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

JIKA saja tidak mempertimbangkan faktor etika karena tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), barangkali perkembangkan politik seusai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan berbeda. Sebagian parpol yang semula tergabung mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa akan segera bergabung memperkuat pemerintahan presiden dan wapres terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla. Namun, karena perasaan `tak enak' secara politik, tampaknya keinginan itu masih harus tertunda.

Kendati demikian, sebagian kader parpol dari KMP itu sudah melakukan berbagai pendekatan untuk direken sebagai calon anggota kabinet Jokowi-JK. Kader-kader seperti ini tentu akan lebih memilih jabatan menteri ketimbang bertahan di parpol asalnya berada di luar kekuasaan atau oposisi. Sementara itu, sejumlah kader Golkar, misalnya, sudah secara terbuka memberi sinyal bahwa posisi politik parpol beringin itu bisa berubah setelah musyawarah nasional (munas) yang akan diselenggarakan di 2015-suatu isyarat yang bisa juga dibaca bahwa perlu melakukan pergantian kepemimpinan di parpol warisan Orde Baru itu.

Mengapa harus bergabung dalam pemerintahan? Pertanyaan itu niscaya akan dijawab dengan berbagai argumen retorik yang meyakinkan. Namun, jika jujur diakui, intinya ialah `agar tak puasa atau jadi penonton saja selama lima tahun (2014-2019)'.

Apalagi sejumlah parpol yang tak terbiasa berada di luar kekuasaan, sebagaimana posisi PDI Perjuangan selama sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, niscaya akan merasa `sangat kehilangan sesuatu' jika tak mengelola kabinet. Terlebih lagi jika sejumlah kader di internal parpol itu bermasalah, berada di pihak kekuasaan dianggap bisa sebagai `penjinak' dari kemungkinan gempuran pihak penegak hukum yang selama ini membidiknya dan atau bahkan sebagian sudah dalam proses.

Redefinisi dukungan

Sebenarnya dukungan yang diberikan pada Jokowi-JK diletakkan sebagai bagian dari kewajiban konstitusional warga bangsa yang berada di parpol, bukan karena kepentingan untuk memperoleh bagian kekuasaan di barisan pemerintahan. Bukankah pasangan Jawa (Surakarta)-Sulawesi (Selatan) itu sudah dipilih rakyat secara langsung, sudah juga `diuji' melalui MK atas gugatan pasangan pesaingnya? Ini artinya, jika para politikus bangsa ini berpikir dan bersikap sebagai negarawan, harusnya secara legawa memberikan kesempatan kepada pihak pemenang untuk mengatur pemerintahan, dan sekaligus tak ada perlu berpikir untuk terus merecoki mereka untuk memimpin bangsa ini selama lima tahun ke depan.

Para elite politik, singkatnya, harus memberi contoh dan pendidikan politik yang benar pada rakyat bangsa ini, dengan mendorong, mengawal, dan melakukan kontrol agar bekerja secara sistematis untuk mewujudkan tujuan bernegara, menjalankan berbagai program yang sudah dijanjikan pada rakyat saat kampanye. Tugas para politikuslah, baik yang berada pada kelompok pendukung dalam pilpres maupun apalagi dari pihak pesaing, untuk secara konsisten terus mengawasi dan mengingatkan agar semua janji kampanye itu direalisasikan. Itu semua merupakan bagian dari dukungan substantif.

Jadi, seyogianya tak boleh lagi ada anggapan bahwa dukungan baru bisa dilakukan kalau dapat jatah di kabinet. Sebaliknya, jika tak diakomodasi, akan berupaya untuk terus mengganggu atau merongrong dengan tak memuluskan berbagai agenda strategis untuk kepentingan rakyat melalui koalisi konspiratif di parlemen. Jika niatnya yang terakhir ini, berarti 1) telah kian membuktikan rendahnya derajat kenegarawanan sebagian elite politik yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan negara, 2) telah akan menghilangkan substansi sistem presidensial, dan 3) merupakan rencana jahat berupa penghalangan hak-hak rakyat untuk menikmati hasil pembangunan.

Apa yang mau dikatakan di sini, bahwa konsep dan persepsi tentang `dukungan' terhadap pihak presiden/wapres harusnya tak boleh lagi dibangun berdasarkan kebiasaan selama ini, yakni `harus dapat jatah di kabinet' dengan kesan memaksa. Kalau hal itu terus dilakukan, wajah kepemimpinan transaksional akan terus mapan sebagai label dalam proses-proses penentuan jabatan strategis di negeri ini, dengan sejak awal sudah akan mencederai pemerintahan Jokowi-JK.

Dua syarat utama

Kendati demikian, bukan berarti bahwa pihak parpol yang semula berseberangan politik dengan Jokowi-JK tidak boleh masuk jajaran anggota kabinet. Pihak Jokowi-JK pun harus menjauhkan diri dari sikap dendam politik. Soalnya, kecuali pertimbangan kekuatan di parlemen, juga perlu menunjukkan kepemimpinan Jokowi-JK haruslah menyimbolkan suasana kebersamaan dalam wajah yang elegan dengan tetap menunjukkan kepentingan untuk perbaikan negara dan bangsa ini.

Dalam konteks ini, jika pihak Jokowi-JK mau membangun politik akomodasi dalam kabinetnya, seharusnya mempertimbangkan dua faktor utama. Pertama, baik kader parpol maupun basis lainnya harus meletakkan syarat utamanya dengan pertimbangan kapasitas individu yang siap bekerja untuk menyukseskan tugas di lembaga yang dipimpinnya. Bukan berdasarkan `usulan paksa' dari parpol tertentu` seperti kecenderungan terjadi sebelumnya. Dalam konteks ini, tak ada salahnya untuk mengacu ke apa yang dilakukan Presiden Soeharto, yakni para anggota kabinetnya umumnya berkapasitas memadai dan kredibel, dan hal itu pun secara relatif pernah diterapkan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Posisi anggota kabinet bukan sekadar jabatan politik, melainkan juga jabatan profesional di suatu bidang tertentu. Pihak aparat birokrasi di kementerian pun (yang umumnya berlatar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidangnya) tak akan menerimanya hanya karena keterpaksaan politik. Para anak bangsa ini pun akan bangga dan sekaligus akan kian terangsang untuk terus berprestasi karena menganggap jabatan politik berbasis nilai-nilai profesionalisme. Tentu saja termasuk memberi contoh kepada para kepala daerah untuk tidak lagi sembarangan dalam menempatkan para pejabatnya dengan pertimbangan subjek politik semata seperti yang terjadi sampai sekarang ini.

Kedua, menampilkan figur yang bersih. Presiden/wapres harus menghindar adanya anggota kabinet yang berpeluang untuk dipersoalkan secara hukum karena perilaku korupnya di masa lalu karena pasti akan jadi beban dalam menjalankan tugas-tugasnya. Caranya sangat tak sulit, yakni 1) telusuri rekam jejak indikasi korupsinya selama ini, dan 2) lakukan tes kepribadian dan integritas untuk mendapatkan gambaran motivasi, orientasi, dan perilaku para calon menteri.

Jika hal ini dilakukan, dari mana pun asal menteri itu, apakah dari parpol atau basis-basis lain, akan diapresiasi warga bangsa yang sehat pikirannya, suatu awal yang positif-kondusif bagi Jokowi-JK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar