UN
dan Nilai Kejujuran
Rakhmat Hidayat ; Dosen
Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kandidat PhD Sosiologi
Pendidikan Universite Lumiere Lyon 2 France
|
KORAN
SINDO, 14 April 2014
Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan melaksanakan ujian nasional (UN) 2014 untuk
jenjang SMA/SMK mulai 14–16 April 2014.
Pelaksanaan UN 2014
dilakukan dengan berbagai hasil evaluasi dan masukan dari penyelenggaraan UN
2013 yang semrawut dalam proses percetakan dan distribusi soalnya. Sebelas
provinsi terpaksa menunda penyelenggaraan UN karena keterlambatan distribusi
soal. Kita berharap penyelenggaraan UN tahun ini lebih baik dibandingkan
tahun 2013.
Salah satu masalah
klasik yang dihadapi setiap pelaksanaan UN adalah kebocoran soal dan kunci
jawaban yang dilakukan berbagai oknum dengan berbagai modus. Kebocoran soal
bisa diduga dilakukan oleh dua kelompok, yaitu kelompok internal atau orang
dalam serta kelompok eksternal yang biasanya dilakukan jalur bimbingan
belajar atau alumni. Akar masalah dari fenomena ini adalah hilangnya nilai
kejujuran dalam penyelenggaraan UN, khususnya dan pendidikan secara umum.
Kita kembali
mempertanyakan prinsip kejujuran yang ditanamkan dalam proses pendidikan
sejak usia dini hingga usia remaja. Terdegradasinya semangat kejujuran dalam
pelaksanaan UN membuat kita prihatin dan miris. Apakah sebegitu rusaknya
moralitas pendidikan kita dengan menggadaikan nilai luhur kejujuran?
Menegasikan kejujuran dalam pendidikan membuat kita berpikir bahwa masyarakat
kita memang sudah terbiasa melakukan jalan yang menerabas nilai dan moral
masyarakat.
Inilah yang menjadi
mentalitas bangsa kita. Mentalitas menerobos dan jalan pintas, tanpa perlu
melakukan usaha dan kerja keras. Pendidikan seharusnya mendorong mereka untuk
belajar tapi jangan diajak untuk melakukan sesuatu yang tidak jujur. Bisa
jadi nilai akhirnya tidak maksimal dan bahkan siswa tersebut tak lulus.
Namun, itu hasil dari sebuah proses yang jujur. Jika ada murid yang tidak
lulus, memang harus tidak diluluskan.
Tugas pendidikanlah
yang membuat dia bisa lebih giat belajar untuk mencapai kelulusan di tahun
berikutnya. Kejujuran dalam konteks ini menjadi pesan moral yang ingin
disampaikan kepada pemangku kepentingan pendidikan di mana pun. Dalam konteks
sosial dan wacana transparansi publik, kita perlu memperkuat komitmen dalam
penyelenggaraan UN dengan jujur dan bersih.
Praktik-praktik curang
dalam pelaksanaan UN harus kita angkat ke publik sebagai bagian dari
partisipasi publik dalam pelaksanaan pendidikan publik yang transparan. Hal
ini menggambarkan kegelisahan dan kritik kita terhadap pelaksanaan UN yang
masih bermasalah dengan prinsip-prinsip kejujuran. Kita harus sadar bahwa
praktik-praktik kecurangan dalam UN adalah realitas yang tak terbantahkan,
meskipun pihak Kemendikbud sering kali membantahnya.
Kuantitas atau Kualitas?
Kita harus mengingatkan
seluruh aktor penyelenggara UN dan umumnya praktik pendidikan lebih
berorientasi pada proses dan kualitas, bukan mengagungkan hasil dan
kuantitas. Penjelasan ini sebangun dengan pemikiran bahwa pendidikan jangan
terjebak dalam jeratan pragmatisme kuantitatif yang miskin makna
filosofisnya.
Dalam studi
pendidikan, paradigma kualitas pendidikan sudah lama dikembangkan khususnya
oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Eropa. Kita sadar bahwa
selama ini pendidikan Indonesia sering kali berada dalam mainstream kuantitas
dan abai dengan kualitas. Fakta yang paling mudah adalah penyelenggaraan UN.
Bisa dipastikan jika
sebagian besar kepala daerah menargetkan 100% kelulusan UN, maka target ini
diberikan kepada kepala Disdik sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan UN di daerah. Sebagian besar praktik kecurangan dilakukan
dengan membocorkan soal UN untuk dikerjakan oleh guru mata pelajaran dan
kunci jawaban disebarkan secara berantai kepada murid-murid menjelang
pelaksanaan UN melalui jaringan komunikasi (jarkom).
Di lapangan, praktik
ini sudah menjadi rahasia umum dan sering disebut dengan adanya ”tim sukses UN”. Kepala sekolah
bertanggung jawab dan terbebani dengan target kelulusan 100% yang dicanangkan
kepala Disdik dan kepala daerah. Secara otoritas, posisi kepala sekolah tentu
tidak berdaya menghadapi tekanan dan dominasi kepala Disdik karena terkait
dengan kepentingan jabatan dan alokasi anggaran pendidikan di sekolah.
Sementara itu, kepala
daerah juga harus menghadapi tekanan dari DPRD setempat dalam penyelenggaraan
UN di daerahnya. Setali tiga uang, terkait dengan anggaran pendidikan untuk
daerah. Dalam perspektif Pierre Bourdieu, relasi ini melahirkan ”mekanisme kepatuhan” dari berbagai
aktor sosial dalam praktik kecurangan tersebut. Dalam konteks inilah, peran
pemimpin daerah (gubernur/ wali kota/bupati) harus menunjukkan dukungan yang
kuat terhadap penyelenggaraan UN yang bersih dan jujur.
Di berbagai daerah,
kita sering menjumpai berbagai kasus kecurangan yang dilakukan secara
sistemis oleh berbagai pihak. Berbagai kecurangan tersebut ada yang
dilaporkan kepada pihak kepolisian, meskipun ada juga yang ditutup-tutupi
oleh pihak sekolah. Pada pelaksanaan UN 2012 di Sumatera Utara, terjadi
berbagai kasus kecurangan. Kelompok yang aktif mengadvokasi di Sumut adalah Komunitas Air Mata Guru (KAMG).
Kejadian paling
memprihatinkan terjadi pada UN 2007, ketika belasan guru dari 27 guru anggota
KAMG menghadapi pemberhentian dan pengurangan jam mengajar. Ternyata
melaporkan dan menolak terlibat kecurangan justru mengantarkan mereka sebagai
pecundang. Guru memang selalu berada dalam posisi yang lemah dan tak berdaya
di hadapan otoritas kekuasaan pendidikan. Kejujuran dibayar dengan tindakan
pemecatan. Sesuatu yang sangat memprihatinkan dalam pendidikan Indonesia.
Paradoks
Jangan dulu berbicara
perubahan kurikulum yang canggih demi mempersiapkan generasi masa depan yang
unggul. Tidak usah kita kehabisan energi berteriak tentang pendidikan
karakter dengan ragam proyek hingga triliunan rupiah. Semuanya terasa absurd
tatkala kita abai dengan prinsip kejujuran dalam UN.
UN sendiri memang
masih menjadi masalah karena penolakan dari berbagai kalangan untuk
menghapuskan pelaksanaan UN. Selagi UN selalu dilakukan dengan berbagai
kecurangan, maka kita berada dalam suasana paradoks yang sangat
memprihatinkan. Bukan malah menyelesaikan masalah, melainkan menambah masalah
baru dengan praktik kecurangan tersebut.
Kejujuran adalah
prinsip moral yang menempati seluruh gerak pendidikan. Pendidikan akan kering
tanpa dibangun nilai-nilai kejujuran. Bisa dibayangkan masa depan bangsa ini
tanpa membangun kejujuran dalam pendidikan. Menanamkan kejujuran bukan
sekadar persoalan UN. Lebih dari itu, ini menyangkut bagaimana bangsa ini
membangun filosofi pendidikan sekaligus memproyeksikan pendidikan jangka
panjang untuk kepentingan generasi penerus.
Tak ada pilihan lain
untuk memulai kejujuran itu pada anak-anak bangsa sekaligus upaya merawat
masa depan pendidikan bangsa ini secara permanen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar