Sabtu, 26 April 2014

PAUD dan Karakter

PAUD dan Karakter

( Membaca Kasus JIS )

Saratri Wilonoyudho  ;   Pernah menjadi Konsultan Pendidikan di REDIP 2 dengan sponsor Japan International Cooperation Agency; Anggota Dewan Riset Daerah Jateng
JAWA POS, 25 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
SADAR atau tidak, pendidikan di tingkat usia dini dan tingkat dasar masih disepelekan banyak orang, bahkan oleh pemerintah. Buktinya, rekrutmen para guru di tingkat tersebut relatif sangat mudah dan gaji mereka relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan gaji pengajar di perguruan tinggi.

Demikian pula, pengawasan dan pendidikan di tingkat PAUD dan SD tidak begitu ketat, seakan itu "sekolah rendahan". Kemendikbud baru kebakaran jenggot memeriksa Jakarta International School (JIS) setelah ada kasus. Padahal, sejatinya, di tingkat PAUD dan SD, anak sedang mengalami masa keemasan, tumbuh kembang, baik intelektual, emosional, maupun karakter.

Jika salah didik di tingkat itu, ibarat membangun fondasi, bangunan di atasnya nanti mudah roboh. Karena itu, semestinya pendidikan di tingkat PAUD dan SD dibenahi, mulai rekrutmen guru, proses belajar, dan berbagai kurikulum yang membangun fondasi karakter positif (karena ada karakter negatif) bagi si anak.

Selama ini banyak orang tua yang pasrah "bongkokan" kepada sekolah. Apalagi bagi orang tua yang memiliki "karir" duniawi yang hebat. Dalam salah satu tulisannya di Majalah Basis No 07-08/2006, Sindhunata mengutip hasil penelitian Arlie Hochschild (2002) dalam bukunya Keine Zeit (Tidak Ada Waktu). Hochschild adalah seorang psikolog perempuan asal Amerika yang melakukan penelitian pada 1990-1993 dengan cara bertukar peran secara permanen antara pekerja/karyawan untuk menjadi ibu/bapak dalam keluarga.

Dalam penelitian itu, Hochschild ingin mengetahui apakah orang tersebut benar-benar berhasil membuat harmoni antara mencari uang dan hidup dengan anak-anaknya. Hasilnya, para bapak/ibu tersebut mengeluh karena merasa tidak punya cukup waktu buat melayani dan mendidik anak-anaknya. Seakan hidup di alam modern menuntut waktu yang sangat banyak untuk berkarir sehingga ketika mereka melayani anak-anaknya ada sesuatu yang mengganjal. Melayani anak-anak seakan "merepotkan"! Yang terjadi kemudian, tugas mendidik anak diserahkan sepenuhnya kepada sekolah.

Singkat kata, pendidikan usia dini dan tingkat dasar dituntut menjadi dasar pembentukan watak anak bangsa. Hanya, masalahnya, sejak tiga dekade terakhir ini sekolah seakan menjadi ajang uji coba atau setidaknya ada praktik-praktik kependidikan yang melioristik, yakni sesewaktu, darurat, mencoba-coba, dan tambal sulam. Akibat lebih jauh, tenaga pendidik, dalam hal ini guru, sering tidak bisa mengaitkan tugas mereka sebagai pendidik dengan berbagai implikasi perubahan sosial, ekonomi, serta politik yang semakin cepat.

Sebutan "guru" dalam hal ini juga termasuk dosen, baik yang berstatus negeri maupun swasta. Guru adalah tokoh kunci dalam kemajuan pendidikan. Sebab, jika pintu kelas sudah tertutup, guru dapat "melakukan apa saja" tanpa diketahui siapa pun, kecuali yang berada di dalam kelas. Kalau guru tidak profesional, apa jadinya pembelajaran di kelas tersebut?

Di tingkat PAUD dan dasar, guru yang mengajar harus profesional. Misalnya, (1) memiliki kemampuan interpersonal serta menunjukkan empati, hubungan baik, serta penghargaan kepada siswa yang masih kanak-kanak dan sedang tumbuh. (2) Mampu menerima, mengakui, dan memperhatikan siswa secara tulus.(3) Memiliki minat yang tinggi dalam mengajar. (4) Mampu menciptakan suasana kerja sama dan kohesivitas dalam kelompok siswa. (5) Mampu melibatkan siswa dalam meng­organisasi dan merencanakan kegiatan pembelajaran. (6) Mampu mendengarkan siswa dan menghargai siswa untuk berbicara dalam diskusi di kelas. (7) Mampu meminimalkan friksi-friksi di dalam kelas jika ada.

Sialnya, kebanyakan profesionalisme para guru PAUD dan SD tidak tercapai. Banyak guru di tingkat tersebut yang lulus instan 2-3 tahun (kuliah Sabtu-Minggu, jarak jauh). Pertanyaannya, apakah benar rendahnya mutu guru dan mutu pendidikan saat ini bersumber dari ketiadaan profesionalisme itu? Pemerintah semestinya memetakan masalah tersebut secara detail, terperinci, dan didasari pengamatan empiris.

Berbeda dengan perwira militer dan Polri yang dihasilkan dari satu sumber yang jelas diawasi, dibiayai secara aduhai, dan pola rekrutmen yang hampir standar (Akmil, AAU, AAL, dan Akpol), institusi penghasil guru sangat beragam. Bahkan, konon di Jawa Timur, hampir setiap kabupaten memiliki lembaga penghasil guru, baik yang melalui tatap muka, jarak jauh, atau yang hanya nebeng di gedung SD yang hampir roboh.

Padahal, dengan sertifikasi, semestinya terjadi proses sebagai berikut (1) terjadi mata rantai kegiatan kependidikan dan guru lebih termotivasi secara instrinsik untuk selalu berkarya, berkembang, dan tidak didorong semata-mata oleh motivasi ekstrinsik yang tidak terkait dengan profesionalisme. (2) Sistem pengadaan, penempatan, pemberdayaan, dan pembinaan akan lebih bersih dari praktik KKN yang cenderung menjaring guru tidak bermutu. (3) Lembaga penghasil guru akan lebih bertanggung jawab dan hanya berfokus menghasilkan guru yang unggul dalam segala aspek keguruan.(4) Masyarakat awam akan lebih memahami, menghargai, dan mendukung peran serta guru sebagai kekuatan pendidikan bangsa, bahkan turut membela kepentingan kaum guru sebagai tenaga profesional yang patut didukung dan dibela.

Semoga ke depan pendidikan di tingkat usia dini dan SD diperhatikan agar menghasilkan anak bangsa yang dilandasi fondasi intelektual, akhlak, dan emosional yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar