Sabtu, 26 April 2014

Sisi dalam Demokrasi Mesir ‘Yang Terbelah”

Sisi dalam Demokrasi Mesir ‘Yang Terbelah”

Hasibullah Satrawi  ;   Pengamat Politik Timur Tengah, Alumni Al-Azhar, Kairo Mesir,
Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Jakarta
KORAN SINDO, 25 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Beberapa waktu lalu (25/3), Jenderal Abdel Fattah Sisi secara resmi mengumumkan akan mencalonkan diri dalam pemilihan presiden Mesir yang akan digelar pada 26 dan 27 Mei mendatang. Sisi akan bertarung dengan satusatunya calon presiden lain yang telah mendaftarkan diri ke komisi pemilihan setempat, yaitu Hamdeen Sabahi.

Bahkan tak menutup kemungkinan Sisi menjadi capres tunggal, bila ternyata Hamdeen Sabahi dinyatakan tidak lulus persyaratan yang akan diumumkan pekan ini oleh Komisi Pemilihan Umum Mesir (Ash-Sharq Al- Awsat, 21/04). Dalam beberapa waktu terakhir, Sisi yang diangkat oleh Muhammad Mursi sebagai menteri pertahanan Mesir mendapatkan dukungan dari banyak pihak untuk menjadi presiden mendatang. Pada awalnya, Sisi tidak begitu dikenal, baik di Mesir apalagi di negara-negara Timur Tengah secara umum.

Bahkan di jajaran militer pun, jenderal yang pernah mengenyam pendidikan di Inggris dan Amerika Serikat ini kalah terkenal dari para seniornya, seperti Mohamed Hussein Tantawi. Titik balik terjadi pada 3 Juli 2013. Pada hari itu, dengan membawa dukungan dari banyak pihak yang berpengaruh di Mesir, Sisi mengumumkan peta jalan damai sekaligus memakzulkan Presiden Muhammad Mursi. Sejak saat itulah, Sisi menjadi bagian dari kontroversi yang terus menggelinding memecah belah masyarakat luas. Bahkan, pengumuman dirinya sebagai calon presiden pun menimbulkan pro-kontra yang tak jarang berakhir dengan aksi kekerasan.

Demokrasi Terbelah

Dalam beberapa waktu terakhir, Mesir acap menjadi negeri terbelah. Tak hanya dalam konteks pencapresan Sisi ataupun hal-hal lain yang bernuansa politik, melainkan juga dalam hal-hal yang jauh dari politik, seperti kegiatan belajar-mengajar. Bahkan, fenomena keterbelahan seperti ini juga terjadi di universitas seperti Al-Azhar yang para tokohnya mendukung langkah peta jalan damai yang diumumkan Sisi pada 3 Juli 2013. Lebih jauh, fenomena keterbelahan juga melanda dunia luar yang berhubungan dengan Mesir, termasuk media.

Stasiun televisi terkemuka di Timur Tengah, Aljazeera, contohnya, kerap bersikap kontra terhadap pemerintahan sementara Mesir saat ini yang didukung oleh pihak militer. Sedangkan media-media lain seperti surat kabar terkemuka, Ash-Sharq Al- Awsat, Alhayat kerap mendukung pemerintahan Mesir sekarang, termasuk pencapresan Sisi. Begitu juga dengan negara-negara Arab Teluk yang sebagian propemerintahan Mesir (seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab), sedangkan sebagian lainnya bersikap kontra (seperti Qatar).

Bahkan, para alumni Al-Azhar pun acap terkena fenomena keterbelahan ini, apalagi setahu penulis memang tidak sedikit dari mahasiswa Al-Azhar yang berideologi Ikhwanis. Dalam kondisi seperti ini, sangat dipahami bila proses demokratisasi yang terjadi di Mesir mutakhir acap dipahami secara terbelah. Penggulingan Mursi, contohnya, acapdipahami dan ditanggapi secara terbelah antara pihak yang pro dan yang kontra. Begitu juga dengan pencapresan Sisi ataupun peristiwa-peristiwa politik lainnya seperti referendum konstitusi 2013. Inilah yang penulis sebut sebagai demokrasi terbelah.

Krisis Elite

Dalam sebuah jurnal berbahasa Arab, Ad-Dimocrathiyah (edisi 14/02/2014), pakar ilmu politik dari Cairo University, Hasanain Taufik Ibrahim, memberi penjelasan cukup rinci dan menyeluruh terkait fenomena keterbelahan yang saat ini melanda Mesir. Menurutnya, fenomena ini salah satunya disebabkan oleh faksionalisme di kalangan elite yang sampai pada tahap mengabaikan urgensi konsensus nasional untuk menghadapi sejumlah persoalan krusial setelah tumbangnya Mubarak.

Secara garis besar, ada dua faksi utama yang sekarang membelah masyarakat Mesir, yaitu faksi islami dan faksi nasionalis di semua macam dan kelompoknya. Dalam dua tahun terakhir, kalangan elite Mesir larut dalam semangat faksionalisme sampai pada tahap mengabaikan nasionalisme yang sejatinya menjadi pemersatu mereka. Celakanya adalah, kalangan elite ini kemudian menarik gerbong dan kekuatan yang dimiliki untuk turut larut dalam pertarungan faksionalisme yang ada. Hingga kepentingan masyarakat luas acap diabaikan, seperti keamanan dan ekonomi.

Sebaliknya mereka lebih tertarik untuk ke luar, turun ke jalan, kemudian bentrok dengan aparat yang juga dipersiapkan dengan semangat yang kurang lebih sama. Oleh karena itu, pelbagai macam keterpurukan yang melanda Mesir mutakhir bisa dipahami sebagai akibat dari ”dosa kolektif” yang pada awalnya dilakukan kelompokkelompok elite, sebelum akhirnya mengajak gerbong dan mengerahkan kekuatan masing-masing. Itu sebabnya tidak ada pihak yang dapat dikatakan sepenuhnya salah, sebagaimana tidak ada pihak yang dapat dikatakan sepenuhnya benar.

Masing-masing pihak dari kalangan islamis dan nasionalis mempunyai kadar kesalahannya sendiri. Adapun sebab yang lain dari fenomena keterbelahan masyarakat Mesir adalah lemahnya pengalaman berdemokrasi sebagai akibat dari budaya isolasi politik (al-iqsha’ as-siyasi), yang berlangsung dalam waktu sekian lama. Dalam kondisi seperti ini, demokrasi acap dipahami sebagai momentum untuk balas dendam terhadap kelompok yang berlawanan. Maka sebagaimana aspirasi kelompok IM acap diabaikan pada masa-masa pemerintahan Mubarak, contohnya, IM pun melakukan hal yang kurang lebih sama ketika berkuasa.

Pun demikian, ketika lembaga negara (seperti eksekutif, legislatif bahkan yudikatif) digunakan oleh pemerintahan Mubarak untuk mencapai kepentingan kelompoknya sekaligus untuk memberangus kepentingan kelompok oposisi, ketika IM berkuasa pun melakukan hal yang kurang lebih sama. Hingga akhirnya mendapatkan tantangan keras dari masyarakat yang tercermin dalam aksi unjuk rasa pada 30 Juni 2013. Inilah yang menjadi tantangan berat bagi Sisi ataupun tokoh lain yang menjadi presiden Mesir mendatang.

Apalagi, Sisi selama ini menjadi bagian dari kontroversi (sebagaimana dijelaskan di atas) dan sedikit banyak dianggap bertanggung jawab atas segala peristiwa politik dan aksi kekerasan yang terjadi setelah lengsernya Muhammad Mursi, termasuk penangkapan dan pemenjaraan tokoh-tokoh IM. Oleh karena itu, semua kekuatan politik di Mesir sejatinya memanfaatkan proses demokratisasi ke depan untuk menebus dosa kolektif yang ada dengan berdemokrasi secara lebih sejati; bahwa demokrasi pada akhirnya jalan untuk menegakkan kedaulatan rakyat (bukan kedaulatan golongan) dengan kontestasi yang sehat dan terbuka bagi semua golongan tanpa terkecuali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar