Koalisi
Ideologis dan Agenda Perubahan
M Dawam Rahardjo ; Rektor Universitas Proklamasi `45, Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 24 April 2014
KETIKA
ditanya mengenai agenda koalisi antarpartai guna pencalonan presiden dan
wakil presiden, tokoh capres yang paling tinggi elektabilitasnya dari
beberapa hasil survei, Joko Widodo yang akrab dipanggil Jokowi, menolak untuk
memakai istilah `koalisi' karena istilah itu berkonotasi peyoratif, yakni
sebagai kegiatan politik transaksional yang populer disebut `dagang sapi',
dalam arti negosiasi bagi-bagi kekuasaan di pemerintahan mendatang.
Sebagai
gantinya capres dari PDI Perjuangan itu mempergunakan istilah `kerja sama'
berdasarkan platform politik yang mencerminkan juga haluan ideologi. Namun,
kriteria kerja sama itu sulit. Dalam praktiknya tidak dilaksanakan, hanya
basa-basi politik. Yang dilaksanakan ialah penjajak an koalisi, juga
berdasarkan perolehan suara dalam pileg dan hasil survei elektabilitas tokoh-tokoh.
Analisis
mengenai kemungkinan kerja sama itu dapat dilakukan melalui dua pendekatan.
Pertama, penggolongan partai-partai berdasarkan agenda kampanye, antara yang
mengagendakan perubahan dan yang ingin mempertahankan status quo serta
keberlanjutan pembangunan berdasarkan perkembangan yang telah dicapai.
Kelompok pertama terdiri dari NasDem dan beberapa partai oposisi, terutama
PDIP dan Gerindra, dan kelompok kedua, terutama tampak pada Partai Demokrat,
PAN, Golkar, dan Hanura.
Pendekatan
kedua ialah dengan mengelompokkan partaipartai berdasarkan ideologi dalam
rangka penyederhanaan sistem kepartaian. Hal itu bisa dilihat dari; pertama,
golongan kebangsaan yang didukung oleh Golkar, Hanura, dan PKPI. Kedua,
golongan kerakyatan yang didukung oleh PDIP, Gerindra, dan NasDem. Golongan
ketiga ialah partai Islam jika dapat bersatu didasarkan pada ideologi
islamisme. Keempat, golongan demokrasi liberal yang hanya tampak jelas pada
Partai Demokrat.
Koalisi strategis
Dua
pendekatan pengelompokan itu agaknya sulit terjadi karena setiap partai
memiliki agenda koalisi sendiri-sendiri, termasuk PDIP. Seharusnya PDIP dan
Gerindra bekerja sama, tetapi jika mereka bersetuju dalam pencalonan presiden
dan wakil presiden. Seharusnya, berdasarkan koalisi strategis yang dibuat
antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto di atas perjanjian
bermeterai dalam Pilpres 2009, dapat dilakukan koalisi dengan menempatkan
Prabowo sebagai capres dan Jokowi cawapres.
Akan
tetapi, PDIP sudah mencapreskan Jokowi karena elektabilitas hasil surveinya
yang tinggi itu. PDIP pun dengan santai mengingkari perjanjian. Demikian pula
Surya Paloh yang mengusulkan JK sebagai cawapres mendukung Jokowi. Padahal JK
lebih berorientasi pada status quo
dengan resep kepemimpinan `lebih cepat lebih baik'. Golkar yang mencalonkan
ARB sebagai capres, tetapi dengan melihat prospek kemenangan Jokowi, sudah
`pesan tempat' dalam pemerintahan mendatang jika Jokowi dari PDIP menang.
Perubahan
yang diagendakan NasDem bisa terjadi apabila pengelompokan pertama bisa
terjadi berdasarkan beberapa platform politik restorasi sebagai politik
pemulihan kepemimpinan dan kedaulatan bangsa dan negara. Pertama, agenda
kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan dasar dari agenda
restorasi. Agenda itu merupakan titik tolak dua agenda perubahan yang
penting, yaitu judicial review terhadap sekitar 210 UU yang berpotensi
melanggar UUD 1945 dan agenda reformasi agraria sebagai syarat dari
pembangunan pertanian dan pengembangan ekonomi rakyat.
Agenda
lain yang penting ialah reformasi birokrasi dalam pembentukan sistem politik
dan pemerintahan yang bersih dan efisien dengan melakukan pemberantasan
korupsi. Agenda yang mungkin kontroversial ialah reformasi anggaran menuju
APBN yang seimbang, tanpa utang luar negeri. Agenda perubahan itu akan
mengarah pada sistem dwipartai sebagai pendukung sistem pemerintahan
presidensial berdasarkan UUD 1945. Sistem ini hanya terdiri dari partai yang
dominan, yaitu partai neoliberal yang propasar dan partai kerakyatan yang ber
orientasi kemandirian dan kedaulatan ekonomi.
Penyederhanaan
Pendekatan
kedua mengarah pada penyederhanaan sistem kepartaian Indonesia atau sistem
multipartai sederhana. Jika pengelompokan itu terjadi, berdasarkan perolehan
suara Pileg 9 April 2014, urutan golongan politik terkuat ialah partai
kerakyatan dengan suara sekitar 38%, partai Islam bersatu (31%), partai
kebangsaan (21%), dan partai demokrasi liberal (10%). Penyederhanaan ini juga
akan memyederhanakan koalisi dalam pilpres dalam membentuk kekuasan yang
memerintah dan yang oposisi.
Pengelompokan
menjadi dua kekuatan besar yang dominan itu sesuai dengan atau mendukung
sistem pemerintahan presidensial yang diarahkan oleh UUD 1945. Di AS, sistem
presidensial dimungkinkan oleh munculnya dua kekuatan dominan yang silih
berganti memerintah berdasarkan hasil pemilihan umum setiap lima tahunan. Dua
kekuatan itu ialah Partai Republik yang menekankan peranan swasta dan pasar
bebas, serta Partai Demokrat yang menekankan peran negara dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
Di
Indonesia, pengelompokan serupa bisa juga terjadi. Namun, Indonesia memiliki
persoalan urgen dan mendasar yang berbeda, yakni di sekitar masalah
kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi bangsa yang memisahkan dua aliran
besar, yaitu aliran neoliberal dan aliran kerakyatan. Karena itu, calon
presiden-wakil presiden bisa empat pasangan yang diseleksi melalui putaran
pertama, dan dalam putaran kedua sudah mengerucut menjadi dua pasangan yang
dipisahkan oleh isu strategi pembangunan.
Pasangan
pertama mempertahankan status quo
atau keberlanjutan strategi pembangunan yang mungkin didukung oleh
partai-partai Golkar, Demokrat, dan PAN. Kelompok kedua yang menghen daki
perubahan menuju ke pemulihan kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi yang
terutama didukung oleh Gerindra dan NasDem, serta jika secara ideologis
konsisten, PDIP. Masalahnya ialah ketidakjelasan platform politik yang tampak
tidak banyak berbeda sehingga tidak ada positioning
yang jelas di antara dua golongan yang berbeda orientasi itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar