Minggu, 27 April 2014

Janji Utopis

Janji Utopis

Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 25 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
SEKITAR enam bulan lagi kita akan melantik presiden dan wakil presiden baru. Jalan ke sana masih berliku. Pikiran dan perasaan masih bertanya-tanya, pilihan mana yang tepat? Idealnya mereka pas di hati kita, pas pula untuk persyaratan sebagai pemimpin negeri ini lima tahun ke depan. Itulah demokrasi: semua ikut repot memikirkan.

Menurut rekam jejaknya, benih-benih asas demokrasi sudah ada selama ribuan tahun, berawal ketika masyarakat di mana pun semakin merasakan ketimpangan antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Ketidakrelaan mereka yang menjadi korban kekuasaan menyebarkan benih-benih yang akhirnya mengkristalkan rumusan-rumusan demokrasi yang tumbuh di mana-mana.

Asumsinya, yang sampai ke Indonesia datang dari Barat, berawal dari ide demokrasi yang muncul di abad ke-4 SM, ketika filosof Yunani Aristoteles dalam 2 dari 6 karya tulisnya yang terhimpun dalam Organon mengemukakan pandangannya tentang etika dan politik. Anggota akademi Atena pimpinan Plato itu menyusun prosedur filosofis dan ilmiah serta kritik literer yang menjadi landasan pikiranpikiran Barat. Itu yang membuat kita berasumsi bahwa sistem demokrasi datang dari Barat.

Demikian pula sistem `Trias Politika' yang memisahkan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, juga berasal dari Barat. Filosof Inggris John Locke (1632-1704) awalnya menganjurkan kontrak sosial untuk kebebasan kata batin (conscience) dan kebebasan hak untuk memiliki. Buah pikirannya termuat dalam karya besar Two treatises of Government yang terbit pada 1690. Konsep itu disempurnakan ahli falsafah politik Prancis, Montesquieu (1689-1755). Konsep Trias Politika pemikir Perancis inilah yang sekarang dianut banyak negara.

Banyak konsep lain tentang kekuasaan yang datang dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Timur Jauh dan Timur Tengah. Ide tentang sistem daulat rakyat yang beragam itu kita pilih yang kita anggap paling tepat untuk masyarakat. Kemudian bentuknya kita sesuaikan dengan budaya Indonesia. Lahirlah demokrasi Pancasila. Selain hukum yang berdasarkan UUD `45, berlaku pula hukum Islam bagi umat yang beragama Islam.

Saat-saat ini kita sedang repot dengan persiapan menuju terbentuknya pemerintahan baru. Sementara itu, di tempattempat lain, di mana-mana, sistem demokrasi berjalan terus sambil menambahkan produk-produk hukum untuk penyempurnaannya, sesuai perkembangan berpikir masyarakatnya.

Rame ing pamrih, sepi ing gawe

Pemilu kita yang baru lalu dinilai yang paling brutal dalam sejarah demokrasi Indonesia. Politik uang marak. Kita sepertinya tidak berdaya membendungnya. Banyak caleg ambruk kena stres karena merasa gagal. Dengan prolog seperti itu, bagaimana lembaga legislatif nantinya? Apakah moralitas politik masih bisa diharapkan? Sebab pemilu 2014 baru separo kita jalankan. Gongnya baru akan dipukul Oktober nanti, pada hari pelantikan RI-1 dan wakilnya. Saat-saat ini publik sedang menyaksikan berisiknya kekisruhan partai politik menyusun strategi dan taktik.

Mudah-mudahan hiruk pikuk partai-partai politik dalam rangka memilih capres/ cawapres dari kandang sendiri atau berkoalasi membuahkan hasil. Jangan kerepotan yang mereka lalui itu pada akhirnya tidak mencapai tujuan; yakni menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti termaktub dalam sila kelima Pancasila. Itulah hak asasi kita bersama. Tetapi, karena kita ribut dengan serba-serbi persiapan untuk memenuhi keinginan masing-masing, ketika tiba waktunya untuk berbuat, mungkin banyak yang kita lupakan, sepi ing gawe. Emosi telah mengalahkan nalar.

Kekisruhan di partai-partai politik tentu membuat masyarakat dengan enteng menuduh partai-partai politik atau elitenya berebut kekuasaan. Kekuasaan memang sepantasnya diperebutkan asalkan kekuasaan itu dipersiapkan untuk menyejahterakan rakyat sebab itulah yang publik nantikan. Kapan kekisruhan ini akan berhenti mengingat mendekatnya hari-hari pemilihan bulan Juli? Pertanyaannya, kekisruhan menjadi keruh apakah karena mengangankan hasil akhir atau karena perebutan kekuasaan secara internal?

Dalam sejarah politik praktis di Indonesia, hampir semua partai besar pernah mengalami kekisruhan; bukan karena pertarungan ideologi atau program. Padahal programprogram partailah yang publik nantikan. Mereka agaknya lupa, masyarakat memperhatikan apa pun yang mereka lakukan, baik yang positif maupun yang negatif.

Ekonomi kerakyatan

Salah satu konsep yang sesuai dengan tujuan demokrasi, yang sering disampaikan dalam kampanye pemilu yang lalu, adalah konsep tentang ekonomi kerakyatan. Memang peran negara dalam pembangunan ekonomi menjadi topik yang penuh kontroversi. Walaupun kenyataannya, dewasa ini yang terjadi adalah pembauran antara berbagai sistem ekonomi yang dahulunya berjauhan. Sistem kapitalis sudah lama bergerak ke sistem sosialis, antara lain, misalnya, dibuktikan dengan pendidikan rakyat yang ditunjang negara, pajak progresif, dan perawatan kesehatan yang ditanggung negara. Sebaliknya sistem sosialis sekarang menyadari, banyak segi positif dalam sistem desentralisasi manajemen ekonomi.

Sekarang tampaknya hampir semua masyarakat menggunakan sistem ekonomi campuran, walaupun kadarnya berbedabeda. Kenyataannya hampir seperti spektrum, suatu pelangi-pelangi yang antara lain mengilhamkan istilah-istilah seperti “ekonomi Pancasila“ atau “ekonomi kerakyatan“. Partai-partai politik sebaiknya menjelaskan bagaimana program ekonomi kerakyatan yang akan dijalankan agar janji-janji partai politik tidak bersifat utopis semata. Jangan sampai rakyat kehilangan kepercayaan. Partai-partai politik adalah saka guru demokrasi. Di pundak mereka pembangunan demokrasi dibebankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar