Ihwal
Nilai Kebangsaan
Apridar ; Rektor Universitas Malikussaleh, Aceh
|
KOMPAS,
26 April 2014
Sejak
empat tahun lalu MPR gencar melakukan sosialisasi empat pilar kebangsaan: UUD
1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Lembaga
tinggi negara ini sangat sadar bahwa upaya sosialisasi empat pilar kebangsaan
itu belum cukup ampuh memberikan pemahaman kepada 237,6 juta penduduk
Indonesia yang tersebar di 17.000 pulau dari sekitar 500 suku.
Kesadaran
itu sekurang-kurangnya oleh tiga hal: menurunnya nilai-nilai kebangsaan; apa
yang harus dilakukan untuk meningkatkan kembali nilai kebangsaan itu; dan
upaya perguruan tinggi merevitalisasi nilai-nilai kebangsaan itu.
Pertanyaan
itu awalnya sudah terjawab oleh bangsa ini saat kita sepakat mengakhiri
sistem otoriter menjadi sistem demokrasi lewat Reformasi 1998. Namun, euforia
reformasi berlangsung tak terkendali sehingga menimbulkan salah tafsir
tentang makna kebebasan. Kebebasan yang kebablasan ini berakibat pada
kekerasan antarsuku, antarkampung, antarkelompok agama, antar-pendukung
partai di berbagai pelosok negeri. Padahal, seluruh elemen sepakat, kebebasan
yang ingin dicapai adalah bebas dari rasa takut, bebas menyampaikan pendapat,
dan tegaknya supremasi hukum.
Perlu
diingat, negara ini bukan negara monarki, bukan pula negara agama, melainkan
negara konstitusional, yakni negara hukum yang demokratis (Adnan Buyung
Nasution, 2012). Ketika kekerasan antarkelompok terjadi, timbul korban jiwa
dan harta, ramai-ramai pejabat negara membantah bahwa kekerasan itu
disebabkan dendam lama antarkelompok atau segudang alasan lain.
Tidak
ada pejabat negeri ini yang mengakui bahwa negara alpa pada salah satu pilar
kebangsaannya: berbeda-beda, tetapi satu juga. Seharusnya pejabat sadar,
bangsa nenek moyang kita sangat menghormati pluralisme.
Peristiwa
kekerasan antarkelompok seharusnya dijadikan renungan mengevaluasi kesadaran
masyarakat bahwa kita berada di negara kepulauan dengan ratusan suku dan
budaya berbeda. Idealnya suku dan budaya berbeda itu menjadi potensi kemajuan
bangsa, bukan sebaliknya: ancaman ketahanan negara.
Keharmonisan
suku dalam negara tertentu menjadi daya tahan bangsa dari ancaman dalam dan
luar negeri. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang bisa menghargai perbedaan
antarsuku di dalamnya. Kekuatan itu dengan cara menyatukan perbedaan itu
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menumbuhkan rasa cinta
Tanah Air.
Supremasi hukum
Persoalan
lainnya adalah supremasi hukum. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas masih
berlangsung di Indonesia. Gayus Tambunan bisa pelesiran ke sejumlah negara
meski statusnya terpidana merupakan bukti nyata bahwa hukum tumpul kepada
mereka yang kaya dan bisa ”membeli” pendekar keadilan kita. Sebaliknya, Nek
Minah (55) di Purwokerto, Jawa Tengah, harus duduk di kursi pesakitan hanya
karena mencuri tiga buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan.
Persoalan
hukum semakin akut ketika puluhan kepala daerah, anggota DPR, polisi, jaksa,
hakim, sampai pengacara terlibat dalam kasus korupsi. Mereka menyandang
status tersangka dan terdakwa kasus korupsi, tapi masih bisa unjuk gigi
mengenakan pakaian mode terbaru dan bangga tampil di layar televisi.
Realitas
ini melengkapi krisis kepercayaan anak negeri pada penegakan hukum di negara
gemah ripah loh jinawi. Ini pula yang menyebabkan pudarnya nilai-nilai
kebangsaan pada masyarakat. Rakyat butuh contoh suri teladan dari aparatur
negara. Bukan terjepit di antara kokohnya tangan-tangan mereka yang berkuasa.
Pemerataan
pembangunan juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin bangsa. Sebagai negara
kepulauan, sudah sepatutnya semua provinsi di Indonesia mendapat pemerataan
pendidikan berkualitas, infrastruktur yang memadai, serta layanan kesehatan
yang baik sehingga setiap orang bisa merasakan bahwa negara hadir ketika
mereka membutuhkannya.
Rakyat
mencintai negaranya karena negara juga memberi hak kepada rakyat sesuai
dengan bunyi Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh
tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan seterusnya.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa infrastruktur lembaga pendidikan di kawasan teras
Indonesia seperti Aceh, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua hingga kini belum
memadai. Masih ditemukan sekolah yang rentan roboh. Selain itu, kompetensi
guru dan dosen juga belum sebanding dengan provinsi di Jawa sehingga ketika
lembaga pendidikan di Jawa sudah berpikir go
international, kawasan teras Indonesia masih terseok-seok mengejar
ketertinggalan dan berusaha setara dengan provinsi lainnya.
Menghias rumah
Atas
ironi ini, perlu dicari solusi. Pemerintah pusat harus berpikir dengan logika
”menghias rumah”: mempercantik teras agar indah dilihat tamu dan tetangga,
juga mengatur bagian dalam rumah agar tamu nyaman di dalamnya.
Cita-cita
mulia yang dirumuskan pendiri bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
bukan sebatas teks keramat buat anak cucu, tetapi harus direalisasikan kepada
generasi berikutnya sehingga rakyat merasa bahwa negara ini benar-benar telah
menjalankan sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Untuk
itu, sosialisasi empat pilar kebangsaan perlu dimulai dari lembaga negara,
bukan dimulai dari TK sampai mahasiswa. Kita perlu revitalisasi nilai-nilai
kebangsaan sekarang bukan hanya untuk masa datang. Penanaman nilai kebangsaan
wajib dimulai dari atas. Masyarakat merindukan suri teladan, yang diwujudkan
dari kinerja aparatur negara yang memberi rasa nyaman kepada anak bangsa.
Sebagai
lembaga pendidikan yang diisi kaum terpelajar, sudah seharusnya perguruan
tinggi di seluruh Indonesia menanamkan nilai-nilai kebangsaan pada mahasiswa
dan sivitas akademiknya. Beberapa universitas di Indonesia sudah membuat
Pusat Studi Kebangsaan. Pusat studi ini mengkaji dan mencari formulasi cara
tepat menyosialisasikan pilar kebangsaan agar efektif dan efisien supaya
masyarakat benar-benar paham makna pilar kebangsaan itu sendiri.
Menanamkan
pilar kebangsaan kepada generasi muda butuh waktu. Dampaknya baru bisa
dirasakan 5-10 tahun mendatang.
Karena
itu, mari merenung dan meresapi apakah kita sudah memahami pilar kebangsaan
dan mengimplementasikannya dalam kehidupan bernegara? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar