Pemilu
sebagai Alat Rekrutmen Pemimpin
Bambang Setiaji ; Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
|
KORAN
SINDO, 25 April 2014
Sebuah
organisasi termasuk di dalamnya organisasi negara, memerlukan suatu cara
untuk menyaring sumber daya manusia yang menjadi anggotanya untuk menduduki
posisi kepemimpinan. Sebagaimana layaknya organisasi pemimpin diseleksi dari
stok sumber daya manusia terbaik dari suatu stok yang dimiliki.
Apabila
suatu sistem rekrutmen dalam hal ini pemilu, gagal menyaring dan memperoleh
sumber daya terbaik, maka absah untukmengevaluasisistemyang sedang
dilaksanakan. Politik uang yang makin marak akhir-akhir ini menjadi sandungan
bagi SDM yang baik, tetapi tidak memiliki sumber keuangan dan atau tidak tega
melakukannya. Suatu pertanyaan yang diajukan kepada pemilih tidak malu lagi
mereka menyatakan suaranya minta ditukar dengan uang. Ideologi, program,
janji perubahan, dan perjuangan mereka tidak yakin ada.
Walaupun
sebenarnya para wakil rakyat sudah bekerja menghasilkan berbagai
undang-undang bahkan yang paling dirasakan seperti BPJS, rakyat sulit
mengidentifikasi partai apa yang sudah berkontribusi dan partai apa yang
menolak. Demikian juga undangundang yang mungkin merugikan mereka sebagai
bangsa, yang tentu saja debatable tergantung dari perspektif yang dianut.
Misalnya mengenai undang-undang sumber daya energi dan sumber daya lainnya,
masyarakat juga tidak tahu siapa yang harus dihukum.
Diduga
karena tergiring oleh media massa, di mana kesalahan wakil rakyat dan
perilakunya yang mungkin menyimpang sebagai news. Masyarakat cenderung menghukum semua wakil rakyat. Mereka
akhirnya lebih baik menukar suaranya dengan uang, bahkan bersedia menerima
dua tawaran dan hanya memilih salah satu di antaranya yang dianggapnya
sebagai hukuman atau perlakuan yang setimpal.
Masa Depan Partai Politik
Dengan
monetisasi, yang dimulai dari efek penghasilan tinggi dari para wakil rakyat
dan pejabat eksekutif, efek ideologis partai politik menjadi banyak
berkurang. Peran partai dalam pendidikan politik tentang negara yang baik
menjadi berkurang. Akibatnya ketika negara menjadi kurang baik, misalnya
pemerintah mengalokasikan uang negara pada proyek-proyek yang salah, elitis,
karikatif, rakyat hanya apatis. Rakyat memersepsi bahwa janji politik adalah
palsu dan mereka menyembunyikan kepentingannya sendiri. Akibatnya partai
menjadi mandul.
Politik
transaksional membagi kue menjadi dominan, misalnya sebuah proyek yang
merusak lingkungan atau merugikan negara dalam jangka panjang bisa diterima
asalkan sedikit mendapat bagian. Pada saat partai politik mandul, naluri atau
kebutuhan untuk berkumpul akan tersalur umumnya pada gerakan keagamaan dan
sosial. Menarik salah satu wacana satu gerakan keagamaan anak-anak muda bahwa
demokrasi tidak berhasil merekrut kepemimpinanyangbaik. Negara menjadi
sekuler, anakanak muda menjadi hedonis, fashionist, konsumtif.
Hasil Rekrutmen dari Pemilu ke
Pemilu
Komposisi
kepemimpinan nasional yang meliputi para pendiri bangsa sangat concern pada kemajuan negara,
pendidikan anak bangsa, keadilan, keagamaan, perlindungan hak asasi, dan
sebagainya. Untuk Indonesia, kita bisa mendefinisikan purposive sampling atau hasil yang diperoleh dari suatu proses
rekrutmen yang menghasilkan komposisi kepemimpinan nasional, yang terdiri
atas para cendekiawan, militer, para ideolog, serta ulama dan pemimpin agama.
Mereka bukan berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling memiliki.
Misalnya
tidak berarti bahwa cendekiawannya seorang sekularis yang melakukan konsensus
dengan ulama, tetapi cendekiawan tersebut memiliki kadar ulama dan
sebaliknya. Pertanyaan mendasar dari percobaan demokrasi liberal akhir-akhir
ini, dan juga sistem lain misalnya sistem otoriter, apakah purposive sampling
seperti di atas tetap terjadi? Pada masa Orde Baru, purposive sampling di
atas tidak terjadi di mana hanya militer dan angkatan darat yang direkrut,
akibatnya nilai kebangsaan menjadi pincang. Korban pertama pada era Reformasi
dan Demokrasi Liberal yang dicoba selama dekade ini adalah tersisihnya ulama
dari panggung parlemen.
Ulama-ulama
murni masih berada dalam organisasi kemasyarakatan di mana harkat dan
martabatnya tidak memungkinkan bertarung dalam pemilu yang syarat dengan
politik uang. Mereka terlahir untuk ilmu dan keluhuran serta tidak berada
pada derajat uang. Korban kedua adalah para cendekiawan yang memikirkan
negara, jumlahnya sekarang makin banyak. Tetapi sama seperti ulama, mereka
tidak sampai hati mengikuti pusaran politik uang yang ada. Korban ketiga,
pada Pemilu 2014 ini giliran para politisi sejati, the spokesman.
Nama-nama
besar yang malang-melintang memikirkan negara tidak bisa masuk parlemen, di
antaranya orang-orang yang memiliki integritas untuk tidak bermain kotor
dengan politik uang. Di antara mereka yakni Ketua DPR RI Marzuki Alie, Ketua
dan Wakil Ketua MPR RI Sidarto Danusubroto dan Hajriyanto Y Tohari, dan
banyak nama besar lain dari berbagai partai yang tidak diragukan kompetensi
dan pengabdiannya dalam mengarahkan negara. Senjata makan tuan, para politisi
tersebut kini menyadari bahwa liberalisasi sistem pemilu yang sangat bebas di
tengah kualitas masyarakat yang ada, yang mereka rancang ternyata
menghasilkan komposisi kepemimpinan negara yang pincang juga.
Walaupun
tidak separah Orde Baru tetapi mengarah pada monolitisme. Siapakah yang
tersisa? Mereka adalah para pedagang kaya dan artis terkenal. Tentu saja debatable apakah para saudagar tidak
kapabel untuk memikirkan negara. Demikian juga para artis. Masalahnya para
pedagang ini banyak tidak memiliki visi kenegaraan, hanya melihat kemungkinan
popularitas serta power untuk memperoleh akses bisnis itu sendiri karena
negara merupakan pembeli terbesar.
Banyak
artis idealis yang mencurahkan pemikiran tentang negara yang baik. Di antara
mereka WS Rendra, Taufiq Ismail, MH Ainun Najib, Iwan Fals, yang kualitas
pemikiran kenegaraannya sudah kita nikmati bersama. Sistem yang ada tidak
memungkinkan merekrut mereka, dan memberi keuntungan yang besar kepada para
artis pop yang murni menghibur yang sering kali dengan kualitas hiburan yang
dalam tanda kutip kurang berkualitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar